Kamis, 18 September 2014

Hewan tidak berbahasa
Bahrul Ulum Sulaiman

Bahasa, oleh para linguist digadang-gadang sebagai salah satu produk budaya manisia yang sangat fenomenal. Sebab hanya dengan bahasa segala sesuatu bisa tersampaikan, baik keingin yang bersifat positif, maupun sebaliknya. Hal demikian yang mendorong Ibn Jini> untuk mendefinisikan bahasa dalam karya monumentalnya Ilm al-Lugah al-‘A>m, beliau menyebut sebagai bunyi-bunyi yang beraturan dan digunakan masyarakat untuk menyampaikan tujuan-tujuan tertentu.
Pengertian diatas kemudian dijabarkan menjadi lebih jelas lagi oleh Tamma>m H}assa>n dalam bukunya al-Lugah al-‘Arabiyah ; Ma’na>ha> wa Mabna>ha>, bahasa disebut bunyi karena pada hakikatnya bahasa yang asli adalah bahasa lisan- sedangkan tulisan hanyalah manifestasi dari bahasa lisan-, suara bisa menjadi bahasa jika ia teratur, artinya ia tersusun dari huruf dan mengembang lagi pada tataran kata serta seterusnya menjadi sebuah kalimat yang memiliki bentuk dan makna. Oleh karena itu hal ini mengesampingkan suara-suara yang tidak jelas, walaupun ia juga memiliki makna tersendiri, sebagai contoh suara morse dalam pramuka. Karena ia hanya memiliki makana dan tidak punya mabna>.
Ikatan makna dan mabna> dalam bahasa, khususnya bahasa Arab, memiliki peran penting dalam menginterpretasnya, sehingga kesalahan derivasi sekecil apapun sangat vital dalam bahasa Arab, contoh Ah}mad Tajlis ‘Ala> al-Kursi>, contoh ini menyampaikan pesan bahwa Ahmad duduk di atas kursi, akan tetapi secara bentuk derivasi kata kerja, ia mengalami kesalahan yang fatal, sehingga bisa saja seseorang membuat kesimpulan bahwa Ahmad itu seorang perempuan, karena menggunakan kata kerja yang berdlami>r perempuan.
Sedangkan kaitan antara bahasa dan masyarakat, menurut Tamma>m H}asan menegaskan bahwa bahasa adalah produk manusia, lebih tepatnya adalah budaya. Hal ini melihat bahwa bahasa adalah sebuah kebutuhan pokok manusia, sehingga mau tidak mau mereka yang tinggal dalam komunitas tertentu didorong untuk menciptakan rumusan bahasa yang akan mereka gunakan sebagai sarana komunikasi di dalamnya.
Ketika bahasa dikait-kaitkan dengan masyarakat, tentunya bisa menumbulkan banyak perdebatan, sebab selama ini kita seringkali hidup bersinggungan dengan hewan-hewan yang secara sepintas seakan-akan mereka juga berkomunikasi dengan masyarakatnya. Disinilah titik tolak terjadinya perdebatan antara ahli bahasa yang dinahkodai oleh Bloomfield sebagai golongan yang pro terhadap pendapat bahwa hewan juga berbahasa, dan Noam Chomsky sebagai kubu seberang yang menolak akan pendapat tersebut.
Menurut Bloomfield, tujuan utama bahasa adalah penyampaian tujuan yang hal itu juga dimiliki oleh hewan, pun demikian dengan unsur-unsur yang menyusun bahasa adalah suara, hewan dalam hal ini juga memiliki suara. Kita bisa amati di dalam komunitas kera misalnya, ketika salah satu membutuhkan bantuan yang lain, maka ia akan berteriak dengan suara khas yang nentunya beda dengan suara yang ia gunakan ketika bercanda maupun ketika ia sedih.
Kendati suara yang dikeluarkan hewan juga memiliki tujuan-tujuan sebagai interaksi dalam komunitasnya, tapi hal itu masih menuai kontroversi dikalangan ahli bahasa, adalah Noam Chomsky, seorang linguist modern yang bersikukuh keras untuk menolak pandangan Bloomfiel yang memposisikan suara hewan sama dengan bahasa pada manusia, hal ini bisa dibuktikan dengan melihat kembali esensi suara yang bisa dikatan bahasa dalam pandangan linguist, Ibnu Jini>, dalam bukunya ‘Ilm al-Lugah al-‘Am mengatakan bahwa suara bisa dikatan sebagai bahasa jika ia memiliki sifat universal dan Ibda’i>, artinya bisa dilakukan studi kontrakstif ( al-Taqa>bu al-S}auti> ) antar suara itu, sebagai contoh Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia, dalam hal fonologi keduanya bisa dianalisis kontrakstif. Sehingga hal ini membuat para ahli yang berpandangan bahwa bahasa tidak memiliki bahasa semakin kuat dalam menumbangkan teori bloomfiled.
Ciri bahasa kedua adalah Ibda’i>, artinya, jika hewan dikatan berbahasa, maka secara otomatis mereka bisa memproduksi kata dan kalimat sebanyak-banyaknya, dan hal ini lah yang tidak kita temukan dalam komunikasi hewani, sebagai contoh seorang anak kecil dengan naturalnya ia bisa memproduksi kata dan kalimat tanpa batas dalam interaksinya dengan lingkungan. Dari urain diatas sudah dapat disimpulkan bahwa walaupun seakan-akan hewan itu berbahasa dengan komunitasnya, tapi dalam ilmu kebahasan itu hanya merupakan tanz}i>m ittis}a>li>, bukan bahasa itu sendiri.  Wallah A’lam.




0 komentar :

Posting Komentar