Pendahuluan
Sentimen
terhadap Islam termasuk pertumbuhan populasi umat Islam yang cepat saat ini
merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji oleh para ilmuwan. Peristiwa 9/11
yang dianggap sebagai pemicu fenomena ini hanyalah peristiwa “kecil” yang
memiliki genealogi dengan masa lampau. Jika ditarik lebih jauh lagi, maka
“ketegangan” antara timur dan barat dapat dikatakan dimulai dari peristiwa
Perang Salib yang di barat disebut dengan Crusade.
Perang salib merupakan
salah satu penggalan sejarah yang memegang peranan penting dalam hubungan
antara Islam dan Barat, yang sampai saat ini masih dianggap sebagai salah satu
peristiwa yang traumatik bagi hubungan Islam-Barat. Peristiwa ini banyak
dianggap sebagai titik balik bagi perkembangan pengetahuan dan peradaban di
barat.
Perang yang berlangsung
berabad-abad ini dilatarbelakangi beberapa hal selain motivasi agama
sebagaimana anggapan selama ini. Faktor ekonomi, politik dan sosial turut
memberikan sumbangsih didalamnya. Perang ini memiliki beberapa periode. Antara
satu sejarawan dan lainnya memiliki pendapat yang berbeda tentang
periodesasinya. Hal ini akan dikemukakan lebih lanjut dalam tulisan ini. Beberapa
tokoh perang legendaris juga lahir dari peristiwa ini.
Melacak dan menyajikan
gambaran perang besar dalam beberapa lembar kertas bukan merupakan hal yang
mudah dan sangat mungkin tidak representatif, Akan tetapi paling tidak, makalah
ini akan berusaha mendeskripsikan Perang Salib melalui pembahasan mengenai
kondisi kedua belah pihak sebelum terjadinya perang, kronologi perang yang
mencakup hal-hal yang melatarbelakangi peperangan, jalannya peperangan termasuk
periode-periode di dalamnya, serta akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa ini.
Pembagian
sub-sub bahasan diatas bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
komprehensif terhadap peristiwa Perang Salib.
Kondisi
Umum Sebelum terjadinya Perang Salib
A. Dunia Barat Sebelum Perang Salib
Islam memulai ekspansinya ke
daratan Eropa melalui Spanyol pada tahun 710 M, tujuh tahun setelah itu,
Spanyol sepenuhnya jatuh ke tangan Islam.
Sicilia diserang pertama kali tahun 652 M dan dikuasai sepenuhnya oleh umat
Islam pada tahun 902 M. Sejak saat itu, Islam muncul di Eropa sebagai adikuasa.
Kehadiran Islam di Eropa, yang ditandai dengan berdirinya Daulah Umayah di
Spanyol, memberikan peran yang cukup penting, khususnya dalam rangka menyinari
Eropa yang berada dalam suasana kegelapan. Dunia Barat, khususnya Eropa,
sebelum masa Rennaisance merupakan kawasan yang terbelakang di bidang
peradaban. Barat merupakan daerah miskin, terkebelakang dan buta huruf. Selama
empat abad, Islam mengalami kedamaian dan keamanan intern sehingga mampu
membangun kebudayaan yang mempesonakan.
Masa antara abad VI-X adalah masa kegelapan bagi
Eropa. Memasuki abad XI, Eropa mengalami kebangkitan di bidang politik, yang
ditandai dengan stabilitas politik yang baik. Demikian pula dalam aspek
religius, yang ditandai dengan munculnya gerakan reformasi gereja. Kebangkitan
religius ini memuncak dan mendapatkan momentumnya pada abad XI. Hal
ini menjadi pendorong semangat mereka untuk menyusun dan menghimpun kekuatan.
B. Dunia Islam Sebelum Perang Salib
Apabila diperhatikan masa terjadinya
Perang Salib, maka periode tersebut adalah periode disintegrasi,
di mana kekuatan politik umat Islam terpecah ke dalam beberapa kerajaan kecil.
Daulah Abbasiyah, yang merupakan salah satu Dinasti Islam dengan masa
pemerintahan antara tahun 132 – 656 H, saat itu tengah memasuki akhir periode
kedua dan memasuki awal periode ketiga,
yaitu pemerintahan dikuasai oleh orang-orang Turki (232-334H), Buwaihi (334-447
H) dan Salajiqah (447-656 H),
di Mesir juga terdapat dinasti Fatimiyah yang sedang terpecah, sampai
terjadinya disintegrasi dalam tubuh Dinasti Abbasiyah, yang ditandai dengan
terpecahnya Dinasti Abbasiyah menjadi beberapa kerajaan kecil, baik yang ada di
kawasan Timur maupun kawasan Barat Baghdad..
Dari gambaran umum
keadaan Dunia Eropa dan Dunia Islam menjelang Perang Salib, terlihat bahwa di
satu sisi Dunia Eropa secara umum siap untuk melakukan dan menghadapi suatu
peperangan yang berkepanjangan, sementara di sisi lain tampak ketidaksiapan
Dunia Islam mengantisipasi akan terjadinya peperangan yang setiap saat dapat
meletus.
Kronologi Perang Salib
Banyak pendapat yang mendefinisikan Perang Salib. Akan tetapi secara
umum, Perang
Salib didefinisikan dengan serangkaian
peperangan yang terjadi antara umat Barat (Kristen
Eropa) dengan Timur (Kaum
Muslimin).
Perang Salib ini merupakan konflik terbesar antara umat Islam yang tengah
berkuasa di sebahagian Eropa, Afrika Utara
dan Asia, melawan Kristen yang baru bangkit dan berusaha merebut kota
Yerusalem.
Disebut
Perang Salib, karena umat Kristen dalam perang tersebut memakai logo salib yang
berwarna merah di dada mereka. Penggunaan logo salib ini, sedikit banyaknya
diilhami oleh perintah dari Injil yang memerintahkan kepada umat Kristen untuk
mengangkat salib.
Perintah menggunakan Salib yang terbuat dari kain berwarna merah yang disulam
pada jubah seragam pasukan Salib sebagai lambang bahwa Perang Salib semata-mata
untuk mempertahankan eksistensi umat Kristen.
Dari segi nama, lambang dan jargon yang dipergunakan, dengan sendirinya akan
menimbulkan suatu kesan bahwa perang ini adalah perang religius yang melibatkan
dua kekuatan besar penganut agama samawi.
A. Latar
Belakang terjadinya Perang Salib
Penamaan
perang ini dengan Perang Salib menimbulkan kesan bahwa faktor agama merupakan
faktor yang dominan, padahal sebenarnya agama bukanlah satu-satunya faktor yang
terpenting,
sebab Perang Salib merupakan akumulasi beberapa faktor. Untuk memahami hal
tersebut secara komprehensif, berikut ini akan dikemukakan
beberapa faktor yang dianggap pemicu terjadinya Perang Salib.
1. Faktor Agama
Pemerintahan
Bani Saljuk yang wilayah kekuasaannya meliputi Yerusalem memperketat aturan
ziarah bagi orang Kristen ke Bait al-Maqdis. Lalu lintas ziarah mereka
terhambat. Kemerdekaan mereka untuk berziarah
menjadi hilang. Oleh karena itu, mereka bergerak untuk merebut kembali
kebebasan mereka dan menguasai Yerusalem yang dianggap sebagai holy land
dari kekuasaan umat Islam.
Di
samping itu, Perang Salib merupakan ekspedisi spektakuler sebagai akibat tidak
langsung dari proses kebangkitan semangat religius yang melanda Eropa pada abad
X-XI M.
Dengan
demikian, Perang Salib merupakan salah satu upaya membela kepercayaan Kristen,
meski tidak ditemukan dalam kitab suci mereka (Bible/Injil) suatu perintah
sebagai justifikasi dan legitimasi pelaksanaan Perang Salib.
Dengan
demikian, Perang Salib diilhami oleh dua misi
Kristen, yaitu ziarah ke tempat suci dan perang suci (holy war). Ziarah
ke Bait al-Maqdis untuk merebut kembali holy
land sebagai tujuan jangka pendek, sedangkan di balik pelaksanaan holy
war terkandung misi ekspansi Dunia Eropa ke Asia.
2. Faktor Politik
Interaksi konflik
Timur-Barat merupakan interaksi konflik yang panjang dalam sejarah.
Antara Timur dan Barat telah beberapa kali terjadi kontak-konfrontatif, yang awalnya dimulai dengan perang kuno antara
bangsa Troya dan bangsa Parsi.
Konflik tersebut berlangsung hingga zaman pertengahan dalam bentuk konflik dua
peradaban besar,
bahkan hingga zaman modern ini yaitu konflik antara Barat dan Timur yang oleh
sebahagian pengamat dipandang sebagai representasi dari konflik Islam-Kristen.
Memasuki
abad pertengahan, umat Kristen melihat wilayah mereka terancam oleh ekspansi
Islam, bahkan Konstantinopel merasa terancam dari
serangan Bani Saljuk, sebab wilayah di sekitar Asia kecil telah dikuasai
oleh mereka. Dalam keadaan seperti ini imperium Bizantium menggalang dukungan
segenap umat Kristen di daratan Eropa untuk mempertahankan imperiumnya.
Di
samping itu, peristiwa kekalahan pasukan Armanus, Raja Romawi, dari pasukan
Bani Saljuk di bahwa pimpinan Alp Arselan (355-465 H/1063-1072 M) yang
mengakibatkan Manzikart jatuh ke tangan kaum muslimin (464 H/1071 M), menjadi
suatu trauma politis yang harus segera dibalas. Dalam pada itu, muncul
cita-cita di kalangan Kristen Eropa untuk mendirikan kerajaan al-Masih di
seluruh wilayah Timur dan menjadikan Timur sebagai zona Kristen.
Di sisi
lain, tradisi mengembara dan bakat kemiliteran suku Teutonia yang telah
mengubah arah sejarah Eropa sejak penghancuran gereja Sepulchre (gereja
tempat dikuburnya Yesus) yang dilakukan oleh Khalifah al-Hakim dari Fathimiyah
(386-411 H/996-1020 M) pada tahun 1009.
Jadi, dalam hal ini tampak adanya dendam politik dari pihak Kristen-Eropa
terhadap Islam.
3. Faktor Sosial-Ekonomi
Stratifikasi
sosial masyarakat Eropa masyarakat terbagi ke dalam
tiga kelas, yaitu kaum gereja, aristokrat dan rakyat jelata. Rakyat jelata
merupakan kelompok mayoritas.
Kehidupan mereka sangat hina dan tertindas. Oleh karena itu seruan mobilisasi
oleh pihak gereja untuk berpartisipasi dalam perang suci dengan iming-iming
akan mendapat kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik disambut secara
spontan, dan jaminan spritual bahwa memerangi musuh adalah suatu hal yang
terhormat dan mulia, mereka diampuni dosa-dosanya sehingga apabila mati dalam
peperangan adalah ‘pahlawan agama, dan langsung masuk surga.
Kawasan
Timur Tengah adalah kawasan yang sangat strategis prospektif bagi sentra
perdagangan, sebab sejak dahulu merupakan lalu lintas perdagangan yang ramai.
Oleh karena itu, menguasai wilayah tersebut akan sangat menguntungkan sebab
akan dijadikan sebagai pintu gerbang pengembangan perdagangan ke
wilayah-wilayah sekitarnya.
Sejak abad X Masehi, umat Islam menguasai jalur perdagangan
di laut Tengah. Para pedagang Pisa, Venesia dan Genoa tertarik untuk ikut serta dalam perang karena motif ini.
Hal tersebut menimbulkan keinginan untuk menguasai wilayah tersebut. Bagi
kebanyakan rakyat Prancis, Lorraine, Italia dan Sicilia, yang tengah berada
dibawah tekanan ekonomi dan sosial, membawa salib lebih menjadi salah satu
bentuk pembebasan daripada pengorbanan.
B. Jalannya Perang Salib
Perang
Salib merupakan rangkaian beberapa peperangan yang terjadi dalam interval waktu
1095-1291 M. Dalam masa tersebut terjadi beberapa kali serangan dari kedua
belah pihak, sehingga kalangan sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan
periodesasi Perang Salib.
Setelah
memperhatikan perbedaan yang dikemukakan oleh sejarawan tersebut, ternyata
umumnya mereka sepakat pada periode Salib I dan II, namun dalam periode
selanjutnya berbeda-beda. Ada yang membatasi periodisasi, sementara yang lain
memperluas dengan memasukkan beberapa pertempuran yang dianggap sebagai bagian
tidak terpisahkan dari Perang Salib.
Perang Salib I
Periode ini berlangsung antara tahun 1095 sampai tahun 1144 M.
Berawal
dari permohonan kaisar Alexius Comnesus
(Kaisar Byzantium 1081-1118) terhadap Paus, karena ketidak mampuannya menahan
dan menghadapi serangan Bani Saljuk.
Selanjutnya pada bulan Maret 1095, di Biyakinza-Italia diadakan ‘kongres’ yang
dihadiri Paus, disusul kongres di Clermont pada tanggal 27 November tahun yang
sama. Dari hasil kongres Paus menghimbau kepada umat Kristen agar bersatu
menyelamatkan Yerusalem yang dikuasai umat Islam.
Dalam
waktu yang tidak terlalu lama, berkumpullah pasukan Salib, yang berada di bawah
kendali Walter the Phenniles, diikuti pasukan Gottschalk, untuk bergabung dengan pasukan reguler yang
berjumlah antara 200-300 ribu personel yang berkumpul di dekat Konstantinopel.
Pasukan sebanyak tersebut bukannya di bawah satu komando, akan tetapi pimpinan
pasukan terbagi berdasarkan bangsawan yang mengerahkannya. Di antara
pemimpin-pemimpin angkatan Perang Salib pertama Godfrey de Buillon, dan dua
saudaranya, Baldwin dan Eustace, Robert I–Duke Normandia, Robert–Pangeran
Flanders, Stephen–Pangeran Charters, Raymond IV–Pangeran Tolouse, Bohemond–Pangeran
Terentum, dan Tancred–keponakan Duke Bohemond. Pada tahun 1097, tentara Salib
menyeberang selat Bosporus dan mengepung Nicaea
yang dikuasai oleh Bani Saljuk. Kota tersebut jatuh ke tangan tentara Salib
pada tanggal 18 Juni 1097, selanjutnya tahun 1098 mereka menguasai Edessa dan
mendirikan kerajaan Latin I di bawah pimpinan Baldwin. Penyerbuan diteruskan ke
Antiochea, dan setelah mengepung kota tersebut selama sembilan bulan sejak
Oktober 1097, akhirnya jatuh ke tangan pasukan Salib dan mereka mendirikan
kerajaan Latin II di bawah pimpinan Bohemond. Dari Antiochea penyerbuan
diteruskan ke Hisn al-Akkad dan Tarsus, namun mereka gagal bahkan Raymond
tewas dalam pengepungan tersebut. Serangan berikutnya diarahkan ke Bait
al-Maqdis. Setelah mengepung Jerusalem selama 38 hari, tanggal 15 Juli 1099
kota tersebut jatuh ke tangan tentara Salib. Berdasarkan mandat dari Paus di
Roma maka tentara Salib mendirikan Kerajaan Yerusalem (Latin III) yang
diperintah oleh Godfrey. Setelah penaklukan
Bait al-Maqdis, ekspansi tentara Salib dilanjutkan, sehingga mereka dapat
merebut dan menguasai kota Akka (1044), Tyrus (1124), Tripoli (1109) dan Tyre
(1124). Di Tripoli tentara Salib mendirikan kerajaan Latin IV yang diperintah
oleh Raymond.
Dengan
dikuasainya beberapa wilayah tersebut, Perang Salib Pertama berakhir dengan
kemenangan tentara Salib dan berhasil merealisasikan tujuan utamanya yakni
merebut dan menguasai Bait al-Maqdis dari tangan umat Islam.
Dalam
keadaan terpecah belah, praktis rekasi umat Islam terhadap tentara Salib tidak
efektif. Menyadari kekalahannya dari pasukan Salib, maka umat Islam segera
menyadari kekalahannya dan menyusun satu kekuatan untuk merebut kembali
kejayaannya.
Imaduddun
Zanki (1127-1162), penguasa Mosul yang wilayahnya meliputi Halab, Harran dan
Baghdad bagian Utara, merupakan penguasa muslim pertama yang bereaksi keras
terhadap tentara Salib. Sasaran pertama Zanki ialah al-Ruha, karena kota
tersebut dekat dengan Baghdad dan menguasai jalan utama antara Mesopotamia dan
Mediterrania. Kota ini jatuh pada tahun 1144. Penguasa Edessa, Joscelyn II
(1131-1144) berhasil ditangkap setelah melalui beberapa pertempuran.
Pada tahun yang sama, kota Aleppo, Hamimah dan Edessa dapat direbut kembali.
Perjuangan Imaduddin dilanjutkan puteranya Nuruddin Zanki dan berhasil merebut
kembali Antiochea (1149) dan seluruh Edessa (1151).
Kemenangan
pasukan Islam merebut wilayah-wilayah tersebut menggugah pihak Kristen Eropa
untuk mengerahkan angkatan Salib II.
Perang Salib II
Pada
Konsili Vezelay (1146) Paus Eugenius II (1145-1153) memerintahkan Louis VII dan
Condrad III sebagai bagian dari pasukan Salib angkatan II.
Kedua pasukan itu berangkat untuk menyerang Damascus (Syiria), namun di tengah
jalan diperdayai oleh Kaisar Byzantium. Sisa-sisa pasukan Condrad III menyerang
Damascus, walaupun akhirnya gagal dan sisa-sisa pasukan Laouis VII dihancurkan
pasukan Nuruddin. Tahun 1154 pasukan Nuruddin mengambil alih Damascus sebagai
upaya melapangkan jalan menuju Yerusalem. Kemudian mengirim pasukan ke Mesir
urntuk yang dipimpin oleh Syirkuh dan Shalâh al-Dîn al-Ayyûbi. Shalah al-Dîn
mengambil alih pemerintahan Bani Fathimiyah di Mesir dan mendirikan Dinasti
Ayyubiyah (1174). Pada tahun 1187, ia berhasil berebut Yerusalem yang
mengakhiri kekuasaan kerajaan Latin III.
Jatuhnya
Bait al-Maqdis ke tangan Shalah al-Dîn al-Ayyûbi, disebabkan oleh faktor
kelemahan pasukan Salib, yaitu :
1.
Matinya raja
Almarice yang digantikan oleh pemimpin yang tidak cakap.
2.
Terjadinya
perselisihan antara pasukan Salib yang berada di Antiochea dan berada di Bait
al-Maqdis.
3.
Terpecahnya
kerajaan Latin ke dalam beberapa propinsi.
4.
Perdagangan
monopoli bangsa Itali, Venesia, yang tidak memberikan sebagian keuntungannya
perniagannya kepada kaum Kristen sebagai aset kerajaan.
Akibat
jatuhnya kembali Yerusalem ke tangan Shalâh al-Dîn al-Ayyûbi, Paus segera
menghimpun dan mengkonsolidasi kekuatan dan mengobarkan kembali Perang Salib.
Perang
Salib berikutnya dipimpin oleh Frederick Barbarossa, dari Jerman, Richard the
Lion Heart dari Inggris dan Philip Augustus dari Perancis.
Pasukan ini berhasil merebut Acra, namun tidak berhasil merebut Yerusalem.
Karena ketidakmampuan menghadapi kekuatan pasukan Shalah al-Dîn serta khawatir
akan keselamatan daerah-daerah kekuasaannya dan kejenuhan mengikuti prang yang
berkepanjangan, Richard menawarkan perjanjian. Pada tanggal 2 Juli 1192
disepakati Shulh al-Ramlah.
Richard kembali ke Inggris dan beberapa bulan sesudahnya, Shalah al-dîn
al-Ayyûbi wafat. Pada tahun-tahun setelah wafatnya Shalah al-Dîn al-Ayyûbi,
masih terjadi beberapa gelombang Perang Salib.
Pada
tahun 1212, pihak Kristen Eropa mengerahkan Children’s Crusade. Ide ini
dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa angkatan-angkatan Salib sebelumnya selalu
gagal, karena setiap pilgrim yang ikut dalam Perang Salib penuh dosa,
sehingga hanya orang yang betul-betul bersih dan murni yang akan membawa
keberhasilan misi Perang Salib. Pasukan Salib anak-anak (remaja) terdiri dari
30.000 anak dari Perancis dipimpin Stphanus, seorang janda muda, dan 20.000
anak dari Jerman yang dipimpin oleh Nicholas.
Akan tetapi, perjalanan missi ini sangat tragis. John J.Saunder, menyebut pengiriman
angkatan Salib anak-anak ini sebagai A pathetib episode. Pengiriman
angkatan Salib anak-anak ini dalam perjalanan dari pelabuhan Marseille ke
Palestina, kapal-kapal yang memuat anak-anak tersebut singgah di berbagai
pelabuhan untuk menjual anak-anak tersebut untuk dijadikan budak.
Dengan demikian, angkatan Salib ini gagal sebelum tiba di medan perang.
Pasukan
salib dipimpin oleh Frederick II, berusaha merebut Mesir sebelum Yerusalem
dengan harapan mendapatkan bantuan dari Kristen Qibti. Tahun 1219, mereka
berhasil merebut Dimyat. Al-Malik al-Kamil dari dinasti Ayyubiyah membuat
perjanjian dengan Frederick yang isinya antara lain Ferederick melepaskan
Dimyat sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina. Dalam perkembangan
selanjutnya, pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, Palestina direbut
kembali oleh kaum Muslimin (1247).
Sejak
berakhirnya kekuasaan Dinasti Ayyubiyah (1250) dan digantikan Dinasti Mamluk
(1250-1517) masih terjadi beberapa gelombang Perang Salib. Sultan Baybars
(1260-1277) berhasil merebut beberapa wilayah yang dikuasai oleh tentara Salib.
Sultan Qalawun menjalin hubungan dengan Genoa, Castile, Sicilia dan Byzantium.
Hal tersebut membuat tentara Salib yang masih menguasai Tripoli takut untuk
menyerang. Qalawun menyerbu Tripoli dan berhasil menguasainya (1289).
Al-Khalil, putera Qalawun, menyerbu dan berhasil merebut Acre (1291). Kota Acre
merupakan benteng terakhir tentara Salib.
Dengan jatuhnya benteng tersebut, dengan sendirinya mengakhiri Perang Salib
yang telah berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Periodesasi
Perang Salib yang disebutkan di atas, terbatas pada dua priode yang disepakati
oleh sejarawan. Untuk priode selanjutnya, mereka tidak sepakat. Misalnya, ada
yang mengatakan hanya tiga periode,
ada yang membagi sampai empat periode,
ada yang membagi tujuh periode, delapan periode,
bahkan ada yang lebih dari itu dengan memasukkan Children Crusades
sebagai satu periode tersendiri.
Menurut
penulis, terjadinya perbedaan pendapat mengenai priodesasi tersebut tidaklah
menjadi masalah. Yang jelas bahwa perseteruan antara umat Islam dan Kristen
dalam bentuk perang, terjadi dalam beberapa gelombang. Gelombang-gelombang
tersebut tidak dapat dipastikan, apakah sudah termasuk angkatan Perang Salib
atau tidak.
C. Akibat
Yang Ditimbulkan Perang Salib
Perang
Salib yang terjadi sampai pada akhir abad XIII memberi pengaruh kuat terhadap
Timur dan Barat. Di samping kehancuran fisik, juga meninggalkan perubahan yang
positif walaupun secara politis, misi Kristen-Eropa untuk menguasai Dunia Islam
gagal. Perang Salib meninggalkan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan Eropa
pada masa selanjutnya.
Akibat
yang paling tragis dari Perang Salib adalah hancurnya peradaban Byzantium yang
telah dikuasai oleh umat Islam sejak Perang Salib keempat hingga pada masa kekuasaan
Turki Usmani tahun 1453. Akibatnya, seluruh kawasan pendukung kebudayaan
Kristen Orthodox menghadapi kehancuran yang tidak terelakkan, yang dengan
sendirinya impian Paus Urban II untuk unifikasi dunia Kristen di bawah
kekuasaan paus menjadi pudar.
Perubahan
nyata yang merupakan akibat dari proses panjang Perang Salib ialah bahwa bagi
Eropa, mereka sukses melaksanakan alih berbagai disiplin ilmu yang saat itu
berkempang pesat di dunia Islam, sehingga turut berpengaruh terhadap
peningkatan kualitas peradaban bangsa Eropa beberapa abad sesudahnya.
Mereka belajar dari kaum muslimin
berbagai teknologi perindustrian dan mentransfer berbagai jenis industri yang
mengakibatkan terjadinya perubahan besar-besaran di Eropa, sehingga peradaban
Barat sangat diwarnai oleh peradaban Islam dan membuatnya maju dan berada di
puncak kejayaan.
Bagi
umat Islam, Perang Salib tidak memberikan kontribusi bagi pengebangan
kebudayaan, malah sebaliknya kehilangan sebagian warisan kebudayaan. Peradaban
Islam telah diboyong dari Timur ke Barat. Dengan demikian, Perang Salib itu
telah mengembalikan Eropa pada kejayaan, bukan hanya pada bidang material,
tetapi pada bidang pemikiran yang mengilhami lahirnya masa Renaisance.
Hal tersebut dapat dipahami dari kemenangan tentara Salib pada beberapa
episode, yang merupakan stasiun ekspedisi yang bermacam-macam dan memungkinkan
untuk memindahkan khazanah peradaban Timur ke dunia Masehi-Barat pada abad
pertengahan.
Di
bidang seni, kebudayaan Islam pada abad pertengahan mempengaruhi kebudayaan
Eropa. Hal itu terlihat pada bentuk-bentuk arsitektur bangunan yang meniru
arsitektur gereja di Armenia dan bangunan pada masa Bani Saljuk. Juga
model-model arsitektur Romawi adalah hasil dari revolusi ilmu ukur yang lahir
di Eropa Barat yang bersumber dari dunia
Islam.
Perang
Salib memberi kontribusi kepada gerakan eksplorasi yang berujung pada
ditemukannya benua Amerika dan route perjalanan ke India yang mengelilingi
Tanjung Harapan.
Pelebaran cakrawala terhadap peta dunia mempersiapkan mereka untuk melakukan
penjelajahan samudera di kemudian hari. Hal tersebut berkelanjutan dengan upaya
negara-negara Eropa melaksanakan kolonisasi di berbagai negeri di Timur,
termasuk Indonesia.
Bagi
dunia Islam, Perang Salib telah menghabiskan asset kekayaan bangsa dan
mengorbankan putera terbaik. Ribuan penguasa, panglima perang dan rakyat
menjadi korban. Gencatan senjata yang ditawarkan terhadap kaum muslimin oleh
pasukan salib selalu didahului dengan pembantaian masal. Hal tersebut merusak
struktur masyarakat yang dalam limit tertentu menjadi penyebab keterbelakangan
umat Islam dari umat lain.
Walaupun
demikian, di sisi lain Perang salib membuktikan kemenangan militer Islam di
abad pertengahan, yang bukan hanya mampu mengusir Pasukan Salib, tetapi juga
pada masa Turki Usmani mereka mampu mencapai semenanjung Balkan (abad ke-14-15)
dan mendekati gerbang Wina (abad ke-16 dan 17), sehingga hanya Spanyol dan
pesisir Timur Baltik yang tetap berada di bawah kekuasaan Kristen.
IV. PENUTUP
Perang
Salib merupakan titik klimas konfrontasi Timur-Barat (Islam-Kristen). Perang
ini dilatarbelakangi oleh akumulasi berbagai faktor, baik menyangkut agama,
politik, ekonomi, maupun ambisi pribadi secara berlebihan dari seorang Paus
untuk mewujudkan berdirinya kerajaan al-Masih yang meliputi Barat dan Timur di
bawah kekuasaan Paus, demikian pula ambisi para penguasa Eropa Barat untuk
memperluas wilayah kekuasaaanya ke Timur. Dengan demikian, kelirulah pandangan
yang melihat bahwa Perang Salib dilatarbelakangi oleh faktor religius semata.
Perang
Salib yang terjadi merupakan serangkaian peperangan dalam interval waktu
1095-1291. Namun para sejarahwan tidak sepakat dalam memperiodisasi Perang
Salib tersebut. Ada beberapa periodisasi yang dikemukakan, namun periodisasi
tersebut tidak jelas dan tegas.
Meskipun
secara politis, Eropa gagal menguasai Dunia Islam, namun di sisi lain mereka
dapat mengenal lebih jauh lagi peradaban dan kultur Timur yang kemudian
ditransfer ke Barat. Hal ini antara lain disebabkan Perang Salib bukan hanya
sebuah ekspedisi militer tetapi lebih dari itu juga berfungsi sebagai misi
peradaban. Ketika berlangsungnya perang, orang-orang Eropa di samping
mengerahkan kekuatan militernya ke Timur, di sisi lain melakukan peralihan
peradaban Islam ke Eropa, sehingga setelah berakhirnya Perang Salib, maka
bangsa Eropa merasakan dan menikmati hasil positif dari perang yang
berkepanjangan tersebut. Kebangkitan Eropa sejak masa Renaisance hingga
sekarang, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Perang Salib.
Baik
di Timur maupun di barat, trauma Perang Salib selalu membayang-bayangi pola
hubungan Timur dan Barat dewasa ini. Hal itu misalnya terlihat pada setiap
konflik konfrontatif antara Islam – Barat yang hanya bersifat lokal-regional,
selalu diidentikkan sebagai salah satu bentuk baru dari Perang Salib.
DAFTAR
RUJUKAN
Dr. Mahmud Said Imran, Ta>ri>kh al-H{uru>b
al-S{oli>biyyah 1095-1291
(Mesir: Da>r al-Ma’rifah al-Ja>mi’iyyah,
2000) hal 18.
Ali,
Syed Ameer, A Short History of the Saracens, 3rd Publishers;
New Delhi: Kitab Bhavan, 1981.
Ali,
Prof. K.. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: Srigunting, 1997.
Asyur,
Said Abdul Fattah “al-Harakah al-Shalibiyah” diterjemahkan oleh Muhammad Mahrus
Muslim dengan judul: Kronologi Perang Salib, Cet. I; Jakarta: Fikahati
Aneska, 1993.
Cahen,
C. “Crusades” dalam B. Lewis, Ch. Pellat dan J. Schacht, The Encyclopaedia
of Islam, Vol. VI, New Edition; Leiden EJ. Brill, 1965.
Cooper,
Kenneth S. “Crusades” dalam Martha Glauber Shaff, (Chief Editor), The New Book of Knowledge, 12th
Publishers; New York: Grolier Inc., 1977.
Dewan
Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam di Indoensia, Jakarta:
Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1993.
Esposito,
John L. “The Islamic Threat: Myth or Reality” diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman
dan MISSI dengan judul: Ancaman Islam Mitos atau realitas, Edisi Revisi.
Cet. III; Bandung: Mizan, 1996.
Al-Fârûqî,
Ismail Ragi. (Ed.), Historical Atlas of the Religions of the World, New
York: MacMillan Publishing Co. Inc., t.th.
Feldman,
Melville W. dan Rudolph H. Yeatman, Jr. (Editor), The World University
Encyclopedia, Vol. IX. Washington DC: Publishers Company, Inc., 1965.
Fink,
Harold Swenson “Crusades” dalam Warren E. Preece, (Ed. Director) Encyclopaedia
Britannica, Vol. VI, Chicago: William Benton Publishers, t.th.
Grunebaum,
G. E. Von, Classical Islam A History 600-1258AD, Chicago: Aldine
Publishing Company, 1970.
Hameedullah,
H. “Sejarah Umum Islam” dalam Hakeem Abdul Hameed, (Ed.), “Islam at a Glance”
diterjemahkan oleh M. Ruslan Shiddieq dengan judul: Aspek-Aspek Pokok Agama
Islam, Cet. I; Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983.
Hart,
Michael H. “The 100 A Ranking of The Most Influential Persons in History”
diterjemahkan oleh Mahbub Junaidi dengan judul Seratus Tokoh Yang Paling
Berpengaruh dalam Sejarah, Cet. XV; Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1993.
Harun,
M. Yahya. Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa, Ed. 1. Cet. I;
Yogyakarta: Usaha Yogyakarta, 1987.
Hitti,
Philip K. History of the Arab, 10th Edition, 4th
Publishers; New York: MacMillan Press LTD, 1974.
Huntington,
Samuel P. “Clash of Civilization?”
diterjemahkan oleh Saiful Mazani dengan judul Benturan Peradaban Masa
Depan Politik Dunia? dalam Ulûm al-Qur’ân, Nomor 5 Vol. IV Tahun
1993. h. 12.
Imamuddin,
S. M. Muslim Spain 711-1492 AD, Leiden: E. J. Brill, 1981.
Lorimer,
Lawrence T., Jeffrey H. Hocker dan
Ronald B. Roth (Editor), Grolier Encyclopedia of Knowledge, Grolier
Incorporated, 1993.
Nasution,
Nasution, et. al. (Editor) , Ensiklopedi Islam, Jakarta: Dijen
Binbaga Islam, 1992/1993.
Nasution, Harun Islam Ditinjau dari berbagai
Aspeknya, jilid 1, Cet. V; Jakarta: UI Press, 1985
--------, Pembaharuan dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Cet. VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Osman,
A. Latif. Ringkasan Sejarah Islam, Cet. XVII; Jakarta: Widjaya, 1981.
Saunders,
John. J. A History of Medival Islam, 3rd Published; London:
Rouledge and Kegan Paul, 1980.
--------,
“Crusades” dalam Lawrence T. Holimer, The Encyclopedia Americana, Vol
VIII, New York: Grolier Incorpoprated, 1992.
Shibel,
Muhammad Fuad, “Hadharât al-Islâm Fî Dirâsât Toynbee Li al-Tarîkh”
diterjemahkan oleh H. Bustami Abdul Gani dan Chatibul Umam dengan judul: Kebudayaan
islam Menurut Tinjauan Toynbee, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Shoutern,
R. W. Western Views of Islam in the Middle Ages, Cambridge: Harvard
University Press, 1962.
Sou’yb,
Joesoef. Sejarah Daulah Umaiyah Cordova, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1977.
--------,
Orientalisme dan Islam, Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Steenbrink,
Karel A. Mencari Tuhan dengan Kaca Mata Barat, jilid II. Yogyakarta:
1988.
Syalabi,
Ahmad. Mausû’ah Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islâmiyah, Cet. VI;
jilid IV-V, Kairo: Nahdah al-Misriyah, 1977/1978.
Syalabi,
Mahmud, “Shalah al-Dîn al-Ayyûbi” diterjemahkan oleh Abdullah Mahdami dengan
judul Shalahuddin al-Ayyubi Pahlawan Perang Salib, Cet. I; Solo: Pustaka
Mantiq, t.th.
Thalfâh,
Khairullah Kuntum Khayra Ummatin Ikhrijat Li al-Nâs, Cet. V; Beirut: Dâr
al-Kutub al-Araby, 1975.
Tim
Penyusun Tex Book Sejarah dan Kebudayaan Islam Dirjen Binbaga Islam Departemen
Agama, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 1. Ujung Pandang, 1981/1982.
Wajdiy,
Muhammad Farid. Dâirah al-ma’ârif al-Qarn al-Isyrûn, jilid V, Beirut;
Dâr al-Fikr, t.th.
Al-Wakil,
Muhammad Sayyid, “Lamhatun min Tarîkh al-Da’wah: Asbâb al-Da’îf fi al-Ummat
al-Islâmiyah” diterjemahkan oleh Fadhli Bahri dengan judul: Wajah dunia
Islam Dari Dinasti Umaiyah Hingga Imperialisme Modern, Cet. II; Pustaka
al-Kautsar, 1998
Watt,
William Montgomery. Muhammad Prophet and Statesman, New York: Oxford
University Press, 1961.
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam, Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.