Kamis, 13 November 2014


Ilmu Kalam; Sebuah Tinjauan Historis
Pendahuluan
Sejatinya, manusia secara naluriah membutuhkan Tuhan. Dalam artian, butuh kekuatan di luar dirinya yang mampu menolong saat keterbatasan kemanusiaannya, baik akal dan tenaganya tidak mampu lagi menjangkau. Hal ini bisa dilihat dalam sejarah peradaban manusia yang menyembah segala sesuatu yang mereka anggap sumber kekuatan dan mempunyai sifat penolong. Sebagai contoh, Nabi Ibrahim sebelum mengenal Tuhan Allah menyembah segala sesuatu yang ia anggap sumber kekuatan. Kaum Zoroaster yang menyembah api. Pada zaman Yunani kuno, manusia menyembah banyak Dewa. Dengan demikian, manusia membutuhkan sesuatu untuk disembah, disanjung, dan ditakuti yang dipercaya mampu menolong. Membutuhkan Tuhan sudah merupakan kepastian takterhindarkan dalam diri manusia.
Agama Islam mengajarkan monoteisme. Semua Nabi yang diutus Tuhan ke muka bumi membawa risalah yang sama, yaitu Tauhid. Keesaan Tuhan. Tauhid dalam tinjauan Islam merupakan hal yang sangat urgen; Harus dipahami dan diyakini oleh setiap muslim. Sebab dasar agama Islam adalah syahadah: Pengakuan dan meyakini secara total bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai rasulnya.
Meski Islam menanamkan ketauhidan, yakni Allah sebagai Tuhan yang satu, namun hal tersebut melahirkan banyak ragam pandangan dan konsep teologis yang berbeda-beda dalam diri penganutnya. Artinya, meskipun Tuhan sebagai obyek keyakinan umat Islam sama, yakni Allah, namun ketika Allah yang satu itu direspon dan dipahami oleh banyak individu umat Islam sejagad, maka justru melahirkan beragam konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Banyak terjadi perdebatan-perdebatan tentang Tuhan yang pada akhirnya memunculkan ilmu kalam.
Pada masa Muhammad, perdebatan yang mengarah pada persoalan seputar teologi, bisa dikatakan tidak ada. Ada kecendrungan “pasif” dari pada sahabat untuk memperdebatkan persoalan agama. Kalau pun ada, semuanya bisa diselesaikan dengan merujuk pada Muhammad sebagai tiang rusuk dan refrensi utama persoalan-persoalan Islam saat itu. Mungkin juga ada kecendrungan kearah perdebatan seputar ushul al-din, namun gaungnya tidak terdengar, karena tertutup olah wacana dakwah yang lebih urgen dan kontekstual saat itu. Wacana dakwah yang dimaksud di sini adalah pembentukan stabilitas berpikir ketuhanan umat Islam. Di samping itu, belum adanya impor pemikiran ke dalam bangunan paradigma berpikir umat Islam bisa dijadikan salah satu faktor penyebabnya.
Nama dan Istilah
            Sebenarnya, istilah yang diangkat dan dipakai para intelektual muslim untuk menyebut kajian ilmu kalam ini tidak tunggal. Mereka mempunyai beragam istilah untuk menyebut kajian mendasar tentang ajaran agama ini. Salah satunya adalah ilmu ushul al-din, yang didasarkan pada keberadaan kajian ini sebagai bagian paling mendasar dari agama. Istilah ini bisa dilihat dalam kitab ar-Razi (606 H). yang berjudul al-Mahshal fi ushul al-din dan kitab al-Syamil min Ushul al-din milik al-Juwaini (478 H).
            Sebagian ulama memakai istilah ‘ilmu al-tauhid (Ilmu yang mempelajari keesaan Tuhan). Isitilah ini diangkat dari tema pokok yang dipelajari dari kajian akidah tersebut, yaitu keesaan Tuhan. Di antara yang menyebut demikian adalah al-Maturidi (333 H). dalam bukunya ‘ilmu al-tauhid dan Muhammad Abduh (1323 H). dalam bukunya Risalah al-tauhid.
            Di samping itu terdapat istilah seperti al-fiqh al-Akbar yang dipakai Imam Abu Hanifa, ‘ilmu al-zdat al-shifah yang berangkat dari salah satu tema kajiannya tentang zdat dan sifat Tuhan, dan al-aqaid (kumpulan akidah) yang dikenalkan oleh, salah satunya, Ibnu Khaldun.
            Tetapi yang paling popular dari sekian istilah itu adalah ilmu kalam.
            Penamaan kajian teologis ini dengan istilah “Ilmu Kalam” juga mempunyai latar belakang yang beragam. Sebagian ulama mengembalikan sejarah penamaan ilmu kalam kepada fenomena yang muncul dalam perdebatan sengit tentang kalam Tuhan (al-Quran). Ini terjadi pada abad ke-3 H. ketika al-Makmun yang dijadikan paham muktazilah sebagai mazdhab resmi negara memaksa Imam Ibnu Hanbal untuk meyakini al-Qruan sebagai mahkluk. Tragedi ini  dikenal dengan tragedi Khalq al-Quran (penciptaan al-Quran)[1].
Sebagian yang lain mengembalikannya pada keterkaiatan kajian ini dengan kalam, yang berarti pembicaraan atau orasi-argumentatif. Pada masa lalu, realita pemilihan orasi-argumentatif untuk mengukuhkan dan menyebarkan ilmu ini sangat jelas terlihat. Debat menjadi salah satu forum yang takterpisahkan dari ilmu kalam.
            Ada yang menyederhanakannya pada keberadaan ulama-ulama ilmu kalam yang hanya berteori (kalam) tanpa aksi (‘amal/fi’li). Pembahasan ilmu ini abstrak dan teoritis. Sedangkan ulama-ulama fikih lebih banyak membahas persoalan amal praktis.[2]
            Salah satu ulasan menarik seputar latar belakang istilah ilmu kalam adalah, mengembalikan penamaan itu pada keterkaitan yang erat pada ilmu kalam dengan logika Yunani yang disebut oleh orang-orang Arab sebagai ilmu mantiq. Dan mantiq berarti kalam. Salah satu logika yang memengaruhi ilmu kalam klasik adalah, logika Aristoteles.
Definisi dan Karakter
            Al-Farabi mendefinisikan: “ilmu kalam adalah sebentuk karya yang membantu manusia mampu menolong ide-ide dan perbuatan yang diterangkan oleh pembuat agama dan mengahancurkan pendapat yang berseberangan dengannya.”[3]
            Tidak hanya al-Farabi, banyak tokoh yang juga melaluli jalan yang sama saat meramu definisi ilmu kalam. Berikut beberapa definisi dari tokoh Islam klasik tentang ilmu kalam:
1.      Abu Hayyan al-Tauhidi (310-414 H). dalam buku tsamrat al-‘Ulum ia menulis, ilmu kalam adalah sebuah pintu ilmu berkenaan dengan pokok-pokok agama, yang menjadikan akal sebagai landasan untuk menilai baik atau buruk.
2.      Abu Jakfar al-Tushi (385-460 H). mendefiniskan ilmu kalam dalam bukunya, Risalah syarh al-‘Ibarat al-Mushthalahah, sebagai “pokok-pokok ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari dzat Tuhan, sifat-sifatnya, yang berlandaskan undang-undang syariat, dalam prinsip dan tujuannya”
3.      Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H). ulama yang satu ini memberikan takrif Ilmu kalam dalam bukunya yang monomental insya’ ‘Ulum al-din, dengan sebuah kalimat yang pendek, yaitu “pengetahuan tentang yang ada, dengan apa yang ada berdasar undang-undang Islam (‘Ilmu al-maujud bima hua maujud al qanun al-Islam)”[4]
4.      Abdurahman bin Ahmad al-Iji (710-756 H.) mendifinisikan ilmu kalam sebagai "ilmu yang mampu meneguhkan akidah keagamaan dengan dalil-dalil yang jelas, dan menolak kerancuan."[5]
5.      Sa'duddin al-Taftazani (712-793 H.) mengatakan, ilmu kalam adalah "pengetahuan tentang kaidah-kaidah normatif teologi yang didasarkan pada dalil yang meyakinkan."[6]
Keragaman definisi yang dikemukakan beberapa tokoh Islam di atas mencerminkan perkembangan dan evolusi dinamik dalam wacana ilmu kalam. Ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang hidup dan mendapat kajian yang serius dari intelektual Islam, hingga sekarang.
Tetapi, seiring perkembangan sosio-religi umat Islam, karakter dan pola pandang umat Islam terhadap ilmu kalam klasik mulai berubah. Ilmu kalam tidak lagi diposisikan sebagai "tentara" yang bertugas mengamankan daerah keakidahan Islam, tetapi diidealkan untuk juga mampu memberikan jalan keluar bagi problematika kekinian.
Jika ilmu kalam klasik memerankan pembelaan terhadap akidah, maka seharusnya kini ia difungsikan sebagai pembelaan terhadap kemanusiaan, penentangan pada kolonialisme, dan rancang bangun masa depan manusia. Dari sudut pandang ini, Hassan Hanafi mengatakan bahwa ilmu kalam selalu baru dalam bentuknya sebagai penentangan terhadap tradisi status quo.[7]
Muncul dan Perkembangan Ilmu Kalam
            Tumbuh dan perkembangan ilmu kalam ini bermula pada kekhilafaan Ali bin Abi Thalib. Pada masa ini, banyak peperengan terjadi antar sesama umat Islam. Hal ini dipicu ketidaksetujuan sebagian sahabat atas kepemimpinan Ali yang atas dasar politik (menginginkan kekuasaan), terutama Talhah bin Ubaidillah dan Zuabir bin Awwam yang mendapat dukungan penuh dari Aisyah.[8] Tak ayal, pertentangan ini berbuah perang fisik yang terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Pada masa ini dikenal oleh umat Islam dengan fitnah al-kubra.[9] Pada masa ini pula banyak terjadi peperangan yang di antaranya adalah perang Unta[10] pada tahun 656 M.
Sebagaimana Talhah dan Zubair, Mu’awiyah yang pada waktu itu menjadi gubernur di Damaskus, juga menentang atas kekhilafaan Ali.  Mu’awiyah yang bagian terdekat dari keluarga Utsman bin Affan menuntut agar Ali segera menyelesaikan persoalan tersebut serta menarik pelaku pembunuh ke pengadilan. Tanpa itu, Mu’awiyah tidak akan mengakui eksistensi kekahalifaan Ali. Sementara Ali melihat bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan untuk menangkap dan mengadili pelaku pembunuhan khalifah Ustman.
Perselisihan antara kubu Ali dan Mu’awiyah akhirnya semakin meruncing. Mu’awiyah tetap bersikukuh pada pendiriannya, demikian juga dengan Ali. Pada akhirnya, Mu’awiyah memutuskan untuk melawan Ali dengan kekuatan militer. Terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin[11]. Hampir saja, pasukan Ali dapat memenangkan pertempuran. Namun kemudian Mu’awiyah menawarkan perdamaian.
Sikap Ali yang ingin berdamai dengam Mu’awiyah ini banyak ditentang oleh para pengikutnya. Bahkan mereka menuduh Ali telah keluar dari hukum Tuhan. Semboyan mereka, la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah). Dengan demikian Ali telah dituduh kafir oleh sebagian pengikutnya yang berakhir pada pemisahan dari golongan Ali. Orang-orang yang keluar dari barisan Ali ini yang dikenal oleh umat Islam sebagai kaum khawarij, yaitu orang yang keluar atau memisahkan diri.
Kaum Khawarij juga berkesimpulan, orang yang dipandang kafir tidak hanya mereka yang keluar dari hukum Islam (tidak mengikuti hukum al-Quran), akan tetapi, siapa saja yang melakukan dosa besar juga masuk pada golongan kafir atau murtad. Dari sinilah lahirnya beberapa aliran teologi dalam Islam.
Pertama, Khawarij yang berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar sama saja dengan orang kafir. Hukumannya sama, yakni dibunuh.
Kedua, Murji’ah. Golongan ini menyatakan, orang yang melakukan dosa besar tetap saja mukmin dan tidak kafir. Berkaitan dengan dosa yang diperbuatnya merupakan urusan personal dengan Tuhan.
Ketiga, Mu’tazilah yang berbeda pandangan dari dua aliran sebelumnya. Golongan ini menegaskan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak disebut kafir pun juga tidak bisa dikatakan munafik. Melainkan berada di tengah-tengah. (Manzilah baina manzilatain)[12]
Tidak hanya ketiga aliran ini yang muncul pada saat itu. Ada dua aliran yang sangat fenomenal dalam kalangan umat Islam, yang dikenal dengan Qadariyah dan Jabariyah. Qadariyah berpendapat bahwa manusialah yang menentukan takdirnya sendiri, baik atau buruk. Manusia mempunyai kemerdekaan penuh atas perbuatannya sendiri. Seluruh prestasi yang dihasilkan oleh manusia bukanlah dari Tuhan melainkan dari manusianya sendiri. Karena manusia diyakini mempunyai kekuatan untuk menghasilkan prestasi tersebut.
Ada pun Jabariyah, malah meyakini bahwa takdir Tuhan yang menentukan baik dan buruk pada manusia. Manusia tidak mempunyai kehendak, tidak mempunyai kekuasaan dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa oleh Tuhan.
Harun Nasution membagi kedalam tiga priode, Kemajuan, (Klasik 650-1250 M), kemunduran, (1250-1800 M), dan zaman modern (1800-dan seterusnya).

Priode Klasik 650-1250 M
Priode ini secara umum terbagi menjadi dua. Pertama, adalah priode klasik (650-100). Pada zaman ini, Islam mulai berkembang dan meluas melalui Afrika Utara hingga ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai ke India di Timur. Seluruh kawasan itu berada di bawah dan patuh pada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, Damsyik yang terakhir di Bagdad. Di masa inilah keemasan Islam, terbukti dengan maju pesatnya ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang sangat beragam, seperti fiqh, filsafat, sufisme, dan termasuk ilmu kalam. Pada priode ini pula, ulama-ulama fiqh muncul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifa, dan Imam Syafi’i. Sementara dalam bidang ilmu kalam, ulama-ulama yang lahir adalah Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, Washil bin Atha’, Abu Uzail, al-Nizam, dan al-Jubai.[13]
Kedua, adalah fase disintegrasi (1000-1250 M). dalam preode ini persatuan dan kesatuan umat Islam mulai mengalami kemunduran konflik politik sering kali melanda sehingga klimaksnya adalah hancurnya imperium Islam yang menyebabkan Bagdad dikuasai oleh Hulaghu Khan di tahun 1258 M.[14]
Priode Pertengahan 1250-1800 M
            Dalam priode ini juga dibagi ke dalam dua fase. Pertama, kemunduran (1250-1500 M). pada fase ini perpecahan dan disintegrasi antar umat Islam cukup meningkat. Dua kubu besar dalam bidang teologi, Sunni dan Syiah semakin menajam. Dilain hal, secara geografis Arab dan Persia nampak nyata perbedaannya. Hingga berdampak pada pembagian Arab, yang terdiri dari Arabia, Syuria, Irak, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya. Kedua,yaitu bagian Persia yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.
            Kedua, adalah fase tiga kerajaan besar (1500-1800). yang diawali dengan zaman kemajuan (1500-1700 650-1250 M). dan zaman kemunduran (1700-1800 M). tiga kerajaan besar itu adalah kerajaan Turki Usmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan kerajaan Mughol di India. Di masa kemajuan ini masing-masing kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing khusunya di bidang literartur dan seni arsitektur. Namun, bila dibandingkan dengan kemajuan di era klasik, kemajuan di era ini sungguh jauh. Karena pada pertengahan ini perhatian umat Islam terhadap ilmu pengetahuan masih merosot tajam alias sangat rendah.
Priode Modern 1800-Seterusnya
            Pada masa ini, umat Islam sadar dari tidur panjangnya. Mereka terjaga dengan keheranan atas ketertinggalan mereka dari Barat. Hal ini bermula dengan jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Umat Islam insaf dan sadar akan kelemahan-kelemahannya sendiri. Para raja dan tokoh-tokoh muslim sejak itu berpikir untuk mengembalikan kejayaan semula. Tentunya, hal ini bisa dicapai dengan pendidikan.
Kesimpulan
            Jika dilihat dari uraian singkat di atas. Penting digaris bawahi bahwa, yang melatar belakangi maju mundurnya peradaban Islam salah satunya karena faktor teologis. Misal pada masa klasik, pada masa ini teologi yang berkembang adalah sunnatullah atau berdasar pada hukum alam. Artinya prinsip keberimanan berdasarkan hanya pada rasio, teologi ini kajiannya murni filsafat. pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis. Sehingga produk teologi yang dihasilkan adalah teologi yang dibangun berdasarkan argumen logis-rasional. Melahirkan teologi sunnatullah atau natural ini di dukung oleh lahirnya iklim dialog antara dunia Islam dengan alam pemikiran Yunani. Di antara para filosof Yunani, Aristoteles adalah yang paling menarik bagi orang-orang Islam. Dari dia para pemikir muslim mengambil terutama metode berpikir sistematis dan rasional, yaitu al-mantiq (logika formal).
            Pada pertengahan atau dalam masa kemunduran ini, umat Islam banyak menganut paham Jabariyah, yang berpandangan bahwa segala sesuatu di muka bumi ini adalah kehendak Tuhan. Secara otomatis, akal sehat tidak akan bermain secara penuh dan total. Sebab segala sesuatunya Tuhan sudah menentukan. Dengan pandangan semacam ini, manusia hanya menjadi robot, yang digerakkan sesuai programnya.


Daftar Pustaka
Yunus, Muhammad, al-Tafkir baina al-din wa al-siyasah, Markaz al-Qahirah li Dirasat al-Huquq, Kairo, 1999

Jabbar, Abdul, Rifai (al), ‘ilmu al-kalam al-jadid, darul Hadi, cet. I, Bairut, 2002.

Qaramilki, Ahad, al-handasah al-makrifiyah li al-kalam al-jadid, cet. I, darul hadi, bairut, 2002.

Ahmad,Abdurahman bin Iji (al), al-Mawâqif fî 'ilm al-kalâm, Maktabah al-Mutanabbi, Kairo, tanpa tahun.

Syarh al-Maqâshid, Juz.I, hal. 5

Hanafi, Hassan, al-Ijtijâhât al-Jadîdah fî 'Ilm al-Kalâm, dalam Qadhâyâ Islâmiyah Mu'âshirah, ed. Abdul Jabbar al-Rifa'i, Darul Hadi, Beirut, 2002.

Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI,-Press 1986.

_______________Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta, Bulan Bintang.
















[1] Lihat Muhammad Yunus, al-Tafkir baina al-din wa al-siyasah, Markaz al-Qahirah li Dirasat al-Huquq, Kairo, 1999, hal, 41.
[2] Abdul Jabbar al-Rifai, ‘ilmu al-kalam al-jadid, darul Hadi, cet. I, Bairut, 2002, hal. 8
[3] Ahad Qaramilki, al-handasah al-makrifiyah li al-kalam al-jadid, cet. I, darul hadi, bairut, 2002, hal. 49.
[4] Ahad Qramilki, op, cit, hal 21-25.
[5] Abdurahman bin Ahmad al-Iji, al-Mawâqif fî 'ilm al-kalâm, Maktabah al-Mutanabbi, Kairo, tanpa tahun, hal. 7
[6] lihat Syarh al-Maqâshid, Juz.I, hal. 5
[7]  Hassan Hanafi, al-Ijtijâhât al-Jadîdah fî 'Ilm al-Kalâm, dalam Qadhâyâ Islâmiyah Mu'âshirah, ed. Abdul Jabbar al-Rifa'i, Darul Hadi, Beirut, 2002, hal. 22
[8] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI,-Press 1986, hal, 8.
[9] Al-fitnah al-kubrâ adalah perpecahan yang terjadi sejak terbunuhnya Utsman, kemudian terjadinya perang Unta, dan keretakan yang mengakibatkan terbentuknya kelompok Khawarij dan Syi’ah serta perampasan kekuasaan oleh Mu’awiyah, pendiri Dinasti Umayyah. Lihat, John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2002), cet. II, jilid II, hlm. 77
[10] Perang Unta atau juga dikenal dengan nama Perang Jamal terjadi pada tahun 36 H/657 M. Ketika Khalifah Utsman bin Affan wafat, warga Madinah dan tiga pasukan dari Mesir, Basrah dan Kufah bersepakat memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah baru. Namun pengangkatan Ali ini mendapat perlawanan dari Mu’awiyyah dan istri Nabi yaitu Aisyah. Penulakan Aisyah dapat dukungan dari Thalhah dan Zubair. 'Aisyah memimpin perang dan membawa sekitar 3o ribu pasukan dari Mekah duduk di atas unta dalam tandu tertutup. Banyak pasukan juga mengendarai unta, sehingga pasukan dari pihak ‘Aisyah disebut Ashhâb al-Jamâl (Pasukan Unta). Maka perang itu disebut Perang Unta. Ahirnya pasukan Aisyah menyerah setelah unta yang ditungganginya banyak tertancap anak panah. Peperangan ini hanya berlangsung sekitar satu hari. http://ms.wikipedia.org/wiki/Perang_Jamal.
[11] Perang Shiffin terjadi pada 37 H. Peperangan ini terjadi antara Ali dan Mu'awiyah di kota Shiffin yang kemudian dikenal dengan Perang Shiffin. Perang ini berlangsung beberapa minggu dan hampir dimenangkan oleh Ali, tetapi dengan kecerdikan dalam berpolitik, Amr ibn Ash sebagai pemimpin pasukan Mu’awiyah mengangkat lembaran-lembaran Al-quran di ujung pedang yang menandakan berakhirnya pemberontakan bersenjata yang terjadi dan mengikuti keputusan Al-quran. Dengan berbagai pertimbangan yang dilakukan Ali dan desakan dari para pengikutnya, akhirnya perdamaian pun terjadi dengan perundingan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, dari pihak Ali mengirimkan Abu Musa al-Asy’ari dan di pihak Mu'awiyah mengirimkan Amru bin Ash sebagai hakim dalam perundingan tersebut. http://wapedia.mobi/id/Pertempuran_Shiffin.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam, Op, Cit, hal 9.
[13] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta, Bulan Bintang,hal 12-13.
[14] Ibid,.

Pendahuluan
            Sentimen terhadap Islam termasuk pertumbuhan populasi umat Islam yang cepat saat ini merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji oleh para ilmuwan. Peristiwa 9/11 yang dianggap sebagai pemicu fenomena ini hanyalah peristiwa “kecil” yang memiliki genealogi dengan masa lampau. Jika ditarik lebih jauh lagi, maka “ketegangan” antara timur dan barat dapat dikatakan dimulai dari peristiwa Perang Salib yang di barat disebut dengan Crusade.
Perang salib merupakan salah satu penggalan sejarah yang memegang peranan penting dalam hubungan antara Islam dan Barat, yang sampai saat ini masih dianggap sebagai salah satu peristiwa yang traumatik bagi hubungan Islam-Barat. Peristiwa ini banyak dianggap sebagai titik balik bagi perkembangan pengetahuan dan peradaban di barat.
Perang yang berlangsung berabad-abad ini dilatarbelakangi beberapa hal selain motivasi agama sebagaimana anggapan selama ini. Faktor ekonomi, politik dan sosial turut memberikan sumbangsih didalamnya. Perang ini memiliki beberapa periode. Antara satu sejarawan dan lainnya memiliki pendapat yang berbeda tentang periodesasinya. Hal ini akan dikemukakan lebih lanjut dalam tulisan ini. Beberapa tokoh perang legendaris juga lahir dari peristiwa ini.
Melacak dan menyajikan gambaran perang besar dalam beberapa lembar kertas bukan merupakan hal yang mudah dan sangat mungkin tidak representatif, Akan tetapi paling tidak, makalah ini akan berusaha mendeskripsikan Perang Salib melalui pembahasan mengenai kondisi kedua belah pihak sebelum terjadinya perang, kronologi perang yang mencakup hal-hal yang melatarbelakangi peperangan, jalannya peperangan termasuk periode-periode di dalamnya, serta akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa ini.
Pembagian sub-sub bahasan diatas bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap peristiwa Perang Salib.



Kondisi Umum Sebelum terjadinya Perang Salib
A.    Dunia Barat Sebelum Perang Salib
Islam memulai ekspansinya ke daratan Eropa melalui Spanyol pada tahun 710 M,[1] tujuh tahun setelah itu, Spanyol sepenuhnya jatuh ke tangan Islam. Sicilia diserang pertama kali tahun 652 M dan dikuasai sepenuhnya oleh umat Islam pada tahun 902 M. Sejak saat itu, Islam muncul di Eropa sebagai adikuasa. Kehadiran Islam di Eropa, yang ditandai dengan berdirinya Daulah Umayah di Spanyol, memberikan peran yang cukup penting, khususnya dalam rangka menyinari Eropa yang berada dalam suasana kegelapan. Dunia Barat, khususnya Eropa, sebelum masa Rennaisance merupakan kawasan yang terbelakang di bidang peradaban. Barat merupakan daerah miskin, terkebelakang dan buta huruf. Selama empat abad, Islam mengalami kedamaian dan keamanan intern sehingga mampu membangun kebudayaan yang mempesonakan.[2]
Masa antara abad VI-X adalah masa kegelapan bagi Eropa. Memasuki abad XI, Eropa mengalami kebangkitan di bidang politik, yang ditandai dengan stabilitas politik yang baik. Demikian pula dalam aspek religius, yang ditandai dengan munculnya gerakan reformasi gereja. Kebangkitan religius ini memuncak dan mendapatkan momentumnya pada abad XI.[3] Hal ini menjadi pendorong semangat mereka untuk menyusun dan menghimpun kekuatan.

B.     Dunia Islam Sebelum Perang Salib
Apabila diperhatikan masa terjadinya Perang Salib, maka periode tersebut adalah periode disintegrasi,[4] di mana kekuatan politik umat Islam terpecah ke dalam beberapa kerajaan kecil. Daulah Abbasiyah, yang merupakan salah satu Dinasti Islam dengan masa pemerintahan antara tahun 132 – 656 H, saat itu tengah memasuki akhir periode kedua dan memasuki awal periode ketiga,[5] yaitu pemerintahan dikuasai oleh orang-orang Turki (232-334H), Buwaihi (334-447 H) dan Salajiqah (447-656 H)[6], di Mesir juga terdapat dinasti Fatimiyah yang sedang terpecah, [7]sampai terjadinya disintegrasi dalam tubuh Dinasti Abbasiyah, yang ditandai dengan terpecahnya Dinasti Abbasiyah menjadi beberapa kerajaan kecil, baik yang ada di kawasan Timur maupun kawasan Barat Baghdad.[8].
Dari gambaran umum keadaan Dunia Eropa dan Dunia Islam menjelang Perang Salib, terlihat bahwa di satu sisi Dunia Eropa secara umum siap untuk melakukan dan menghadapi suatu peperangan yang berkepanjangan, sementara di sisi lain tampak ketidaksiapan Dunia Islam mengantisipasi akan terjadinya peperangan yang setiap saat dapat meletus.
Kronologi Perang Salib

Banyak pendapat yang mendefinisikan Perang Salib. Akan tetapi secara umum, Perang Salib didefinisikan dengan serangkaian peperangan yang terjadi antara umat Barat (Kristen Eropa) dengan Timur (Kaum Muslimin).[9] Perang Salib ini merupakan konflik terbesar antara umat Islam yang tengah berkuasa di sebahagian Eropa, Afrika Utara dan Asia, melawan Kristen yang baru bangkit dan berusaha merebut kota Yerusalem.[10]
Disebut Perang Salib, karena umat Kristen dalam perang tersebut memakai logo salib yang berwarna merah di dada mereka. Penggunaan logo salib ini, sedikit banyaknya diilhami oleh perintah dari Injil yang memerintahkan kepada umat Kristen untuk mengangkat salib.[11] Perintah menggunakan Salib yang terbuat dari kain berwarna merah yang disulam pada jubah seragam pasukan Salib sebagai lambang bahwa Perang Salib semata-mata untuk mempertahankan eksistensi umat Kristen.[12] Dari segi nama, lambang dan jargon yang dipergunakan, dengan sendirinya akan menimbulkan suatu kesan bahwa perang ini adalah perang religius yang melibatkan dua kekuatan besar penganut agama samawi.

A. Latar Belakang terjadinya Perang Salib
Penamaan perang ini dengan Perang Salib menimbulkan kesan bahwa faktor agama merupakan faktor yang dominan, padahal sebenarnya agama bukanlah satu-satunya faktor yang terpenting,[13] sebab Perang Salib merupakan akumulasi beberapa faktor. Untuk memahami hal tersebut secara komprehensif, berikut ini akan dikemukakan beberapa faktor yang dianggap pemicu terjadinya Perang Salib.
1.        Faktor Agama
Pemerintahan Bani Saljuk yang wilayah kekuasaannya meliputi Yerusalem memperketat aturan ziarah bagi orang Kristen ke Bait al-Maqdis. Lalu lintas ziarah mereka terhambat. Kemerdekaan mereka untuk berziarah  menjadi hilang. Oleh karena itu, mereka bergerak untuk merebut kembali kebebasan mereka dan menguasai Yerusalem yang dianggap sebagai holy land dari kekuasaan umat Islam.
Di samping itu, Perang Salib merupakan ekspedisi spektakuler sebagai akibat tidak langsung dari proses kebangkitan semangat religius yang melanda Eropa pada abad X-XI M.[14]
Dengan demikian, Perang Salib merupakan salah satu upaya membela kepercayaan Kristen, meski tidak ditemukan dalam kitab suci mereka (Bible/Injil) suatu perintah sebagai justifikasi dan legitimasi pelaksanaan Perang Salib.
Dengan demikian, Perang Salib diilhami oleh dua misi Kristen, yaitu ziarah ke tempat suci dan perang suci (holy war). Ziarah ke Bait al-Maqdis  untuk merebut kembali holy land sebagai tujuan jangka pendek, sedangkan di balik pelaksanaan holy war terkandung misi ekspansi Dunia Eropa ke Asia.
2. Faktor Politik
Interaksi konflik Timur-Barat merupakan interaksi konflik yang panjang dalam sejarah. Antara Timur dan Barat telah beberapa kali terjadi kontak-konfrontatif, yang awalnya dimulai dengan perang kuno antara bangsa Troya dan bangsa Parsi. Konflik tersebut berlangsung hingga zaman pertengahan dalam bentuk konflik dua peradaban besar,[15] bahkan hingga zaman modern ini yaitu konflik antara Barat dan Timur yang oleh sebahagian pengamat dipandang sebagai representasi dari konflik Islam-Kristen.
Memasuki abad pertengahan, umat Kristen melihat wilayah mereka terancam oleh ekspansi Islam, bahkan Konstantinopel merasa terancam dari serangan Bani Saljuk, sebab wilayah di sekitar Asia kecil telah dikuasai oleh mereka. Dalam keadaan seperti ini imperium Bizantium menggalang dukungan segenap umat Kristen di daratan Eropa untuk mempertahankan imperiumnya.[16]
Di samping itu, peristiwa kekalahan pasukan Armanus, Raja Romawi, dari pasukan Bani Saljuk di bahwa pimpinan Alp Arselan (355-465 H/1063-1072 M) yang mengakibatkan Manzikart jatuh ke tangan kaum muslimin (464 H/1071 M), menjadi suatu trauma politis yang harus segera dibalas. Dalam pada itu, muncul cita-cita di kalangan Kristen Eropa untuk mendirikan kerajaan al-Masih di seluruh wilayah Timur dan menjadikan Timur sebagai zona Kristen.[17]
Di sisi lain, tradisi mengembara dan bakat kemiliteran suku Teutonia yang telah mengubah arah sejarah Eropa sejak penghancuran gereja Sepulchre (gereja tempat dikuburnya Yesus) yang dilakukan oleh Khalifah al-Hakim dari Fathimiyah (386-411 H/996-1020 M) pada tahun 1009.[18] Jadi, dalam hal ini tampak adanya dendam politik dari pihak Kristen-Eropa terhadap Islam.
3. Faktor Sosial-Ekonomi
Stratifikasi sosial masyarakat Eropa masyarakat terbagi ke dalam tiga kelas, yaitu kaum gereja, aristokrat dan rakyat jelata. Rakyat jelata merupakan kelompok mayoritas[19]. Kehidupan mereka sangat hina dan tertindas. Oleh karena itu seruan mobilisasi oleh pihak gereja untuk berpartisipasi dalam perang suci dengan iming-iming akan mendapat kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik disambut secara spontan, dan jaminan spritual bahwa memerangi musuh adalah suatu hal yang terhormat dan mulia, mereka diampuni dosa-dosanya sehingga apabila mati dalam peperangan adalah ‘pahlawan agama, dan langsung masuk surga.
Kawasan Timur Tengah adalah kawasan yang sangat strategis prospektif bagi sentra perdagangan, sebab sejak dahulu merupakan lalu lintas perdagangan yang ramai. Oleh karena itu, menguasai wilayah tersebut akan sangat menguntungkan sebab akan dijadikan sebagai pintu gerbang pengembangan perdagangan ke wilayah-wilayah sekitarnya.[20] Sejak abad X Masehi, umat Islam menguasai jalur perdagangan di laut Tengah. Para pedagang Pisa, Venesia dan Genoa tertarik untuk ikut serta dalam perang karena motif ini.[21] Hal tersebut menimbulkan keinginan untuk menguasai wilayah tersebut. Bagi kebanyakan rakyat Prancis, Lorraine, Italia dan Sicilia, yang tengah berada dibawah tekanan ekonomi dan sosial, membawa salib lebih menjadi salah satu bentuk pembebasan daripada pengorbanan.[22]

B.  Jalannya Perang Salib
Perang Salib merupakan rangkaian beberapa peperangan yang terjadi dalam interval waktu 1095-1291 M. Dalam masa tersebut terjadi beberapa kali serangan dari kedua belah pihak, sehingga kalangan sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan periodesasi Perang Salib.
Setelah memperhatikan perbedaan yang dikemukakan oleh sejarawan tersebut, ternyata umumnya mereka sepakat pada periode Salib I dan II, namun dalam periode selanjutnya berbeda-beda. Ada yang membatasi periodisasi, sementara yang lain memperluas dengan memasukkan beberapa pertempuran yang dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari Perang Salib.

Perang Salib I
Periode ini berlangsung antara tahun 1095 sampai tahun 1144 M.[23] Berawal dari permohonan kaisar Alexius Comnesus (Kaisar Byzantium 1081-1118) terhadap Paus, karena ketidak mampuannya menahan dan menghadapi  serangan Bani Saljuk. Selanjutnya pada bulan Maret 1095, di Biyakinza-Italia diadakan ‘kongres’ yang dihadiri Paus, disusul kongres di Clermont pada tanggal 27 November tahun yang sama. Dari hasil kongres Paus menghimbau kepada umat Kristen agar bersatu menyelamatkan Yerusalem yang dikuasai umat Islam.[24] 
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, berkumpullah pasukan Salib, yang berada di bawah kendali Walter the Phenniles, diikuti pasukan Gottschalk,  untuk bergabung dengan pasukan reguler yang berjumlah antara 200-300 ribu personel yang berkumpul di dekat Konstantinopel. Pasukan sebanyak tersebut bukannya di bawah satu komando, akan tetapi pimpinan pasukan terbagi berdasarkan bangsawan yang mengerahkannya. Di antara pemimpin-pemimpin angkatan Perang Salib pertama Godfrey de Buillon, dan dua saudaranya, Baldwin dan Eustace, Robert I–Duke Normandia, Robert–Pangeran Flanders, Stephen–Pangeran Charters, Raymond IV–Pangeran Tolouse, Bohemond–Pangeran Terentum, dan Tancred–keponakan Duke Bohemond. Pada tahun 1097, tentara Salib menyeberang selat Bosporus dan mengepung Nicaea yang dikuasai oleh Bani Saljuk. Kota tersebut jatuh ke tangan tentara Salib pada tanggal 18 Juni 1097, selanjutnya tahun 1098 mereka menguasai Edessa dan mendirikan kerajaan Latin I di bawah pimpinan Baldwin. Penyerbuan diteruskan ke Antiochea, dan setelah mengepung kota tersebut selama sembilan bulan sejak Oktober 1097, akhirnya jatuh ke tangan pasukan Salib dan mereka mendirikan kerajaan Latin II di bawah pimpinan Bohemond. Dari Antiochea penyerbuan diteruskan ke Hisn al-Akkad dan Tarsus, namun mereka gagal bahkan Raymond tewas dalam pengepungan tersebut. Serangan berikutnya diarahkan ke Bait al-Maqdis. Setelah mengepung Jerusalem selama 38 hari, tanggal 15 Juli 1099 kota tersebut jatuh ke tangan tentara Salib. Berdasarkan mandat dari Paus di Roma maka tentara Salib mendirikan Kerajaan Yerusalem (Latin III) yang diperintah oleh Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis, ekspansi tentara Salib dilanjutkan, sehingga mereka dapat merebut dan menguasai kota Akka (1044), Tyrus (1124), Tripoli (1109) dan Tyre (1124). Di Tripoli tentara Salib mendirikan kerajaan Latin IV yang diperintah oleh Raymond.[25]
Dengan dikuasainya beberapa wilayah tersebut, Perang Salib Pertama berakhir dengan kemenangan tentara Salib dan berhasil merealisasikan tujuan utamanya yakni merebut dan menguasai Bait al-Maqdis dari tangan umat Islam.
Dalam keadaan terpecah belah, praktis rekasi umat Islam terhadap tentara Salib tidak efektif. Menyadari kekalahannya dari pasukan Salib, maka umat Islam segera menyadari kekalahannya dan menyusun satu kekuatan untuk merebut kembali kejayaannya.
Imaduddun Zanki (1127-1162), penguasa Mosul yang wilayahnya meliputi Halab, Harran dan Baghdad bagian Utara, merupakan penguasa muslim pertama yang bereaksi keras terhadap tentara Salib. Sasaran pertama Zanki ialah al-Ruha, karena kota tersebut dekat dengan Baghdad dan menguasai jalan utama antara Mesopotamia dan Mediterrania. Kota ini jatuh pada tahun 1144. Penguasa Edessa, Joscelyn II (1131-1144) berhasil ditangkap setelah melalui beberapa pertempuran.[26] Pada tahun yang sama, kota Aleppo, Hamimah dan Edessa dapat direbut kembali. Perjuangan Imaduddin dilanjutkan puteranya Nuruddin Zanki dan berhasil merebut kembali Antiochea (1149) dan seluruh Edessa (1151).[27]
Kemenangan pasukan Islam merebut wilayah-wilayah tersebut menggugah pihak Kristen Eropa untuk mengerahkan angkatan Salib II.
Perang Salib II
Pada Konsili Vezelay (1146) Paus Eugenius II (1145-1153) memerintahkan Louis VII dan Condrad III sebagai bagian dari pasukan Salib angkatan II.[28] Kedua pasukan itu berangkat untuk menyerang Damascus (Syiria), namun di tengah jalan diperdayai oleh Kaisar Byzantium. Sisa-sisa pasukan Condrad III menyerang Damascus, walaupun akhirnya gagal dan sisa-sisa pasukan Laouis VII dihancurkan pasukan Nuruddin. Tahun 1154 pasukan Nuruddin mengambil alih Damascus sebagai upaya melapangkan jalan menuju Yerusalem. Kemudian mengirim pasukan ke Mesir urntuk yang dipimpin oleh Syirkuh dan Shalâh al-Dîn al-Ayyûbi. Shalah al-Dîn mengambil alih pemerintahan Bani Fathimiyah di Mesir dan mendirikan Dinasti Ayyubiyah (1174). Pada tahun 1187, ia berhasil berebut Yerusalem yang mengakhiri kekuasaan kerajaan Latin III.[29]
Jatuhnya Bait al-Maqdis ke tangan Shalah al-Dîn al-Ayyûbi, disebabkan oleh faktor kelemahan pasukan Salib, yaitu :
1.    Matinya raja Almarice yang digantikan oleh pemimpin yang tidak cakap.
2.    Terjadinya perselisihan antara pasukan Salib yang berada di Antiochea dan berada di Bait al-Maqdis.
3.    Terpecahnya kerajaan Latin ke dalam beberapa propinsi.
4.    Perdagangan monopoli bangsa Itali, Venesia, yang tidak memberikan sebagian keuntungannya perniagannya kepada kaum Kristen sebagai aset kerajaan.[30]
Akibat jatuhnya kembali Yerusalem ke tangan Shalâh al-Dîn al-Ayyûbi, Paus segera menghimpun dan mengkonsolidasi kekuatan dan mengobarkan kembali Perang Salib.
Perang Salib berikutnya dipimpin oleh Frederick Barbarossa, dari Jerman, Richard the Lion Heart dari Inggris dan Philip Augustus dari Perancis. Pasukan ini berhasil merebut Acra, namun tidak berhasil merebut Yerusalem. Karena ketidakmampuan menghadapi kekuatan pasukan Shalah al-Dîn serta khawatir akan keselamatan daerah-daerah kekuasaannya dan kejenuhan mengikuti prang yang berkepanjangan, Richard menawarkan perjanjian. Pada tanggal 2 Juli 1192 disepakati Shulh al-Ramlah.[31] Richard kembali ke Inggris dan beberapa bulan sesudahnya, Shalah al-dîn al-Ayyûbi wafat. Pada tahun-tahun setelah wafatnya Shalah al-Dîn al-Ayyûbi, masih terjadi beberapa gelombang Perang Salib.
Pada tahun 1212, pihak Kristen Eropa mengerahkan Children’s Crusade. Ide ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa angkatan-angkatan Salib sebelumnya selalu gagal, karena setiap pilgrim yang ikut dalam Perang Salib penuh dosa, sehingga hanya orang yang betul-betul bersih dan murni yang akan membawa keberhasilan misi Perang Salib. Pasukan Salib anak-anak (remaja) terdiri dari 30.000 anak dari Perancis dipimpin Stphanus, seorang janda muda, dan 20.000 anak dari Jerman yang dipimpin oleh Nicholas.[32] Akan tetapi, perjalanan missi ini sangat tragis. John J.Saunder, menyebut pengiriman angkatan Salib anak-anak ini sebagai A pathetib episode. Pengiriman angkatan Salib anak-anak ini dalam perjalanan dari pelabuhan Marseille ke Palestina, kapal-kapal yang memuat anak-anak tersebut singgah di berbagai pelabuhan untuk menjual anak-anak tersebut untuk dijadikan budak.[33] Dengan demikian, angkatan Salib ini gagal sebelum tiba di medan perang.
Pasukan salib dipimpin oleh Frederick II, berusaha merebut Mesir sebelum Yerusalem dengan harapan mendapatkan bantuan dari Kristen Qibti. Tahun 1219, mereka berhasil merebut Dimyat. Al-Malik al-Kamil dari dinasti Ayyubiyah membuat perjanjian dengan Frederick yang isinya antara lain Ferederick melepaskan Dimyat sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina. Dalam perkembangan selanjutnya, pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, Palestina direbut kembali oleh kaum Muslimin (1247).[34]
Sejak berakhirnya kekuasaan Dinasti Ayyubiyah (1250) dan digantikan Dinasti Mamluk (1250-1517) masih terjadi beberapa gelombang Perang Salib. Sultan Baybars (1260-1277) berhasil merebut beberapa wilayah yang dikuasai oleh tentara Salib. Sultan Qalawun menjalin hubungan dengan Genoa, Castile, Sicilia dan Byzantium. Hal tersebut membuat tentara Salib yang masih menguasai Tripoli takut untuk menyerang. Qalawun menyerbu Tripoli dan berhasil menguasainya (1289). Al-Khalil, putera Qalawun, menyerbu dan berhasil merebut Acre (1291). Kota Acre merupakan benteng terakhir tentara Salib.[35] Dengan jatuhnya benteng tersebut, dengan sendirinya mengakhiri Perang Salib yang telah berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Periodesasi Perang Salib yang disebutkan di atas, terbatas pada dua priode yang disepakati oleh sejarawan. Untuk priode selanjutnya, mereka tidak sepakat. Misalnya, ada yang mengatakan hanya tiga periode,[36] ada yang membagi sampai empat periode,[37] ada yang membagi tujuh periode,[38]  delapan periode,[39] bahkan ada yang lebih dari itu dengan memasukkan Children Crusades sebagai satu periode tersendiri.[40]
Menurut penulis, terjadinya perbedaan pendapat mengenai priodesasi tersebut tidaklah menjadi masalah. Yang jelas bahwa perseteruan antara umat Islam dan Kristen dalam bentuk perang, terjadi dalam beberapa gelombang. Gelombang-gelombang tersebut tidak dapat dipastikan, apakah sudah termasuk angkatan Perang Salib atau tidak.

C. Akibat Yang Ditimbulkan Perang Salib
Perang Salib yang terjadi sampai pada akhir abad XIII memberi pengaruh kuat terhadap Timur dan Barat. Di samping kehancuran fisik, juga meninggalkan perubahan yang positif walaupun secara politis, misi Kristen-Eropa untuk menguasai Dunia Islam gagal. Perang Salib meninggalkan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan Eropa pada masa selanjutnya.
Akibat yang paling tragis dari Perang Salib adalah hancurnya peradaban Byzantium yang telah dikuasai oleh umat Islam sejak Perang Salib keempat hingga pada masa kekuasaan Turki Usmani tahun 1453. Akibatnya, seluruh kawasan pendukung kebudayaan Kristen Orthodox menghadapi kehancuran yang tidak terelakkan, yang dengan sendirinya impian Paus Urban II untuk unifikasi dunia Kristen di bawah kekuasaan paus menjadi pudar.[41]
Perubahan nyata yang merupakan akibat dari proses panjang Perang Salib ialah bahwa bagi Eropa, mereka sukses melaksanakan alih berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkempang pesat di dunia Islam, sehingga turut berpengaruh terhadap peningkatan kualitas peradaban bangsa Eropa beberapa abad sesudahnya. Mereka  belajar dari kaum muslimin berbagai teknologi perindustrian dan mentransfer berbagai jenis industri yang mengakibatkan terjadinya perubahan besar-besaran di Eropa, sehingga peradaban Barat sangat diwarnai oleh peradaban Islam dan membuatnya maju dan berada di puncak kejayaan. [42]
Bagi umat Islam, Perang Salib tidak memberikan kontribusi bagi pengebangan kebudayaan, malah sebaliknya kehilangan sebagian warisan kebudayaan. Peradaban Islam telah diboyong dari Timur ke Barat. Dengan demikian, Perang Salib itu telah mengembalikan Eropa pada kejayaan, bukan hanya pada bidang material, tetapi pada bidang pemikiran yang mengilhami lahirnya masa Renaisance.[43] Hal tersebut dapat dipahami dari kemenangan tentara Salib pada beberapa episode, yang merupakan stasiun ekspedisi yang bermacam-macam dan memungkinkan untuk memindahkan khazanah peradaban Timur ke dunia Masehi-Barat pada abad pertengahan.[44]
Di bidang seni, kebudayaan Islam pada abad pertengahan mempengaruhi kebudayaan Eropa. Hal itu terlihat pada bentuk-bentuk arsitektur bangunan yang meniru arsitektur gereja di Armenia dan bangunan pada masa Bani Saljuk. Juga model-model arsitektur Romawi adalah hasil dari revolusi ilmu ukur yang lahir di Eropa Barat yang bersumber  dari dunia Islam.[45]
Perang Salib memberi kontribusi kepada gerakan eksplorasi yang berujung pada ditemukannya benua Amerika dan route perjalanan ke India yang mengelilingi Tanjung Harapan.[46] Pelebaran cakrawala terhadap peta dunia mempersiapkan mereka untuk melakukan penjelajahan samudera di kemudian hari. Hal tersebut berkelanjutan dengan upaya negara-negara Eropa melaksanakan kolonisasi di berbagai negeri di Timur, termasuk Indonesia.
Bagi dunia Islam, Perang Salib telah menghabiskan asset kekayaan bangsa dan mengorbankan putera terbaik. Ribuan penguasa, panglima perang dan rakyat menjadi korban. Gencatan senjata yang ditawarkan terhadap kaum muslimin oleh pasukan salib selalu didahului dengan pembantaian masal. Hal tersebut merusak struktur masyarakat yang dalam limit tertentu menjadi penyebab keterbelakangan umat Islam dari umat lain.
Walaupun demikian, di sisi lain Perang salib membuktikan kemenangan militer Islam di abad pertengahan, yang bukan hanya mampu mengusir Pasukan Salib, tetapi juga pada masa Turki Usmani mereka mampu mencapai semenanjung Balkan (abad ke-14-15) dan mendekati gerbang Wina (abad ke-16 dan 17), sehingga hanya Spanyol dan pesisir Timur Baltik yang tetap berada di bawah kekuasaan Kristen.[47]

IV. PENUTUP

Perang Salib merupakan titik klimas konfrontasi Timur-Barat (Islam-Kristen). Perang ini dilatarbelakangi oleh akumulasi berbagai faktor, baik menyangkut agama, politik, ekonomi, maupun ambisi pribadi secara berlebihan dari seorang Paus untuk mewujudkan berdirinya kerajaan al-Masih yang meliputi Barat dan Timur di bawah kekuasaan Paus, demikian pula ambisi para penguasa Eropa Barat untuk memperluas wilayah kekuasaaanya ke Timur. Dengan demikian, kelirulah pandangan yang melihat bahwa Perang Salib dilatarbelakangi oleh faktor religius semata.
Perang Salib yang terjadi merupakan serangkaian peperangan dalam interval waktu 1095-1291. Namun para sejarahwan tidak sepakat dalam memperiodisasi Perang Salib tersebut. Ada beberapa periodisasi yang dikemukakan, namun periodisasi tersebut tidak jelas dan tegas.
Meskipun secara politis, Eropa gagal menguasai Dunia Islam, namun di sisi lain mereka dapat mengenal lebih jauh lagi peradaban dan kultur Timur yang kemudian ditransfer ke Barat. Hal ini antara lain disebabkan Perang Salib bukan hanya sebuah ekspedisi militer tetapi lebih dari itu juga berfungsi sebagai misi peradaban. Ketika berlangsungnya perang, orang-orang Eropa di samping mengerahkan kekuatan militernya ke Timur, di sisi lain melakukan peralihan peradaban Islam ke Eropa, sehingga setelah berakhirnya Perang Salib, maka bangsa Eropa merasakan dan menikmati hasil positif dari perang yang berkepanjangan tersebut. Kebangkitan Eropa sejak masa Renaisance hingga sekarang, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Perang Salib.
Baik di Timur maupun di barat, trauma Perang Salib selalu membayang-bayangi pola hubungan Timur dan Barat dewasa ini. Hal itu misalnya terlihat pada setiap konflik konfrontatif antara Islam – Barat yang hanya bersifat lokal-regional, selalu diidentikkan sebagai salah satu bentuk baru dari Perang Salib.

DAFTAR RUJUKAN
Dr. Mahmud Said Imran, Ta>ri>kh al-H{uru>b al-S{oli>biyyah 1095-1291 (Mesir: Da>r al-Ma’rifah al-Ja>mi’iyyah, 2000) hal 18.
Ali, Syed Ameer, A Short History of the Saracens, 3rd Publishers; New Delhi: Kitab Bhavan, 1981.
Ali, Prof. K.. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: Srigunting, 1997.
Asyur, Said Abdul Fattah “al-Harakah al-Shalibiyah” diterjemahkan oleh Muhammad Mahrus Muslim dengan judul: Kronologi Perang Salib, Cet. I; Jakarta: Fikahati Aneska, 1993.
Cahen, C. “Crusades” dalam B. Lewis, Ch. Pellat dan J. Schacht, The Encyclopaedia of Islam, Vol. VI, New Edition; Leiden EJ. Brill, 1965.
Cooper, Kenneth S. “Crusades” dalam Martha Glauber Shaff, (Chief Editor),  The New Book of Knowledge, 12th Publishers; New York: Grolier Inc., 1977.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam di Indoensia, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1993.
Esposito, John L. “The Islamic Threat: Myth or Reality” diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman dan MISSI dengan judul: Ancaman Islam Mitos atau realitas, Edisi Revisi. Cet. III; Bandung: Mizan, 1996.
Al-Fârûqî, Ismail Ragi. (Ed.), Historical Atlas of the Religions of the World, New York: MacMillan Publishing Co. Inc., t.th.
Feldman, Melville W. dan Rudolph H. Yeatman, Jr. (Editor), The World University Encyclopedia, Vol. IX. Washington DC: Publishers Company, Inc., 1965.
Fink, Harold Swenson “Crusades” dalam Warren E. Preece, (Ed. Director) Encyclopaedia Britannica, Vol. VI, Chicago: William Benton Publishers, t.th.
Grunebaum, G. E. Von, Classical Islam A History 600-1258AD, Chicago: Aldine Publishing Company, 1970.
Hameedullah, H. “Sejarah Umum Islam” dalam Hakeem Abdul Hameed, (Ed.), “Islam at a Glance” diterjemahkan oleh M. Ruslan Shiddieq dengan judul: Aspek-Aspek Pokok Agama Islam, Cet. I; Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983.
Hart, Michael H. “The 100 A Ranking of The Most Influential Persons in History” diterjemahkan oleh Mahbub Junaidi dengan judul Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Cet. XV; Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1993.
Harun, M. Yahya. Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa, Ed. 1. Cet. I; Yogyakarta: Usaha Yogyakarta, 1987.
Hitti, Philip K. History of the Arab, 10th Edition, 4th Publishers; New York: MacMillan Press LTD, 1974.
Huntington, Samuel P. “Clash of Civilization?”  diterjemahkan oleh Saiful Mazani dengan judul Benturan Peradaban Masa Depan Politik Dunia? dalam Ulûm al-Qur’ân, Nomor 5 Vol. IV Tahun 1993. h. 12.
Imamuddin, S. M. Muslim Spain 711-1492 AD, Leiden: E. J. Brill, 1981.
Lorimer, Lawrence T.,  Jeffrey H. Hocker dan Ronald B. Roth (Editor), Grolier Encyclopedia of Knowledge, Grolier Incorporated, 1993.
Nasution, Nasution, et. al. (Editor) , Ensiklopedi Islam, Jakarta: Dijen Binbaga Islam, 1992/1993.
Nasution, Harun Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid 1, Cet. V; Jakarta: UI Press, 1985
--------, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Osman, A. Latif. Ringkasan Sejarah Islam, Cet. XVII; Jakarta: Widjaya, 1981.
Saunders, John. J. A History of Medival Islam, 3rd Published; London: Rouledge and Kegan Paul, 1980.
--------, “Crusades” dalam Lawrence T. Holimer, The Encyclopedia Americana, Vol VIII, New York: Grolier Incorpoprated, 1992.
Shibel, Muhammad Fuad, “Hadharât al-Islâm Fî Dirâsât Toynbee Li al-Tarîkh” diterjemahkan oleh H. Bustami Abdul Gani dan Chatibul Umam dengan judul: Kebudayaan islam Menurut Tinjauan Toynbee, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Shoutern, R. W. Western Views of Islam in the Middle Ages, Cambridge: Harvard University Press, 1962.
Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulah Umaiyah Cordova, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
--------, Orientalisme dan Islam, Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Steenbrink, Karel A. Mencari Tuhan dengan Kaca Mata Barat, jilid II. Yogyakarta: 1988.
Syalabi, Ahmad. Mausû’ah Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islâmiyah, Cet. VI; jilid IV-V, Kairo: Nahdah al-Misriyah, 1977/1978.
Syalabi, Mahmud, “Shalah al-Dîn al-Ayyûbi” diterjemahkan oleh Abdullah Mahdami dengan judul Shalahuddin al-Ayyubi Pahlawan Perang Salib, Cet. I; Solo: Pustaka Mantiq, t.th.
Thalfâh, Khairullah Kuntum Khayra Ummatin Ikhrijat Li al-Nâs, Cet. V; Beirut: Dâr al-Kutub al-Araby, 1975.
Tim Penyusun Tex Book Sejarah dan Kebudayaan Islam Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 1. Ujung Pandang, 1981/1982.
Wajdiy, Muhammad Farid. Dâirah al-ma’ârif al-Qarn al-Isyrûn, jilid V, Beirut; Dâr al-Fikr, t.th.
Al-Wakil, Muhammad Sayyid, “Lamhatun min Tarîkh al-Da’wah: Asbâb al-Da’îf fi al-Ummat al-Islâmiyah” diterjemahkan oleh Fadhli Bahri dengan judul: Wajah dunia Islam Dari Dinasti Umaiyah Hingga Imperialisme Modern, Cet. II; Pustaka al-Kautsar, 1998
Watt, William Montgomery. Muhammad Prophet and Statesman, New York: Oxford University Press, 1961.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.


[1]. Philip K Hitti, History of the Arabs, diterjemahkan oleh Serambi. (Jakarta: Serambi, 2005), h. 633.
[2]. Musthofa Wahbah, Mu>jiz Ta>ri>kh al-H{uru>b al-S{oli>biyyah. (Kairo: Maktabah al-I>ma>n, 1997) hal 9.
[3]. Dr. Mahmud Said Imran, Ta>ri>kh al-H{uru>b al-S{oli>biyyah 1095-1291 (Kairo: Da>r al-Ma’rifah al-Ja>mi’iyyah, 2000) hal 18.
[4]. Garis besar sejarah perkembangan umat Islam dapat diklasifikasi ke dalam tiga periode, yaitu periode Klasik (650-1250M), yang terbagi ke dalam dua masa (masa kemajuan Islam, 650-1000M dan masa Disintegrasi, 1000-1250M), periode pertengahan (1250-1800M), dan periode modern (1800-sekarang), Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid 1, (Cet. V; Jakarta : UI Press, 1985), h. 56-dst., Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Cet. VIII; Jakarta : Bulan Bintang, 1991), h. 12-14.
[5]. Sejarah perkembangan Bani Abbasiyah (132-656) oleh beberapa sejarawan, di antaranya Ahmad Syalabi, dibedakan menjadi tiga periode, yaitu periode pertama (132-232H) ketika Abbasiyah menguasai semua kerajaan Islam, periode kedua (232-590) ketika tampuk pemerintahan Abbasiyah beralih ke tangan bangsa lain, dan periode ketiga (590-656H), ketika Abbasiyah mengalami disintegrasi yang berakhir dengan kehancuran Dinasti ini oleh serbuan Hulagu Khan, tanggal 10 Februari 1258M. Lihat: Ahmad Syalabi, Mausu>’ah Ta>ri>kh al-Isla>miy wa al-Had{a>rah al-Isla>miyyah, (Cet. VI; Kairo: Nahdah Nasir, 1978), h. 18.
[6]. Dr. Mahmud Said Imran, Ta>ri>kh al-H{uru>b al-S{oli>biyyah 1095-1291 (Mesir: Da>r al-Ma’rifah al-Ja>mi’iyyah, 2000) hal 18.
[7]. Philip K Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2005), h. 808.
[8]. Di kawasan Timur dan Barat, muncul beberapa dinasti, di antaranya  Dinasti Tûluniyah (254-292 H/867-905 M), Aghlabiyah (184-296 H/790-910 M), Ikhsydiyah (323-358 H/909-969 M), Tahiriyah (205-259 H/796-872 M), al-Safariyah (254-289 H/867-903 M), Bani Saljuk (447-656 H/1055-1258 M), Fatimiyah (358-567 H/969-1171 M); dan terakhir berdirinya Dinasti Ayyubiyah (567-649 H/1171-1248 M), al-Moridiviyah (448-541 H/1056-1147 M), Al-Mohadiyah (524-667 H/1130-1296 M), Hafsidiyah (625-941 H/1128-1543 M), dan Marinidiyah (591-875 H/1195-1470 M).
[9]. Dr. Mahmud Said Imran, Ta>ri>kh al-H{uru>b al-S{oli>biyyah 1095-1291 (Mesir: Da>r al-Ma’rifah al-Ja>mi’iyyah, 2000) hal 13.
[10]Harun Nasution, , Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Dijen Binbaga Islam, 1992/1993), h. 899.
[11]Lihat Lawrence T.Lorimer, Jeffrey H. Hocker dan Ronald B. Roth, Grolier Encyclopedia of Knowledge, (Grolier Incorporated, 1993), h. 351.
[12]Said Abdul Fattah Asyur, al-Harakah al-S{alibiyyah diterjemahkan oleh Muhammad Mahrus Muslim dengan judul: Kronologi Perang Salib, Cet. I; Jakarta: Fikahati Aneska, 1993., h. 29-30.
[13]Ahmad Syalabi, Mausu>’ah Ta>ri>kh al-Isla>mi wa al-Had{a>rah al-Isla>miyah, jilid V, (Kairo: Nahdah al-Mis{riyah, 1977/1978) h. 549.
[14]Said Abdul Fattah Asyûr, op. cit., h. 17.
[15]. Philip K Hitti, History of the Arabs, diterjemahkan oleh Serambi. (Jakarta: Serambi, 2005), h. 811.
[16]Lihat: Mahmud Syalabi, Shalah al-Dîn al-Ayyûbi, diterjemahkan oleh Abdullah Mahdami dengan judul “Shalahuddin al-Ayyubi Pahlawan Perang Salib”, (Cet. I; Solo: Pustaka Mantiq, t.th.), h. 24-25.
[17]Ahmad Syalabi, op. cit, h. 550-1.
[18]. Philip K. Hitti, loc. cit.
[19]. Musthofa Wahbah, Mu>jiz Ta>ri>kh al-H{uru>b al-S{oli>biyyah. (Kairo: Maktabah al-I>ma>n, 1997) hal 10.  
[20]Ahmad Syalabi, op. cit, hal 552.
[21]. Philip K. Hitti, op. cit. hal 812
[22]. Philip K. Hitti, loc. cit.
[23]. Philip K. Hitti, loc. cit.
[24]Lihat Said Abdul Fattah Asyur, op. cit., h. 25-28.
[25]Lihat: A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, (Cet. XVII; Jakarta: Widjaya, 1981), h. 97-98, M. Yahya Harun, op. cit, h. 9-11, Badri Yatim, loc. cit. , Harun Nasution, et.al, op. cit., h. 899-900.
[26]Ismail Ragi al-Fârûqî (Ed.), Historical Atlas of the Religions of the World, (New York : MacMillan Publishing Co. Inc., t.th), h. 271.
[27]Lihat: Badri Yatim, op. cit, h. 78,  Harun Nasution, et.al. loc. cit., Bandingkan: Tim Penyusun Tex Book Sejarah dan Kebudayaan Islam Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 1. (Ujung Pandang, 1981/1982), h. 214.
[28]Joesoef Sou’yb, “Sejarah”, op. cit., h. 146.
[29]Harun Nasution, et.al., op. cit., h. 900-1., Badri Yatim, op. cit., 78.
[30]M. Yahya Harun, op. cit., h. 23.
[31]Perjanjian tersebut bersisi antara lain : daerah pantai Acra berada dalam kekuasaan tentara Salib, Yerusalem berada di bawah kekuasaan Islam tetapi jam’ah Kristen diizinkan dan dijamin keamanannya melakukan ziarah ke Bayt al-Maqdis. Lihat: Ahmad Syalabi, op. cit., h. 470-1, Hassan Ibrahim Hassan, op. cit., h. 287, A. Latif Osman, op. cit., h. 107.
[32]Joesoef Syo’ub, op. cit., h. 238-239.
[33]John J.Saunders, “Crusades” dalam Lawrence T. Holimer, The Encyclopedia Americana, Vol VIII, (New York: Grolier Incorpoprated, 1992), h. 267.
[34]Badri Yatim, loc. cit.
[35]Harun Nasution, loc. cit.
[36]Lihat: Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 77.
[37]Perang Salib I (1096-1099), II (1145), II (1189) IV (1202-1204), Children Crusades (1212). Lihat: Kenneth S. Cooper, “Crusades” dalam Martha Glauber Shaff, (Chief Editor),  The New Book of Knowledge, (12th Publishers; New York: Grolier Inc., 1977), h. 538-540.
[38]Lihat: A. Syalabi, op. cit, h. 567-dst.,
[39]Perang Salib I (1096-1099), Perang Salib II (11-47-1149), Perang Salib III (1189-1192), Perang Salib IV (1202-1204), Perang Salib V (1208-1213), Perang Salib VI (1228-1229), Perang Salib VII (1248-254), Perang Salib VIII (1270-1271), Perang Salib Anak-Anak (1212). Periodisasi ini dikemukakan oleh antara lain dalam : Joesoef Syo’ub, Orientalisme dan Islam, (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 24-34., Bandingkan: Syed Ameer Ali, A Short History of the Saracens, (3rd Publishers; New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), h. 320-387., C. Cahen, “Crusades” dalam B. Lewis, Ch. Pellat dan J. Schacht, The Encyclopaedia of Islam, Vol. VI, (New Edition; Leiden EJ. Brill, 1965), h. 63., H. S. F. , op. cit., h. 828-833, Muhamamd Farid Wajdiy, op. cit., h. 531-535, dan Khairallah Talfâh, op. cit., h. 545-547. Walaupun Penulis-penulis ini memperiodisasi Perang Salib menjadi delapan periode, namun terdapat perbedaan tahun antara satu periode dengan periode lainnya.
[40]Kennett S. Cooper, op. cit., h. 540.
[41]Lihat: Harold Swenson Fink, op. cit., h. 833.
[42]Lihat; Muhammad Sayyid al-Wakil, op. cit.,  h. 228-231. Bandingkan M. Yahya Harun, op. cit., h. 34-5.
[43]Lihat: Ismail Râgi al-Fârûqî, op. cit., h. 273.
[44]Fuad Muhammad Shibel, Hadharat al-Islâm Fî Dirâsât Toynbee Li al-Tarîkh, diterjemahkan oleh H. Bustami Abdul Gani dan Chatibul Umam dengan judul “Kebudayaan Islam Menurut Tinjauan Toynbee”, (Cet. I; I; Jakarta: Bulan Bontang, 1977), h. 45.
[45]Ibid., h. 46.
[46]William Montgomery Watt, “The Influence”. op. cit., h. 83.
[47]Harold Swenson Fink, op. cit., h. 834.