Kamis, 12 Juni 2014

FUNGSI TAHAJJUD BAGI SEORANG LEADER
“ Interpretasi atas Surat al-Muzzammil “

Makalah UAS  Mata Kuliah Studi al-Quran
Semester I
Program Studi Pendidikan Bahasa Arab





Oleh:
Bahrul Ulum
NIM: FO6213078


Dosen Pengampu:
DR. Hj. Astutik, M.Si



PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN ) SUNAN AMPEL
SURABAYA
2014

PENDAHULUAN
            Al-Qur’an adalah sumber ajaran Agama yang tak tertandingi dari agama apapun di dunia ini, al-Qur’an bukan hanya kitab Ideologi, akan tetapi dalam al-Qur’an juga terdapat konsep sosial dan peradaban yang sangat tinggi, disamping itu di dalamnya juga ada unsur sastra, sains dan politik, akan tetapi dengan semua kelebihan itu, tidak bisa kita menjustice bahwa al-Qur’an adalah kitab sastra, al-Qur’an adalah buku sains dan sebagainya.
            Artinya semua ajaran yang ada dalam al-Qur’an bisa kita manfaatkan dari banyak sudut pandang, tidak hanya hubungan vertikal dengan Allah sang Tuhan, akan tetapi dalam setiap ajarannya pasti mengandung hubugan Horisontal dan sosial. Dalam makalah ini, penulis mencoba mengungkap rahasia yang terkandung dalam surat al-muzzammil, khususnya ayat yang mengandung perintah salat tahajud, adakah fungsi medis, sosial dan politik di dalam salat tersebut, dengan menggunakan tinjauan sosio-historis ayat tersebut diturunkan penulis berusaha mengungkap rahasia-rahasia tersebut, untuk penjelasan lebih lengkapnya, ada dalam makalah yang  di hadapan para pembaca. Selamat membaca.














PEMBAHASAN

A.    Asba>b al-nuzu>l dan kaitannya dengan salat tahajjud
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahawa ketika kaum Quraisy berkumpul di gedung Darul Nadwah, mereka berkata sesama mereka: "Mari kita carikan nama bagi Muhammad yang cepat dan mudah dikenali oleh orang ramai." Mereka berkata: "Kahin (Dukun)" Sebahagian daripada mereka menjawab: "Dia bukan dukun." Sebahagian lagi berkata: "Majnun (orang gila)." Sebahagian daripada mereka menjawab pula: "Dia bukan gila." Terdapat sebahagian lagi yang mengatakan: "Sahir (tukang sihir?." Kemudian sebahagian daripada mereka menjawab pula: "Dia bukan tukang sihir”. Kejadian ini akhirnya sampai ke pengetahuan Nabi s.a.w. sehingga baginda menyembunyikan diri dengan berselimut dan berkurung. Maka datanglah Jibril menyampaikan wahyu kepadanya: "Ya ayyuhalmuzzammil.[1] Menurut al-Ra>zi> dalam tafsirnya bahwa ketika itu Rasulullah sedang mengalami sebuah kesumpekan dalam hal risa>lah sehingga Ia pun mendatangi Istrinya untuk diselimuti, kemudian Allah menghibur dan menenangkan hatinya dengan surat muzzammil tersebut[2], yaitu Allah mengajarkan sebuah ibadah yang layak untuk dilakukan dalam rangka menenagkan jiwa[3]. Hal ini dimaksudkan karena apa yang diemban Rasul sangatlah berat, sehingga ia pun harus diajari sebuah ibadah yang bisa menenagkannya.[4]
Surat al-Muzzammil, adalah nama surat yang diambil dari ayat pertama surat itu[5], yaitu muzzammil yang menurut para pakar bahasa kata tersebut berasal dari kata mutazammil yang sudah mengalami takhfi>f[6]. Surat ini adalah surah madani, walaupun ada juga yang mengatakan makki, hal yang menunjukkan bahwa surat ini adalah madani adalah ayat yang menjelaskan bahwa ketika Rasul dikhitab oleh Allah, ia sedang berselimut dengan pakaian Aishah. Sedangakan mereka tidak ngumpul selain di Madinah.[7]
Menurut al-Zamakhshari>, sangatlah tepat jika pada saat Rasul merasakan hal sumpek, Allah SWT menyuruh ia untuk melakukan Salat malam, karena disamping beban risalah yang ia pikul sangat berat, di sisi lain Allah mau mengajarkan Ia sebuah Amalan yang bisa membuat ia tambah mulya, sebab kemulyaan patut dan harus disandang oleh seorang Rasul.[8] Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Isra>’ ayat  79. Menurut Manna>’ Khali>l al-Qa>t}t}a>n, Salat malam atau tahajjud adalah sebuah keharusan bagi Rasul, sehingga Allah menurunkan ayat yang menjadi cikal bakal disyari’atkannya salat tersebut.[9] Disamping itu pula, dalam surat ini, Allah SWT menjelaskan pada Rasul tentang waktu-waktu dibolehkannya salat malam. Allah memberikan pilihan pada Nabi untuk melakukannya di tiga waktu, akan tetapi hal yang terpenting adalah penegasan bahwa salat tahajjud hanya boleh dilakukan pada malam hari, hal itu didasari oleh firman Allah:
ÉOè% Ÿ@ø©9$# žwÎ) WxÎ=s% ÇËÈ  
Ayat diatas menurut T}a>hir, belum memberikan pengertian jelas, artinya ayat tersebut masih membutuhkan bayan, sehingga al-Qur’an mendatangkan badal[10] yang bisa menjelaskan kata layl tersebut[11], maka dalam hal ini al-Qur’an mendatangkan penjelasan sebagai berikut: 
ÿ¼çmxÿóÁÏoR Írr& óÈà)R$# çm÷ZÏB ¸xÎ=s% ÇÌÈ   ÷rr& ÷ŠÎ Ïmøn=tã È@Ïo?uur tb#uäöà)ø9$# ¸xÏ?ös?   
Dari penjelasan tersebut maka, bisa diambil kesimpulan bahwa waktu yang ditawarkan Allah bagi Nabi dan ummatnya dalam melakukan ibadah salat malam adalah setengah malam, artinya dimulai dari jam 12 malam atau bisa kurang dari itu, artinya 2/3 malam, yaitu dimulai dari jam 3 malam dan yang terakhir lebih dari setengah malam, artinya dimulai dari jam 10 malam.[12]
Pertanyaan yang sering muncul dalam masyarakat adalah keterkaitan pelaksanaan salat tahajjud dengan tidur, bolehkah dilakukan sebelum tidur atau memang waktunya wajib sesudah tidur. Menurut al-Ima>m al-Ra>fi’i< dalam kitab al-‘Azi>z mengatakan bahwa waktu salat tahajjud adalah setelah tidur, sebab secara bahasa tahajjud diambil dari huju>d yang berarti tidur malam[13], sedangkan tahajjud adalah bentuk mas}dar dari tahajjada yang punya arti berlawanan dengan huju>d, yaitu bangun dari tidur malam, sehingga salat yang dilakukan sebelum tidur bukan disebut tahajjud.[14] Jadi salat tahajjud harus dilakukan setelah tidur, walaupun tidurnya sebelum salat isya’.[15] Sedangkan al-Ima>m al-Nawa>wi> dalam kitab al-Rawd}ah mensyaratkan qaylu>lah sebelum melakukan salat tahajjud, sehingga tidak diharuskan tidur yang lama[16], berbeda dengan para ahli fikih, ahli hadith lebih longgar mensyaratkan istirahat walaupun tidak tidur.[17]
Pada awal diturunkan surat ini, tepatnya ayat 1-4, salat tahajjud menjadi sebuah kewajiban bagi Rasul dan ummatnya. Sebab pada masa itu belum disyari’atkan salat rawatib[18], akan tetapi setelah turunnya ayat terakhir dari surat tersebut turun maka hukum berubah menjadi sunnah[19], akan tetapi Rasulullah memperlakukan salat ini sangat istimewa, bahkan rasul tidak pernah meninggalkannya, sehingga menurut pandangan ulama’ perubahan hukum wajib ke sunnah hanya berlaku pada ummat rasul tidak bagi rasul[20]. Hal tersebut dilakukan oleh nabi dalam rangka membangun kekuatan spiritual dan jasmani beliau sebagai kepala negara dan seorang Rasul[21]. Sebab dilihat dari sebab turun dan disyari’atkannya adalah dalam rangka memberikan ibadah yang bersifat solutif bagi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi Nabi.
Bahkan ibadah tersebut tidak hanya dilakukan oleh nabi, khalifah penerus nabi pun senantiasa menjaga salat tersebut. Sebab menurut al-Ima>m al-Shaykh ‘Abd. al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, salat tahajjud adalah salat terdekat seorang hamba dengan Tuhannya[22]. Sehingga wajar jika seorang pemimpin diajarkan salat sebuah ibadah itu oleh Allah SWT. Diceritakan bahwa ketika dalam peperangan, Umar Ibn al-Khat}t}a>b bingung kenapa pertempuran tidak selesai-selesai melawan orang kafir, pertempuran itu memakan waktu yang cukup lama yaitu satu minggu, sontak umar berfikir untuk melihat apa yang dilakukan oleh pasukannya dalam tenda, akankah mereka meminta pertolongan pada Allah atau malah nyenyak dalam tidur mereka, akhirnya Umar berkeliling mengontrol pasukannya yang sedang tertidur di tenda, beliau melihat siapa saja yang melaksanakan salat tahajjud dan yang tidak, keesokan harinya beliau memanggil dan memarahi pasukan yang tidak melaksanakan salat tahajjud, sebab menurut beliau orang yang tidak melaksanakan salat tahajjud adalah orang yang tidak memiliki kekuatan mental dan spiritual, sehingga Umar mengusir mereka dan beperang deengan pasukan yang mau melaksanakan salat tahajjud, walaupun jumlahnya sangat sedikit, herannya dengan jumlah sedikit itulah Ia dan pasukannya bisa memenagkan peperangan [23]. Sehingga secara sosiohistoris salat tahajjud adalah solusi bagi Rasul ketika mengalami gejolak mental dalam kapasitasnya sebagai pemimpin pada waktu itu dan hal itu ditiru oleh para pemimpin muslim berikutnya sehingga mereka mencapai kesuksesan yang luar biasa, ritual ini patutnya ditiru oleh pemimpin kita, Presiden Indonesia.

B.     Tahajjud adalah kunci sukses seorang pemimpin
Menurut al-Ma>wardi dalam kitab al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, seorang pemimpin harus memiliki kriteria sebagai berikut[24]:
1.      Sehat Jasmani dan Rohani
Tahajjud bukan hanya sebuah ibadah yang mendatangkan pahala, akan tetapi sudah banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa melakukan salat tahajjud disamping mendapatkan fungsi spiritual, juga mendapatkan manfaat bagai kesehatan, hal itu tidak lagi kita ragukan, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh seorang Profesor UIN Sunan Ampel, yaitu Prof. Soleh. Menurut beliau, Tahajud sangat baik buat sistem imun tubuh manusia, sehingga ia bisa menyeimbangkan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit[25], penelitian beliau didasari asumsinya bahwa tidak ada sebuah salat sunnah yang secara implisit diperintahkan oleh Allah dalam al-Qur’an dan Hadith kecuali hal itu sangat besar faidahnya. Hal itu lah yang mendorong beliau meneliti rahasa yang terkandung dalam kemisteriusan salat tahajud, hasilnya beliau temukan hipotesa bahwa tahajud menguatkan kekebalan tubuh, hal ini juga dilegitimasi oleh hadith Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizdi, beliau bersabda yang artinya:
Salat tahajud dapat menghapus dosa, mendatangkan ketenangan dan menghindarkan dari penyakit”[26]
Dari hadiht tersebut, pantaslah jika tahajud adalah solusi meyehatkan bagi umat Islam, pada Umumnya dan para para pemimpin umat, mulai dari Nabi, Khalifah dan para penerusnya.
2.      Memiliki pengetahuan tentang permasalah yang sedang dihadapi Bangsa
Kepekaan sosial para pemimpin islam terdahulu tidak bisa diragukan lagi, bagaimana yang dicontohkan Rasul ketika menjadi seorang pemimpin, bagaimana beliau mengamati apa yang dibutuhkan ummat, menunjukkan betapa pekanya Rasul. Hal itu dilakukan oleh Sayyidina Umar. Ra, diceritakan pada suatu malam, setelah beliau menyelesaikan salat tahajud, beliau bertafakkur dan timbullah inisiatif untuk menegetahu hal ihwal pemduduknya, berjalanlah beliau dikeheningan malam, sampai menemui sebuah rumah yang didalamnya terdenganr anak menangis, dengan seksama beliau dengarkan masalah yang sedang dialami anak itu, ternyata yang menyebabkan ia menangis adalah kelaparan yang sedang menyambarnya, mengetahui hal itu betapa terpukulnya hati seorang Umar, pemimpin yang dikenal adil dan tegas ini segera menuju ke baitul mal dan mengambil sekarung beras untuk diberikan pada keluarga tersebut[27].
Al-Ima>m Gaza>li berpendapat bahwa, kepekaan perasaan hanya bisa didapat oleh orang yang hatinya bersih dari penyakit hati dan salah satu pembersih hati adalah salat malam yaitu salat tahajud.[28]
3.      Adil
Adil adalah bisa menempatkan sesuatu sesuai dangan porsinya[29], tidak bisa dipungkiri lagi, adil adalah perintah agama yang kerap kali disebut dalam al-Qur’an, salah satunya ada di Surat al-Maidah ayat 8:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès?
Dari ayat tersebut, sangatlah jelas, bahwa adil adalah perintah agama. Dalam ayat itu pula, Allah mengkhususkan khitabnya pada orang-orang yang beriman, artinya hanya orang yang beriman yang bisa melakukan keadilan dan takut berbuat curang, sebab curang adalah dosa dan yang takut dosa adalah orang yang beriman[30].
      Berkaitan dengan Iman dan Adil, sangat pantas jika hadith Rasul yang diriwayatkan oleh Tirmizdi diatas yang menjelaskan kepada kita bahwa salat tahajjud bisa membuat seorang berlaku adil, hal itu juga didasarkan oleh firman Allah yang menyatakan orang-orang yang beriman itu adalah orang yang yang salat pada malam hari dan beristigfar pada Allah sebagai berikut :
(#qçR%x. WxÎ=s% z`ÏiB È@ø©9$# $tB tbqãèyföku ÇÊÐÈ   Í$ptôžF{$$Î/ur öLèe tbrãÏÿøótGó¡o ÇÊÑÈ
   Oleh karena itu, untuk menumbuhkan sifat adil, seorang pemimpin harus selalu dan senantiasa berusaha untuk melakukan tahajud, seperti yang diajarkan oleh Rasulullah.
Dari uraian diatas, sangatlah pantas jika Allah SWT mengajari Rasulullah sebuat salat yang luar biasa ketika Rasul sedang mengalami kesulitan dan kegundahan dalam awal-awal masa pemerintahannya atau lebih tepatnya masa awal-awal kerasulannya. Sehingga hal itu menjadi pelicin dan pendorong kesuksesan Rasul dalam mengemban dakwah menyebarkan agama Allah, dan kesuksesan Rasul sebagai kepala negara yang adil bagi seluruh umat.

PENUTUP

            Allah SWT menurunkan ajaran tidak semata mempertimbangkan sisi pahala saja, disamping itu banyak rahasia yang perlu digali dibalik ritual ibadah yang selama ini kita lakukan. Hal itu sama halnya dengan ritual tahajud yang Allah ajarkan kepada nabi yang sesuai dengan sosio-historis pada masa itu.
            Pada mulanya, Tahajud hanya dipandang sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah semata, sebab disaat malam sedang hening adalah waktu yang paling tepat dan pas untuk melaksanakan ritual ibadah yang bisa membawa kita untuk bisa khusuk secara totalitas kepada Allah. akan tetapi setelah diadakan kajian historis tentang kenapa ajaran itu diturunkan dan diajarkan oleh Allah, ternyata ditemukan sebuah hipotesa bahwa hal itu untuk menguatkan Nabi pada saat itu yang kapasitasnya sebagai kepala negara dan pimpinan umat islam, pada saat itu pula nabi sedang ditimpa kesusahan akibat perbuatan masyarakat kafir qurays yang  memang sangat tidak senang pada nabi.
            Dan pada akhirnya Allah mengajarkan kepada pemimpin terbaik sepanjang masa itu sebuah ritual agama yang berfungsi secara horisontal dan vertikal yang nantinya juga akan diajarkan pada seluruh pemimpin Islam, sebagai senjata pamungkas dalam meraih kesuksesan dalam memimpin, Yaitu TAHAJUD.















Daftar Pustaka
‘Abdullah, Kha>lid Ibn. Mazdhab syafi’i wa adillatuhu fil ibadah. Kairo : Da>r al-Sala>m, 2004 
Ah}mad Shakir , Uthma>n Ibn H}asan Ibn. Dhurrat al-Na>s}ih}i>n. Surabaya : al-Hidayah, Tt  
al-Gazali>, Abu> H}amid. Mishka>t al-Anwa>r.  Kairo : al-Maktabah al-Mulukiyyah, Tt  
al-Ji>la>ni>, ‘Abd. al-Qa>dir . al-Fath} al-Rabba>ni wa al-Fayd} al-Rah}ma>ni. Surabaya : al-Hidayah, Tt
Al-Ma>wardi>. al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah. Beirut : Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989
al-Munawwir , Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Surabaya : Pustaka Progresif, 1997  
al-Qat}t}a>n, Manna>’ Khali>l. Ta>ri>kh al-Tashri’ al-Isla>mi>. Kairo : Maktabat al-Nahd}ah, 1997
al-Ra>fi’i>, ‘Abd. al-Kari>m. al-‘Azi>z Sharh} al-Waji>z al-Ma’ru>f bi Sharh} al-Kabi>r. Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997
al-Ra>zi>, Fakhr al-Di>n . Tafsi>r Mafa>tih} al-Gayb. Beirut: Da>r al-Fikr, 1981
al-S}a>wi al-Ma>liki>, Ah}mad Ibn Muhammad . H}a>shiyat al-S}a>wi> ‘Ala> al-Tafsi>r al-Jala>layn. Kairo : Da>r Ih}ya>’ al-Turath al-Arabi, Tt
al-Shamakhshari>, Abu> Qa>sim Muhammad. Tafsi>r al-Kashsha>f. Riyadl : Maktab al-Arabi>, 1998
Ibn ‘Isa> al-Tirmidhi>, Abu> ‘Isa> Ibn Muh}ammad. Sunan al-Tirmidhi> . Beirut : Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, Tt
 Ibn Ibrahim , ‘Abd. al-Kari>m. al-Insa>n al-Ka>mil. Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997
Ibn Jari>r al-T}aba>ri>. Tafsi>r al-T}abari.  Kairo : Da>r Hijr, 2001
Khud}ari, Muhammad.Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi. Beirut : Da>r al-Fikr, 1967
Muh}ammad al-Qist}illa>ni>, Ah}mad Ibn>.  al-Mawa>hib al-Ladunniyyah. Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996  
Nawawi> al-Banteni, Al-Ima>m. Marahil Labi>d Fi> Tafsir al-Qur’an al-Maji>d; al-Musamma> bi Tafsi>r al-Muni>r. Surabaya : Haramain, Tanpa Tahun
T}a>hir , Muhammad. Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r.  Beirut : Da>r al-Fikr, 1994  






[1] Muhammad T}a>hir, Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, ( Beirut : Da>r al-Fikr, Tt ) vol. 29. Hal. 256
[2] Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>tih} al-Gayb, ( Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), Vol. 30, Hal. 172
[3] ‘Abd. al-Kari>m Ibn Ibrahim, al-Insa>n al-Ka>mil, ( Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997 ) hal. 38
[4] Ah}mad Ibn Muhammad al-S}a>wi al-Ma>liki>, H}a>shiyat al-S}a>wi> ‘Ala> al-Tafsi>r al-Jala>layn, ( Kairo : Da>r Ih}ya>’ al-Turath al-Arabi, Tt ), Vol. 4, Hal. 136
[5] Ibn Jari>r al-T}aba>ri>, Tafsi>r al-T}abari>, ( Kairo : Da>r Hijr, 2001 ) Vol. 25, Hal. 308
[6] Abu> Qa>sim Muhammad al-Shamakhshari>, Tafsi>r al-Kashsha>f, ( Riyadl : Maktab al-Arabi>, 1998 ) Vol. 6, Hal. 237
[7] Ibi. 237
[8] Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>tih} al-Gayb, 174
[9] Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri’ al-Isla>mi>, ( Kairo : Maktabat al-Nahd}ah, tt ) hal. 139, lihat juga di Muhammad Khud}ari, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>,( Beirut : Da>r al-Fikr, 1967 ) hal. 35
[10] Yang dimaksud dengan Badal adalah : "Apabila isim diganti dengan isim atau fi’il diganti dengan fi’il, maka ia mengikutinya pada seluruh i’rabnya, yaitu perubahan akhir lapaznya, Maka itulah yang disebut dengan badal".
[11] Muhammad T}a>hir, Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, 258
[12] Ibid. 258
[13] ‘Abd. al-Kari>m al-Ra>fi’i>, al-‘Azi>z Sharh} al-Waji>z al-Ma’ru>f bi Sharh} al-Kabi>r, ( Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997 ) Vol. 2, Hal. 123
[14] Ibid, 124
[15] Kha>lid Ibn ‘Abdullah, Mazdhab syafi’i wa adillatuhu fil ibadah, ( Kairo : Da>r al-Sala>m, 2004)  Hal. 228
[16] Ibid, 229
[17]Ibid, 229
[18] Muhammad Khud}ari, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>,( Beirut : Da>r al-Fikr, 1967 ) hal. 36
[19] Muhammad T}a>hir, Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, 260
[20] Ibid. 260
[21] ‘Abd. al-Kari>m Ibn Ibrahim, al-Insa>n al-Ka>mil, 40
[22] ‘Abd. al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Fath} al-Rabba>ni wa al-Fayd} al-Rah}ma>ni>, ( Surabaya : al-Hidayah, Tt ) hal. 70
[23] Uthma>n Ibn H}asan Ibn Ah}mad Shakir, Dhurrat al-Na>s}ih}i>n, ( Surabaya : al-Hidayah, Tt ) hal. 147
[24] Al-Ma>wardi>, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah,  ( Beirut : Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989 ) Hal. 29
[26] Abu> ‘Isa> Ibn Muh}ammad Ibn ‘Isa> al-Tirmidhi> , Sunan al-Tirmidhi> , ( Beirut : Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, Tt ), Vol. 2, Hal. 301
[27] Ah}mad Ibn Muh}ammad al-Qist}illa>ni>, al-Mawa>hib al-Ladunniyyah, ( Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996 ) Vol. 2, Hal. 251
[28] Abu> H}amid al-Gazali>, Mishka>t al-Anwa>r, ( Kairo : al-Maktabah al-Mulukiyyah, Tt ) hal. 47
[29] Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, ( Surabaya : Pustaka Progresif, 1997 ) hal. 318
[30] Al-Ima>m Nawawi> al-Banteni, Marahil Labi>d Fi> Tafsir al-Qur’an al-Maji>d; al-Musamma> bi Tafsi>r al-Muni>r, ( Surabaya : Haramain, Tt ) Vol. 1, Hal 142

0 komentar :

Posting Komentar