Bahasa
Gender Dalam Fikih Klasik dan Modern
(
Studi Kasus dalam Hukum Keluarga )
Diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Sosio
Linguistik
Oleh
Bahrul Ulum
NIM: FO6213078
Dosen
Pengampu
Dr.
H. Faizur Rasyad, M.Ag
Program
Studi Pendidikan Bahasa Arab
Program
Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
2014
PEMBAHASAN
A.
Konsep dasar
gender ( Base Concept Of Gender )
1.
Pengertian
Gender
Kata
gender berasal dari bahasa inggris yang berarti kelamin. Gender yaitu perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan
tingkah laku. Dalam women’s studies encyclopedia dijelaskan bahwa gender
adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan ( distinction )
dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan permpuan yang berkembang dimasyarakat. Hillary M. Lips dalam
bukunya yang terkenal Sex and Gender : An Introduction mengartikan
gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan ( Cultural
Expectation For Women and Men ). Misalnya perempuan
dikenal dengan lemah lembut, cantik dan keibuan. Sementara laki-laki dikenal
dengan kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu
meupakan sifat yang dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lebut, ada
perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dan sifat ini bisa
terjadi dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat yang lain.
Julia
Cleves Mosse mendefinisikan gender dengan seperangkat peran, yang seperti
halnya kostum dan topeng dalam teater, menyampaikan pada orang lain bahwa kita
adalah feminim atau maskulin. Perangkat prilaku khusus ini berupa penampilan,
pakaian, sikap kepribadiaan, bekerja di luar atau di dalam rumah tangga,
sekaligus tanggung jawab kepada keluarga dan sebagainya secara bersama-sama
memperoleh peran gender dalam masyarakat. Begitu pula Ahmad Baidlowi
mengutip pendapat Ann Oskley, yang menyatakan bahwa gender adalah sifat
laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial dan kultural, sehingga
tidak identik dengan seks.Sedangkan hasil diskusi
Nasaruddin Umar dkk, berpendapat bahwa gender diartikan semata-mata merujuk
pada karakteristik-karakteristik sosial, seperti perbedaan dalam gaya rambut,
pola pakaian, jenis pekerjaan dan aktifitas lain yang secara kultural
dipelajari.
Berdasarkan
pemahaman diatas, dapat dipahami bahwa gender secara umum dapat didefinisikan
sebagai suatu konsep kultural yang membedakan antara laiki-laki dan perempuan
dipandang dari segi sosial budaya yang dapat berubah sesuai dengan perubahan
zaman, dengan demikian relasi gender bukan merupakan akibat perbedaan biologis.
Dalam
budaya patriarkal, perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dipandang
sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin. Tugas perempuan seperti memasak di
dapur, berhias untuk suami, dan mengasuh anak serta pekerjaan domistik lainnya
sebagai konsekuensi dari jenis kelamin. Tugas domestik perempuan akan abadi
sejalan dengan keabadian identitas kelamin yang melekat pada dirinya. Pemahaman
ini berangkat dari kerancuan paradigma tentang gender differences dan sex
differences, sesungguhnya gender dan seks itu berbeda. Gender digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek sosial dan
budaya. Sementara perbedaan seks digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan secara anatomis dan biologis.
2.
Perbedaan
Gender dan Seks
Konsep
penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah
membedakan antara konsep seks dan konsep gender. Pemahaman dan perbedaan antara
kedua konsep tersebut sangat diperlukan untuk memahami persoalan-persoalan
ketidak adilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini erat kaitannya
antara perbedaan gender dan ketidak adilan gender dengan struktur ketidakadilan
masyarakat yang lebih luas. Dalam masyarakat, pokok persoalannya adalah sistem
dan stuktur yang tidak adil, dimana laki-laki dan perempuan mengalami dehumanisasi
karena ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi karena
mengalami ketidakadilan gender, sedangkan kaum laki-laki mengalami dehumanisasi
karena mengabadikan ketidakadilan itu.
Pada
masyarkat primitif, orang belum banyak tertarik untuk membedakan gender dan seks. Hal itu dikarenakan oleh persepsi
yang berkembang saat itu menganggap bahwa perbedaan gender sebagai akibat
perbedaan jenis kelamin. Sehingga perbedaan peran dan kerja dipandang sebagai
sebuah keniscayaan yang disebabkan oleh perbedaan kelamin.
Aan
Oskley, merupakan sosiolog inggris pertama yang membedakan gender dan seks.
Semua tokoh feminim sepakat dalam memberikan definisi seks yaitu perbedaan
ciri-ciri biologis dari laki-laki dan perempuan, terutama yang menyangkut
kodrati.
3.
Prinsip
Kesetaran Perempuan dan Laki-Laki
a.
Tinjauan
Historis
Untuk
memahami keberadaan dan peran yang dimainkan Islam diperlukan pemahaman
mendalam terhadap stratafikasi sosial budaya bangsa Arab menjelang dan ketika
al-Qur’an diturunkan. Misi al-Qur;an hanya dapat dipahami secara utuh setelah
memahami kondisi sosial budaya bangsa Arab. Bahkan sejumlah ayat dalam
al-Qur’an seperti ayat-ayat gender dapat disalah pahami tanpa memahami latar
belakang sosial budaya masyarakat arab.
Seperti
kebanyakan masyarkat di kawasan Timur Tengah, masyarakat bangsa Arab menganut
sistem patriarkhi. Dalam masyarakat ini, keturunan diturunkan melalui jalur
ayah dan peran lebih besar diberikan pada laki-laki, baik dalam urusan rumah
tangga, maupun dalam urusan masyarakat luas. Otoritas suami ( bapak ) menempati
posisi yang dominan dan penting dalam keluarga.
Relasi
gender dalam masyarakat Arab ditentukan oleh pembagian peran dan fungsi dalam
masyarakat. Laki-laki bertugas sebagai pelindung dan yang menjaga rumah tangga,
konsekuensinya adalah laki-laki memonopoli kepemimpinan dalam semua tingkatan,
mulai dari kepala rumah tangga, kepala suku dan bahkan seorang nabipun harus
laki-laki.
Ideologi patriarkhi inilah yang memberikan ruang gerak yang begitu luas bagi
laki-laki, mereka bisa berprestasi dan mendapatkan prestise dalam masyarakat.
Tenaga laki-laki lebih dibutuhkan seperti berperang, sehingga hal ini menafikan
perempuan dalam semua aspek, mereka hanya dipandang makhluk lemah.
Kehidupan
masyarakat arab yang identik dengan perang memaksa kehidupan sosial menyerahkan
arah kehidupannya kepada laki-laki, mereka bertugas mengatur jalannya kehidupan
masyarakat, pertumbuhan penduduk dan semacamnya. Atas landasan perang ini, tak
heran jika kita temukan spekulasi mereka akan masa depan perempuan, mereka
tidak mau jika mereka kalah dalam pertempuran yang mengakibatkan
perempuan-perempuan mereka menjadi tawanan perang dan dijadikan harem-harem
pihak musuh, sehingga keputusa untuk membunuh kaum perempuan ditengarai sebuah
keputusan yang briliant pada masa itu, dalam rangka menjaga kehomatan
masyarakatnya.
Kondisi
yang dialami perempuan dalam masyarakat Arab juga terjadi dalam berbagai aspek
kehidupan termasuk dalam perkawinan maupun pembagian warisan. Perempuan dalam
perkawinan bahkan dipandang sebagai sebuah komoditas, bisa dijual atau dipindah
tangankan. Dari berbagai uraian nasib buruk perempuan, misalnya jika seorang
suami meninggal, maka saudara laki-lakinya dapat mewarisi jandanya. Dalam hal
perkawinan laki-laki bebas memelih sesuai dengan selera sebanyak-banyaknya, dan
hal itu tidak berlaku untuk perempuan.
Dalam
konteks yang demikian, Islam hadir dan lewat rasulnya Muhammad mencoba untuk
melakukan perubahan terhadap tatanan sosial yang ada, menghilangkan penyakit
sosial dan membangun keadilan sosial dalam masyarakat. Langkah-langkah yang
dilakukan Nabi, Pertama; melakukan penekanan terhadap kesatuan, dengan
menghilangkan sekat-sekat kesukuan dan memperkenalkan konsep ummah, yaitu
penekanan akan kebangsaan yang sama dalam kebudayaan dan kabilah yang berbeda. Kedua;
Nabi melakukan penekanan persamaan derajat diantara umatnya tanpa memandang
status sosial, kelamin maupun asal usul suku. Bahkan kaum budak juga mempunyai
derajat yang sama dengan umat muslim lainya.
Konsep
ummah yang ditawarkan nabi bisa diartikan sebagai simbol pembelaan terhadap
kaum tertindas dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan. Dalam masyarakat
Arab status dan peran sosial ditentukan oleh asal keturunan seseorang. Dengan
konsep ummat ini, maka golongan-golongan tertindas dapat kesempatan yang sama
dengan mayoritas elit dalam berbagai bidang.
Dalam
bidang perkawinan, disamping bisa mengawani perempuan dalam jumlah yang tak
terbatas, bentuk-bentuk perkawinan dalam Asli masyarakat arab sebelum Islam
antara lain, Jawa>z al-mut’ah dan Jawa>z al-hibah.
Bentuk pertama merupakan pernikahan sementara waktu, yang bertujuan untuk
menikmati seks secara bersama. Sedangkan bentuk kedua pernikahan pengorbanan
perempuan terhadap laki-laki. Seorang perempuan yang melakukan pernikan dengan
model seperti ini tidak memiliki hak-hak tertentu dan bisa diberikan pada orang
lain sewaktu-waktu jika sudah merasa bosan dengan perempuan tersebut. Adapun
nikah mut’ah, Rasul mendiamkannya sampai resmi dilarang pada abad ke-3 H.
B.
Bahasa Arab dan
Bias Gender
Bahasa,sebagaimana yang didefinisikan oleh Ibn
Jini> sebagai S}aut yu’abbir bihi kull qaum ‘an agra>d}ihim,
artinya bahasa tidak bisa lepas dari budaya kaum itu. Oleh karena itu, budaya
patriarkhi bangsa Arab terbawa kedalam bahasa mereka. karena kebanyakan pemakai
bahasa arab adalah muslim, sebab menurut Sa’ad Masluh, budaya Arab adalah Islam
itu sendiri.
Bahasa Arab yang telah menjadi bahasa umat Islam ini
mengandung bias gender yang berpengaruh pada proses tekstualisasi firman Allah
dalam bentuk al-Qur’an. Bias tersebut tercermin dalam tata bahasa Arab seperti
setiap nama (isim) dalam bahasa Arab selalu berjenis kelamin (muz}akkar atau
mu’annath), bisa secara hakiki maupun majazi. Sebagaimana seseorang tidak
bisa mengabaikan kelas sosial ketika berbicara bahasa jawa, aturan di atas
menyebabkan seseorang tidak bisa menghindari klasifikasi laki-laki dan perempuan
dalam berbahasa Arab karena dalam bahasa ini tidak ada nama yang netral.
Sebagai pemakai bahasa Arab, teks al-Qur’an juga
mengikuti ketentuan ini sehingga Allah sebagai Dzat yang tidak berjenis kelamin
pun mempunyai nama yang berjenis kelamin, yaitu mudzakkar (laki-laki) sehingga
memakai kata kerja laki-laki (fiil mudzakkar), sebagaimana ditunjukkan oleh
ayat berikut ini:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ
فَاعْبُدُوهُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ(3(
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas
`Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at
kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu,
maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
Ketentuan lain dalam tata bahasa Arab yang mengandung bias
gender adalah isim muannats (nama untuk perempuan) cukup dibentuk hanya dengan
cara menambahkan satu huruf (Ta’
Marbut}ah) pada nama atau isim yang telah ada bagi laki-laki, seperti kata Ustadhah
(guru perempuan) yang dibentuk dari kata Ustadh (guru laki-laki), muslimah
dari muslim dll.. Tata bahasa ini mencerminkan cara pandang
masyarakat Arab terhadap eksistensi perempuan sebagai bagian (sangat kecil?)
dari eksistensi laki-laki.
Pengaruh cara pandang yang mengabaikan eksistensi
perempuan ini dalam al-Qur’an dapat dilihat pada ayat tentang wudlu sebagai
berikut:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã£g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4 $tB ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 crãä3ô±n@ ÇÏÈ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur. (al-Maidah/5:6)
Ayat tersebut sangat jelas sedang berbicara hanya pada
laki-laki karena ayat tersebut secara jelas pula menyebutkan menyentuh
perempuan (dengan segala konotasinya) sebagai hal yang menyebabkan batalnya
“kesucian” laki-laki. Tidak ada satu ulama fiqh pun yang mengambil kesimpulan
dari ayat di atas bahwasanya perempuan menyentuh perempuan dapat membatalkan
wudlu. Jadi, eksistensi perempuan pada ayat di atas tidak ada dan ketentuan
untuk perempuan pun cukup diturunkan dari ketentuan laki-laki.
Tata bahasa Arab lainnya yang mengandung bias gender
adalah kata benda plural (al-Jam’u) untuk sekelompok perempuan adalah
kata plural laki-laki (al-Jam’ al-Mudhakkar al-Sali>m) meskipun di
dalamnya hanya ditemukan satu orang laki-laki. Satu grup perempuan, baik
berjumlah seribu, sejuta, semilyar, bahkan lebih, akan menggunakan kata ganti
jama mudzakkar (laki-laki) hanya karena adanya satu orang laki-laki di antara
lautan perempuan tersebut. Hal ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab
bahwa satu kehadiran laki-laki lebih penting daripada keberadaan banyak
perempuan, berarapa pun jumlahnya.
Contoh Ayyuhal H}a>d}iru>n, walaupun yang datang itu lebih banyak
perempuannya.
Sebagai pemakai bahasa Arab, al-Qur'an juga mengikuti
ketentuan ini sehingga dalam menyampaikan sebuah pesan yang ditujukan kepada
umat secara umum, baik laki-laki atau perempuan, al-Qur'an menggunakan jenis
kata laki-laki. Beberapa contoh ayat dapat disebutkan di sini:
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa (QS. 2:183).
Maskulinitas ayat-ayat di atas terletak pada penggunaan
kata-kata yang dicetak miring. Kata ganti orang kum (kalian), kata
sambung alladhi>na (orang-orang yang), kata kerja a>manu>,
tattaqu>n, (beriman, bertakwa). Kata-kata ini dalam bentuk
perempuannya (muannathnya) adalah kunna, alla>ti>, a>manna,
dst. Sekalipun menggunakan kata bentuk mudzakkar, ayat ini jelas ditujukan
kepada seluruh kaum muslim termasuk yang perempuan. Jika tidak, maka ayat-ayat
di atas tidak dapat dijadikan landasan bagi kewajiban shalat dan zakat bagi
perempuan
C.
Bahasa Hukum
Islam Untuk Perempuan
Dalam makalah
ini, Penulis memfokuskan kajian dalam hukum perkawinan, hal ini tidak lain
karena dimaksudkan agar kajiannya lebih mendalam dan fokus. Keluarga adalah
sebutan bagi sekelompok orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang
diikat dengan tali pernikahan. Pada prinsipnya kehidupan berkeluarga tidak bisa
lepas dari peran dari semua komponen penyusunnya, akan tetapi acap kali kita
temukan ketimpangan peran yang diciptakan oleh kultur budaya kita yang
membatasi salah seorang dari anggota keluarga untuk berperan, atau bahkan tidak
sama sekali. Dan orang yang termarginal tersebut adalah perempuan, hal itu
disebabkan perbedaan seks yang menyusun tubuhnya, padahal mereka terlahir tanpa
kehendak mereka. Begitulah budaya memperlakukan mereka, kaum lemah yang
tertindas. Adapun ketimpangan-ketimpangan tersebut sebagai berikut :
1. Tertutupnya
kesempatan perempuan untuk memilih pasangan ( Suami )
Setiap orang pasti ingin memilih dengan siapa ia kelak
hidup bersama, menghabiskan hidup bersama, menumpahkan keluh kesah bersama.
Tapi itu tidak kaum perempuan, perempuan hanya komoditi yang harus dipilih,
bukan memilih. Hal itu didasari hadith Nabi sebagai berikut:
تنكح
المرأة لأربع ، لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك ( راه
أبو داود والنسائي عن أبي هريرة )
Hadith diatas, secara jelas menjadikan perempuan
sebagai objek, artinya mereka hanya untuk dipilih sebagaimana halnya barang,
maka harus diambil yang terbaik dari semua barang yang ada. Dalam hal ini,
perempuan seakan tidak punya hak atas diri mereka sendiri, sehingga dalam
menentukan urusan yang sangat krusial, mereka tidak bisa berbuat banyak. Mereka
tidak bebas seenaknya memilih laki-laki mana yang akan ia jadikan imamnya. Mereka
hanya menunggu kedatangan pangeran yang akan melamarnya. Sehingga tidak lumrah
dan dianggap tabu bagi budaya timur, jika ada seorang perempuan yang melamar
laki-laki, walau pun di Indonesia kita bisa temua segelintir masyarkat yang
melakukan itu, contoh Lamongan.
2.
Ketimpangan yang perempuan dapatkan ketika sudah bersuami
a)
Hak-hak Suami terhadap Istri
Dalam kitab-kitab fikih, kita tidak akan
menemukan bab khusus yang membahas tentang hak-hak istri, hal ini disebabkan
oleh pandangan budaya yang menyatakan mereka adalah sebuah barang, yang sebelum
menikan milik orang tua, dan setelah menikan milik suami.
Jadi layaknya barang, mereka hanya punya kewajiban dan tidak boleh menuntut
hak, hal ini juga dipertegas oleh budaya Arab yang menyatakan al-Nika>h} Riqqun.
Dalam kitab ‘Uqu>q al-Lujain,
Imam Nawawi al-Banteni menjelaskan sebagai berikut :
H}uqu>q al-Zauj al-Wa>jibah
‘ala> al-Zaujah wa hiya T}a>’at al-Zauj wa Tasli>m Nasfiha> Ilayh
Wa Mula>zimat al-Bayt Wa S}iya>nat Nafsiha> Min An Tu>t}ia Fira>shiha> Gayruh Wa
al-Ih}tija>b ‘An Ru’yat al-Ajnabi> Li Shayin Min Badaniha> Wa Tark
Mat}a>libatiha> Lahu> Bima> Fauq al-H}a>jah Walau ‘Alimat
Qudratahu> ‘Alayh.
Dari uraian ditas, jelas sekali bahwa perempuan harus mut}lak
tasli>m pada suami, sebab ia berada dalam kuasanya. Dalam artian,
perempuan harus pasrah total pada suami, dengan cara melayaninya ketika di
rumah, sebab hal itu pernah Rasul lakukan untuk putri beliau walaupun ia
menyandang Sayyidat Nisa’
al-‘Alami>n, beliau wajib melayani Ali di rumah, sedangkan ali
berkewajiban menafkahinya.
Sebab Menurut Rasul seandainya boleh bersujud pada manusia, niscaya saya suruh perempuan
bersujud pada suaminya, sebagaimana dalam hadith :
لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت
المرأة أن تسجد لزوجها
b)
Pelayanan Yang tanpa Batas
Wahbah al-Zuhayli> berpandangan bahwa, pemberian mahar
laki-laki kepada perempuan, pada dasarnya ditujukan untuk membayar pelayanan Istimta>’
yang harus diberikan istri kepada suami,
oleh karena itu, jika suami istri tidak melakukan dukhu>l, maka
kewajiban suami membayar mahar dianggap gugur.
Oleh karena itu sebagai konsekuensi atas mahar itu, perempuan wajib melayani
suaminya, baik dalam keadaan yang pas baginya untuk melakukan jima>’
atau tidak. Sebagaimana dikatakan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
وعلى الزوجة طاعة زوجها إذا دعاه إلى
الفراش ولو كانت على التنور أو على ظهر قتب كما رواه أحمد
Dapat dipahami dari ungkapan diatas,
bahwa Istri tidak boleh menolak keinginan suami untuk berjima’ walau
atas keterpaksaan, atau bahkan walau ketika ada diatas kuda ( kendaraan misal
mobil, sepeda motor dalam konteks kekinian ),
hal itu berbanding terbalik jika yang meminta adalah pihak istri, sebab sudah
fitrah bahwa manusia sangat membutuhkan
seks, pun demikian dengan seorang istri, lagi-lagi ia harus mengubur
dalam-dalam keinginan itu jika sang suami tidak berkenan.
Kali ini
perempuan dirugikan oleh budaya, atau bahkan ajaran agama, ibarat robot yang
tidak boleh menolak keinginan majikannya, kecuali ketika ia rusak, atau dalam
bahasa manusia ketika ia h}ayd}. Hadith yang begitu ekstrim melegitimasi
hal itu adalah pernyataan baginda Nabi sebagai berikut :
إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت
أن تجيئ فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح
Dari hadith diatas, dapat disimpulkan
bahwa penolakan perempuan atas hasrat suaminya, bisa mengundang kemarahan para
malaikat sampai menjelang subuh, simbol keagamaan ini sangat menakutkan jika
dibayangkan, sehingga hal inilah yang dijadikan dasar bagi suami untuk
seenaknya meminta jatah pada istri, tidak liat situasi dan kondisi.
c)
Akses diluar rumah
Berumah tangga, adalah penghambat karir
bagi sebagaian perempuan yang mendambakan karir melejit melangit. Sebab dalam
hukum islam, akses perempuan muhs}an di luar rumah sangat dibatasi. Hal
itu tidak lain menurun Syaikh Ramad}an al-Bu>t}i> adalah bentuk
penghormatan Islam terhadap perempuan, sebab Islam memandang perempuan adalah
barang mewah yang tidak boleh dilihat sembarang orang, apalagi bersentuhan.
Bahkan dalam sebagaian hadith dijelaskan, jika perempuan keluar rumah dengan
berparfum, dan lewat di depan laki-laki ajnabi, maka sungguh ia telah berzina. Tapi
menurut sebagian orang, kaum feminis khususnya hal itu tidak lain adalah
ketidak adilan, mengkerdilkan karir dan kemampuan perempuan.
Seorang perempuan yang menikah, terikat oleh aturan yang
digariskan oleh agama Islam, sebagai contoh dalam kitab Fiqh al-Islam Wa
Adillatuhu disebutkan:
ومن طاعةتها القرار في البيت فليس
للزوجة الخروج من المنزل ولو إلى الحج إلا بإذن زوجها،
فله منعها من الخروج إلى المساجد
وغيرها.
Hal demikian didasari oleh hadith
Nabi yang berbunyi :
عن
ابن عمر قال : رأيت امرأة أتت إلى النبي وقالت : يا رسول الله ما حق الزوج على
زوجته؟
قال
حقه عليها أن لا تخرج من بيتها إلا بإذنه ، فإن فعلت لعنها الله وملائكة الرحمة
وملائكة
الغضب ختى تتوب أو ترجع ، قالت يا رسول الله وإن كان لها ظالما؟ قال : وإن كان لها
ظالما
Ulama’
berpendapat, jika keluar rumah untuk melakukan kewajiban beribadah saja tidak
boleh, apalagi yang tidak wajib seperti bekerja dan belajar di luar rumah,
sebab bekerja adalah kewajiban suami dan mengajari istri adalah kewajibannya
juga, bahkan jika suami tidak mampu mengajari istrinya, maka ia wajib belajar
atau mendatangkan guru untuk istrinya.
d) Akses untuk beribadah Nafilah
Bagi seorang
perempuan yang bersuami, maka ia tidak bebas lagi untuk melakukan ibadah yang
sifatnya sunnah, seperti salat jama’ah di Masjid, puasa sunnah dan yang
lain-lain.
Adapun tentang
salat jama’ah yang di lakukan di luar rumah seperti di masjid, telah dijelaskan
oleh hadith nabi sebagai berikut :
قال الرسول صلى الله عليه وسلم : أقرب
ما تكون المرأة من وجه ربها إذا كانت في قعر بيتها وإن صلاتها في صحن دارها
أفضل من صلاتها في المسجد،
وصلاتها في بيتها أفضل من صلاتها في صحن دارها، وصلاتها في مخدعها أفضل من صلاتها
في بيتها.
Dari hadith
diatas, dapat disimpulkan bahwa, semakin kedalam rumah salat perempuan, maka
itu adalah semakin baik, sebab wanita adalah aurat dalam Islam. Sehingga
semakin mengisolasi diri, maka wanita itu semakin baik.
Adapun untuk
Ibadah-ibadah lainnya- yang sunnah- wanita harus mendapatkan izin dari sang
adikuasa yaitu suaminya, hal ini pernah disampaikan oleh rasul dalam hadithnya:
وليس للزوجة صوم نفل أو تطوع إلا بإذن
زوجها، لقوله صلى الله عليه وسلم :( لا يحل لامرأة أن تصوم، وزوجها شاهد إلا
بإذنه.) وفي حديث آخر يقول : ( روي البزار عن ابن عباس أن امرأة من خثعم أتت
رسول الله فقالت : يا رسول الله إني امرأة أيم، فإن استطعت وإلا جلست أيما؟ قال
فإن حق الزوج على زوجته إن سألها نفسها وهي على ظهر قتب ألا تمنعه، وألا تصوم
تطوعا إلا بإذنه، فإن فعلت جاعت وعطشت ولا تقبل منها، ولا تخرج من بيتها إلا بإذنه
فإن فعلت لعنتها ملائكة السماء وملائكة الرحمة وملائكة العذاب قالت: لا جرم ، لا
أتزوج أبدا.
Betapa beratnya pengabdian seorang
istri pada sang suami, sampai-sampai, istri tidak bebas melakukan ibadah,
kecualia atas izin dari suami, karena kewajiban istri hanya pelayanan totalitas
kepada sang suami, sehingga tidak heran jika istri dilarang puasa sunnah, tanpa
izin dari suami, karena melakukan yang sunnah dan meninggalkan yang wajib itu
sebuah kebodohan.
Daftar Rujukan
Abu Zaid , Nasr Hamid. Women
in the Discourse of Crisis, The Legal Research and Resource center for Human
Right pages. (LRRC). Cairo :
University of Cairo, 2000
al-Banteni , Nawawi>. Uqu>d al-Lujain Fi> Baya>ni
H}uqu>q al-Zawjayn. Surabaya :
al-Hidayah, tt
al-Ja>biri>, M. ‘Abid. al-Di>n Wa al-Daulah Wa Tat}bi>q
al-Shari>’ah. Beirut : Markaz
Dira>sa>t al-Wihdah al-‘Arabiyyah,1996
----------------------. Binyat aql ‘arabi.
Beirut : Markaz Dira>sa>t al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 2009
Al-Qulyu>bi
Wa ‘Umairah.
H}a>shiyata>n Qulyu>bi> wa ‘Umairah ‘Ala> Minha>j
al-T}a>libi>n,
vol 3 . Beirut : Da>r al-Fikr, Tanpa Tahun
Baidowi , Ahmad. Gerakan Feminisme dalam Islam, Jurnal
Penelitian Agama. Yogyakarta : Pusat
Penelitian UIN SUKA , Vol. X, No. 2. Mei-Agustus 2001
el-Sadawi , Nawa>l. Perempuan
dalam Budaya Patriarkhi, Terj.
Zulhilmiyasri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001
Engineer , As}ghar Ali. Asal Usul Perkembangan Islam, Penerjemah :
Imam Baehaqi . Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1999
Esposito, John L. Enskilopedi Oxford : Dunia Islam Modern,
terj. Gufran. A Mas’adi. Jakarta : Rafa Grafindo, 2000
Helen Tierney. Women’s
Studies Encyclopedia, Vol. 1. New
york: Green Wood Press, 1991
Istibsyarah. Hak-hak Perempuan Relasi
Jender Menurut Tafsir al-Sha’ra>wi. Jakarta : Teraju, 2004
John Echols dan Hassan
Shadily. kamus inggris-indonesia .
Jakarta: Gramedia, 1983
Lisa Luttle.
Encyclopedia of Feminism . New York : Facts On Publication, 1986
M Lips , Hilary. Sex and
Gender : an Introduction. California: Myfield Publishing Company, 1993
Mansour Fakih. Mansour
Fakih. Analisis Gender dan
Transformasi sosial, Cet. IV . Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999
Mosse , Julia Cleves. Jender
dan Pembangunan, alih bahasa : Hartian Silawati . Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2002
Mufidah Ch. Paradigma Gender. Malang : Bayu Media Publishing, 2004
Muh}ammad Gadhdha>mi> , ‘Abdullah. al-Lugah
wa al-Mar’ah. Beirut : al-Markaz al-Thaqa>fi> al-‘Arabi>, 2006
Mukhtar ‘Umar , Ah}mad. Ana wa al-Lugah wa al-Mujtama’. Kairo : ‘Alam al-Kutub, 2002
Nasution , Khoiruddin. Fazlurrahman
tentang perempuan . Yogyakarta :
Penerbit Tazaffa, 2002
Sa’i>d al-Na’i>mi , H}isa>m
>. Ibn Jini>; ‘A>lim
al-‘Arabiyyah . Bagda>d : Da>r
al-Shu’u>n al-Thaqa>fiyyah al-‘Amma>h, 1990
Saptari , Ratna. Perempuan kerja dan
perubahan sosial; sebuah pengantar studi perempuan . Jakarta : Kalyana Mitra, 1997
Sumandoyo , Priyo. wacana gender dan layar televisi ; studi perempuan dalam
pemberitaan televisi swasta, cet 1 . Yogyakarta : LP3Y, 1999
Trisakti Handayani dan Sugiarti. Konsep dan teknik penelitian gender. Yogyakarta : UMM Press, 2002
Umar , Nasaruddin dkk. Bias
Gender dalam Pemahaman Islam, cet. 1 . Yogyakarta : Gema Media, 2002