FUNGSI
TAHAJJUD BAGI SEORANG LEADER
“
Interpretasi atas Surat al-Muzzammil “
Makalah
UAS Mata Kuliah Studi al-Quran
Semester
I
Program
Studi Pendidikan Bahasa Arab
Oleh:
Bahrul Ulum
NIM: FO6213078
Dosen Pengampu:
DR. Hj. Astutik, M.Si
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI ( UIN ) SUNAN AMPEL
SURABAYA
2014
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Agama
yang tak tertandingi dari agama apapun di dunia ini, al-Qur’an bukan hanya
kitab Ideologi, akan tetapi dalam al-Qur’an juga terdapat konsep sosial dan
peradaban yang sangat tinggi, disamping itu di dalamnya juga ada unsur sastra,
sains dan politik, akan tetapi dengan semua kelebihan itu, tidak bisa kita
menjustice bahwa al-Qur’an adalah kitab sastra, al-Qur’an adalah buku sains dan
sebagainya.
Artinya semua ajaran yang ada dalam
al-Qur’an bisa kita manfaatkan dari banyak sudut pandang, tidak hanya hubungan
vertikal dengan Allah sang Tuhan, akan tetapi dalam setiap ajarannya pasti
mengandung hubugan Horisontal dan sosial. Dalam makalah ini, penulis mencoba
mengungkap rahasia yang terkandung dalam surat al-muzzammil, khususnya ayat
yang mengandung perintah salat tahajud, adakah fungsi medis, sosial dan politik
di dalam salat tersebut, dengan menggunakan tinjauan sosio-historis ayat
tersebut diturunkan penulis berusaha mengungkap rahasia-rahasia tersebut, untuk
penjelasan lebih lengkapnya, ada dalam makalah yang di hadapan para pembaca. Selamat membaca.
PEMBAHASAN
A.
Asba>b
al-nuzu>l dan kaitannya dengan salat tahajjud
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahawa
ketika kaum Quraisy berkumpul di gedung Darul Nadwah, mereka berkata sesama
mereka: "Mari kita carikan nama bagi Muhammad yang cepat dan mudah
dikenali oleh orang ramai." Mereka berkata: "Kahin (Dukun)"
Sebahagian daripada mereka menjawab: "Dia bukan dukun." Sebahagian
lagi berkata: "Majnun (orang gila)." Sebahagian daripada mereka
menjawab pula: "Dia bukan gila." Terdapat sebahagian lagi yang
mengatakan: "Sahir (tukang sihir?." Kemudian sebahagian daripada
mereka menjawab pula: "Dia bukan tukang sihir”. Kejadian ini akhirnya
sampai ke pengetahuan Nabi s.a.w. sehingga baginda menyembunyikan diri dengan
berselimut dan berkurung. Maka datanglah Jibril menyampaikan wahyu kepadanya:
"Ya ayyuhalmuzzammil.[1]
Menurut al-Ra>zi> dalam tafsirnya bahwa ketika itu Rasulullah sedang
mengalami sebuah kesumpekan dalam hal risa>lah sehingga Ia pun
mendatangi Istrinya untuk diselimuti, kemudian Allah menghibur dan menenangkan
hatinya dengan surat muzzammil tersebut[2],
yaitu Allah mengajarkan sebuah ibadah yang layak untuk dilakukan dalam rangka
menenagkan jiwa[3].
Hal ini dimaksudkan karena apa yang diemban Rasul sangatlah berat, sehingga ia
pun harus diajari sebuah ibadah yang bisa menenagkannya.[4]
Surat al-Muzzammil, adalah nama surat
yang diambil dari ayat pertama surat itu[5],
yaitu muzzammil yang menurut para pakar bahasa kata tersebut berasal
dari kata mutazammil yang sudah mengalami takhfi>f[6]. Surat ini
adalah surah madani, walaupun ada juga yang mengatakan makki, hal yang
menunjukkan bahwa surat ini adalah madani adalah ayat yang menjelaskan bahwa
ketika Rasul dikhitab oleh Allah, ia sedang berselimut dengan pakaian Aishah.
Sedangakan mereka tidak ngumpul selain di Madinah.[7]
Menurut al-Zamakhshari>, sangatlah
tepat jika pada saat Rasul merasakan hal sumpek, Allah SWT menyuruh ia untuk
melakukan Salat malam, karena disamping beban risalah yang ia pikul sangat
berat, di sisi lain Allah mau mengajarkan Ia sebuah Amalan yang bisa membuat ia
tambah mulya, sebab kemulyaan patut dan harus disandang oleh seorang Rasul.[8]
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Isra>’ ayat 79. Menurut Manna>’ Khali>l
al-Qa>t}t}a>n, Salat malam atau tahajjud adalah sebuah keharusan bagi
Rasul, sehingga Allah menurunkan ayat yang menjadi cikal bakal disyari’atkannya
salat tersebut.[9]
Disamping itu pula, dalam surat ini, Allah SWT menjelaskan pada Rasul tentang
waktu-waktu dibolehkannya salat malam. Allah memberikan pilihan pada Nabi untuk
melakukannya di tiga waktu, akan tetapi hal yang terpenting adalah penegasan
bahwa salat tahajjud hanya boleh dilakukan pada malam hari, hal itu didasari
oleh firman Allah:
ÉOè% @ø©9$# wÎ) WxÎ=s% ÇËÈ
Ayat diatas menurut T}a>hir, belum
memberikan pengertian jelas, artinya ayat tersebut masih membutuhkan bayan,
sehingga al-Qur’an mendatangkan badal[10]
yang bisa menjelaskan kata layl tersebut[11],
maka dalam hal ini al-Qur’an mendatangkan penjelasan sebagai berikut:
ÿ¼çmxÿóÁÏoR Írr& óÈà)R$# çm÷ZÏB ¸xÎ=s% ÇÌÈ ÷rr& ÷Î Ïmøn=tã È@Ïo?uur tb#uäöà)ø9$# ¸xÏ?ös?
Dari penjelasan tersebut maka,
bisa diambil kesimpulan bahwa waktu yang ditawarkan Allah bagi Nabi dan
ummatnya dalam melakukan ibadah salat malam adalah setengah malam, artinya
dimulai dari jam 12 malam atau bisa kurang dari itu, artinya 2/3 malam, yaitu
dimulai dari jam 3 malam dan yang terakhir lebih dari setengah malam, artinya
dimulai dari jam 10 malam.[12]
Pertanyaan yang sering muncul
dalam masyarakat adalah keterkaitan pelaksanaan salat tahajjud dengan tidur,
bolehkah dilakukan sebelum tidur atau memang waktunya wajib sesudah tidur.
Menurut al-Ima>m al-Ra>fi’i< dalam kitab al-‘Azi>z mengatakan bahwa
waktu salat tahajjud adalah setelah tidur, sebab secara bahasa tahajjud diambil
dari huju>d yang berarti tidur malam[13],
sedangkan tahajjud adalah bentuk mas}dar dari tahajjada yang
punya arti berlawanan dengan huju>d, yaitu bangun dari tidur malam,
sehingga salat yang dilakukan sebelum tidur bukan disebut tahajjud.[14]
Jadi salat tahajjud harus dilakukan setelah tidur, walaupun tidurnya sebelum
salat isya’.[15]
Sedangkan al-Ima>m al-Nawa>wi> dalam kitab al-Rawd}ah mensyaratkan qaylu>lah
sebelum melakukan salat tahajjud, sehingga tidak diharuskan tidur yang lama[16],
berbeda dengan para ahli fikih, ahli hadith lebih longgar mensyaratkan
istirahat walaupun tidak tidur.[17]
Pada awal diturunkan surat ini,
tepatnya ayat 1-4, salat tahajjud menjadi sebuah kewajiban bagi Rasul dan
ummatnya. Sebab pada masa itu belum disyari’atkan salat rawatib[18],
akan tetapi setelah turunnya ayat terakhir dari surat tersebut turun maka hukum
berubah menjadi sunnah[19],
akan tetapi Rasulullah memperlakukan salat ini sangat istimewa, bahkan rasul
tidak pernah meninggalkannya, sehingga menurut pandangan ulama’ perubahan hukum
wajib ke sunnah hanya berlaku pada ummat rasul tidak bagi rasul[20].
Hal tersebut dilakukan oleh nabi dalam rangka membangun kekuatan spiritual dan
jasmani beliau sebagai kepala negara dan seorang Rasul[21].
Sebab dilihat dari sebab turun dan disyari’atkannya adalah dalam rangka
memberikan ibadah yang bersifat solutif bagi persoalan-persoalan yang sedang
dihadapi Nabi.
Bahkan ibadah tersebut tidak hanya
dilakukan oleh nabi, khalifah penerus nabi pun senantiasa menjaga salat
tersebut. Sebab menurut al-Ima>m al-Shaykh ‘Abd. al-Qa>dir
al-Ji>la>ni>, salat tahajjud adalah salat terdekat seorang hamba
dengan Tuhannya[22].
Sehingga wajar jika seorang pemimpin diajarkan salat sebuah ibadah itu oleh
Allah SWT. Diceritakan bahwa ketika dalam peperangan, Umar Ibn al-Khat}t}a>b
bingung kenapa pertempuran tidak selesai-selesai melawan orang kafir,
pertempuran itu memakan waktu yang cukup lama yaitu satu minggu, sontak umar
berfikir untuk melihat apa yang dilakukan oleh pasukannya dalam tenda, akankah
mereka meminta pertolongan pada Allah atau malah nyenyak dalam tidur mereka,
akhirnya Umar berkeliling mengontrol pasukannya yang sedang tertidur di tenda,
beliau melihat siapa saja yang melaksanakan salat tahajjud dan yang tidak,
keesokan harinya beliau memanggil dan memarahi pasukan yang tidak melaksanakan
salat tahajjud, sebab menurut beliau orang yang tidak melaksanakan salat
tahajjud adalah orang yang tidak memiliki kekuatan mental dan spiritual,
sehingga Umar mengusir mereka dan beperang deengan pasukan yang mau melaksanakan
salat tahajjud, walaupun jumlahnya sangat sedikit, herannya dengan jumlah
sedikit itulah Ia dan pasukannya bisa memenagkan peperangan [23].
Sehingga secara sosiohistoris salat tahajjud adalah solusi bagi Rasul ketika
mengalami gejolak mental dalam kapasitasnya sebagai pemimpin pada waktu itu dan
hal itu ditiru oleh para pemimpin muslim berikutnya sehingga mereka mencapai
kesuksesan yang luar biasa, ritual ini patutnya ditiru oleh pemimpin kita,
Presiden Indonesia.
B.
Tahajjud adalah
kunci sukses seorang pemimpin
Menurut al-Ma>wardi dalam kitab
al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, seorang pemimpin harus memiliki kriteria
sebagai berikut[24]:
1.
Sehat Jasmani
dan Rohani
Tahajjud
bukan hanya sebuah ibadah yang mendatangkan pahala, akan tetapi sudah banyak
penelitian yang telah membuktikan bahwa melakukan salat tahajjud disamping
mendapatkan fungsi spiritual, juga mendapatkan manfaat bagai kesehatan, hal itu
tidak lagi kita ragukan, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh seorang
Profesor UIN Sunan Ampel, yaitu Prof. Soleh. Menurut beliau, Tahajud sangat
baik buat sistem imun tubuh manusia, sehingga ia bisa menyeimbangkan kekebalan
tubuh terhadap serangan penyakit[25],
penelitian beliau didasari asumsinya bahwa tidak ada sebuah salat sunnah yang
secara implisit diperintahkan oleh Allah dalam al-Qur’an dan Hadith kecuali hal
itu sangat besar faidahnya. Hal itu lah yang mendorong beliau meneliti rahasa
yang terkandung dalam kemisteriusan salat tahajud, hasilnya beliau temukan
hipotesa bahwa tahajud menguatkan kekebalan tubuh, hal ini juga dilegitimasi
oleh hadith Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizdi, beliau bersabda yang
artinya:
“
Salat tahajud dapat menghapus dosa, mendatangkan ketenangan dan menghindarkan
dari penyakit”[26]
Dari
hadiht tersebut, pantaslah jika tahajud adalah solusi meyehatkan bagi umat
Islam, pada Umumnya dan para para pemimpin umat, mulai dari Nabi, Khalifah dan
para penerusnya.
2.
Memiliki
pengetahuan tentang permasalah yang sedang dihadapi Bangsa
Kepekaan
sosial para pemimpin islam terdahulu tidak bisa diragukan lagi, bagaimana yang
dicontohkan Rasul ketika menjadi seorang pemimpin, bagaimana beliau mengamati
apa yang dibutuhkan ummat, menunjukkan betapa pekanya Rasul. Hal itu dilakukan
oleh Sayyidina Umar. Ra, diceritakan pada suatu malam, setelah beliau
menyelesaikan salat tahajud, beliau bertafakkur dan timbullah inisiatif untuk
menegetahu hal ihwal pemduduknya, berjalanlah beliau dikeheningan malam, sampai
menemui sebuah rumah yang didalamnya terdenganr anak menangis, dengan seksama
beliau dengarkan masalah yang sedang dialami anak itu, ternyata yang
menyebabkan ia menangis adalah kelaparan yang sedang menyambarnya, mengetahui
hal itu betapa terpukulnya hati seorang Umar, pemimpin yang dikenal adil dan tegas
ini segera menuju ke baitul mal dan mengambil sekarung beras untuk diberikan
pada keluarga tersebut[27].
Al-Ima>m
Gaza>li berpendapat bahwa, kepekaan perasaan hanya bisa didapat oleh orang
yang hatinya bersih dari penyakit hati dan salah satu pembersih hati adalah
salat malam yaitu salat tahajud.[28]
3.
Adil
Adil
adalah bisa menempatkan sesuatu sesuai dangan porsinya[29],
tidak bisa dipungkiri lagi, adil adalah perintah agama yang kerap kali disebut
dalam al-Qur’an, salah satunya ada di Surat al-Maidah ayat 8:
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
(#qçRqä.
úüÏBº§qs%
¬!
uä!#ypkà
ÅÝó¡É)ø9$$Î/
(
wur
öNà6¨ZtBÌôft
ãb$t«oYx©
BQöqs%
#n?tã
wr&
(#qä9Ï÷ès?
4
(#qä9Ïôã$#
uqèd
Ü>tø%r&
3uqø)G=Ï9
(
(#qà)¨?$#ur
©!$#
4
cÎ)
©!$#
7Î6yz
$yJÎ/
cqè=yJ÷ès?
Dari ayat
tersebut, sangatlah jelas, bahwa adil adalah perintah agama. Dalam ayat itu
pula, Allah mengkhususkan khitabnya pada orang-orang yang beriman, artinya
hanya orang yang beriman yang bisa melakukan keadilan dan takut berbuat curang,
sebab curang adalah dosa dan yang takut dosa adalah orang yang beriman[30].
Berkaitan dengan Iman dan Adil, sangat
pantas jika hadith Rasul yang diriwayatkan oleh Tirmizdi diatas yang
menjelaskan kepada kita bahwa salat tahajjud bisa membuat seorang berlaku adil,
hal itu juga didasarkan oleh firman Allah yang menyatakan orang-orang yang
beriman itu adalah orang yang yang salat pada malam hari dan beristigfar pada
Allah sebagai berikut :
(#qçR%x. WxÎ=s% z`ÏiB È@ø©9$# $tB tbqãèyföku ÇÊÐÈ Í$ptôF{$$Î/ur öLèe tbrãÏÿøótGó¡o ÇÊÑÈ
Oleh
karena itu, untuk menumbuhkan sifat adil, seorang pemimpin harus selalu dan
senantiasa berusaha untuk melakukan tahajud, seperti yang diajarkan oleh
Rasulullah.
Dari uraian diatas, sangatlah
pantas jika Allah SWT mengajari Rasulullah sebuat salat yang luar biasa ketika
Rasul sedang mengalami kesulitan dan kegundahan dalam awal-awal masa
pemerintahannya atau lebih tepatnya masa awal-awal kerasulannya. Sehingga hal
itu menjadi pelicin dan pendorong kesuksesan Rasul dalam mengemban dakwah
menyebarkan agama Allah, dan kesuksesan Rasul sebagai kepala negara yang adil
bagi seluruh umat.
PENUTUP
Allah SWT menurunkan ajaran tidak
semata mempertimbangkan sisi pahala saja, disamping itu banyak rahasia yang
perlu digali dibalik ritual ibadah yang selama ini kita lakukan. Hal itu sama
halnya dengan ritual tahajud yang Allah ajarkan kepada nabi yang sesuai dengan
sosio-historis pada masa itu.
Pada mulanya, Tahajud hanya
dipandang sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah semata, sebab
disaat malam sedang hening adalah waktu yang paling tepat dan pas untuk
melaksanakan ritual ibadah yang bisa membawa kita untuk bisa khusuk secara
totalitas kepada Allah. akan tetapi setelah diadakan kajian historis tentang
kenapa ajaran itu diturunkan dan diajarkan oleh Allah, ternyata ditemukan
sebuah hipotesa bahwa hal itu untuk menguatkan Nabi pada saat itu yang
kapasitasnya sebagai kepala negara dan pimpinan umat islam, pada saat itu pula
nabi sedang ditimpa kesusahan akibat perbuatan masyarakat kafir qurays
yang memang sangat tidak senang pada
nabi.
Dan pada akhirnya Allah mengajarkan
kepada pemimpin terbaik sepanjang masa itu sebuah ritual agama yang berfungsi
secara horisontal dan vertikal yang nantinya juga akan diajarkan pada seluruh
pemimpin Islam, sebagai senjata pamungkas dalam meraih kesuksesan dalam
memimpin, Yaitu TAHAJUD.
Daftar Pustaka
‘Abdullah, Kha>lid
Ibn. Mazdhab syafi’i wa adillatuhu fil ibadah. Kairo : Da>r
al-Sala>m, 2004
Ah}mad Shakir , Uthma>n
Ibn H}asan Ibn. Dhurrat al-Na>s}ih}i>n. Surabaya : al-Hidayah, Tt
al-Gazali>, Abu> H}amid. Mishka>t
al-Anwa>r. Kairo : al-Maktabah
al-Mulukiyyah, Tt
al-Ji>la>ni>,
‘Abd. al-Qa>dir . al-Fath} al-Rabba>ni wa al-Fayd} al-Rah}ma>ni.
Surabaya : al-Hidayah, Tt
Al-Ma>wardi>. al-Ah}ka>m
al-Sult}a>niyyah. Beirut : Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989
al-Munawwir , Ahmad Warson. Kamus
al-Munawwir. Surabaya : Pustaka Progresif, 1997
al-Qat}t}a>n,
Manna>’ Khali>l. Ta>ri>kh al-Tashri’ al-Isla>mi>. Kairo
: Maktabat al-Nahd}ah, 1997
al-Ra>fi’i>,
‘Abd. al-Kari>m. al-‘Azi>z Sharh} al-Waji>z al-Ma’ru>f bi Sharh}
al-Kabi>r. Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997
al-Ra>zi>, Fakhr
al-Di>n . Tafsi>r Mafa>tih} al-Gayb. Beirut: Da>r al-Fikr,
1981
al-S}a>wi
al-Ma>liki>, Ah}mad Ibn Muhammad . H}a>shiyat al-S}a>wi>
‘Ala> al-Tafsi>r al-Jala>layn. Kairo : Da>r Ih}ya>’
al-Turath al-Arabi, Tt
al-Shamakhshari>, Abu>
Qa>sim Muhammad. Tafsi>r al-Kashsha>f. Riyadl : Maktab
al-Arabi>, 1998
Ibn ‘Isa> al-Tirmidhi>, Abu>
‘Isa> Ibn Muh}ammad. Sunan al-Tirmidhi> . Beirut : Da>r
al-Kutub al-Isla>miyyah, Tt
Ibn Ibrahim , ‘Abd. al-Kari>m. al-Insa>n
al-Ka>mil. Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997
Ibn Jari>r
al-T}aba>ri>. Tafsi>r al-T}abari. Kairo : Da>r Hijr, 2001
Khud}ari, Muhammad.Ta>ri>kh
al-Tashri>’ al-Isla>mi. Beirut : Da>r al-Fikr, 1967
Muh}ammad al-Qist}illa>ni>, Ah}mad
Ibn>. al-Mawa>hib
al-Ladunniyyah. Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996
Nawawi> al-Banteni, Al-Ima>m. Marahil
Labi>d Fi> Tafsir al-Qur’an al-Maji>d; al-Musamma> bi Tafsi>r
al-Muni>r. Surabaya : Haramain, Tanpa Tahun
T}a>hir , Muhammad.
Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r. Beirut : Da>r al-Fikr, 1994
http://www.shalat-tahajud.info/2012/09/shalat-tahajud-kesehatan-dan-sistem-imun.html, diakses pada hari Sabtu, 04
januari 2014
[1] Muhammad T}a>hir, Tafsi>r
al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, ( Beirut : Da>r al-Fikr, Tt ) vol.
29. Hal. 256
[2] Fakhr al-Di>n
al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>tih} al-Gayb, ( Beirut: Da>r
al-Fikr, 1981), Vol. 30, Hal. 172
[3] ‘Abd. al-Kari>m Ibn Ibrahim, al-Insa>n
al-Ka>mil, ( Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997 ) hal. 38
[4] Ah}mad Ibn Muhammad al-S}a>wi
al-Ma>liki>, H}a>shiyat al-S}a>wi> ‘Ala> al-Tafsi>r
al-Jala>layn, ( Kairo : Da>r Ih}ya>’ al-Turath al-Arabi, Tt ),
Vol. 4, Hal. 136
[5] Ibn Jari>r
al-T}aba>ri>, Tafsi>r al-T}abari>, ( Kairo : Da>r Hijr,
2001 ) Vol. 25, Hal. 308
[6] Abu> Qa>sim Muhammad
al-Shamakhshari>, Tafsi>r al-Kashsha>f, ( Riyadl : Maktab
al-Arabi>, 1998 ) Vol. 6, Hal. 237
[7] Ibi. 237
[8] Fakhr al-Di>n
al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>tih} al-Gayb, 174
[9] Manna>’ Khali>l
al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri’ al-Isla>mi>, ( Kairo :
Maktabat al-Nahd}ah, tt ) hal. 139, lihat juga di Muhammad Khud}ari, Ta>ri>kh
al-Tashri>’ al-Isla>mi>,( Beirut : Da>r al-Fikr, 1967 ) hal. 35
[10] Yang dimaksud dengan Badal
adalah : "Apabila isim diganti dengan isim atau fi’il diganti dengan fi’il,
maka ia mengikutinya pada seluruh i’rabnya, yaitu perubahan akhir lapaznya,
Maka itulah yang disebut dengan badal".
[11] Muhammad T}a>hir, Tafsi>r
al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, 258
[12] Ibid. 258
[13] ‘Abd. al-Kari>m
al-Ra>fi’i>, al-‘Azi>z Sharh} al-Waji>z al-Ma’ru>f bi Sharh}
al-Kabi>r, ( Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997 ) Vol. 2, Hal.
123
[14] Ibid, 124
[15] Kha>lid Ibn ‘Abdullah, Mazdhab
syafi’i wa adillatuhu fil ibadah, ( Kairo : Da>r al-Sala>m, 2004) Hal. 228
[16] Ibid, 229
[17]Ibid, 229
[18] Muhammad Khud}ari, Ta>ri>kh
al-Tashri>’ al-Isla>mi>,( Beirut : Da>r al-Fikr, 1967 ) hal. 36
[19] Muhammad T}a>hir, Tafsi>r
al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, 260
[20] Ibid. 260
[21] ‘Abd. al-Kari>m Ibn Ibrahim, al-Insa>n
al-Ka>mil, 40
[22] ‘Abd. al-Qa>dir
al-Ji>la>ni>, al-Fath} al-Rabba>ni wa al-Fayd}
al-Rah}ma>ni>, ( Surabaya : al-Hidayah, Tt ) hal. 70
[23] Uthma>n Ibn H}asan Ibn Ah}mad
Shakir, Dhurrat al-Na>s}ih}i>n, ( Surabaya : al-Hidayah, Tt ) hal.
147
[24] Al-Ma>wardi>, al-Ah}ka>m
al-Sult}a>niyyah, ( Beirut :
Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989 ) Hal. 29
[25] http://www.shalat-tahajud.info/2012/09/shalat-tahajud-kesehatan-dan-sistem-imun.html, diakses pada hari Sabtu, 04
januari 2014
[26] Abu> ‘Isa> Ibn Muh}ammad
Ibn ‘Isa> al-Tirmidhi> , Sunan al-Tirmidhi> , ( Beirut :
Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, Tt ), Vol. 2, Hal. 301
[27] Ah}mad Ibn Muh}ammad
al-Qist}illa>ni>, al-Mawa>hib al-Ladunniyyah, ( Beirut :
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996 ) Vol. 2, Hal. 251
[28] Abu> H}amid al-Gazali>, Mishka>t
al-Anwa>r, ( Kairo : al-Maktabah al-Mulukiyyah, Tt ) hal. 47
[29] Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus
al-Munawwir, ( Surabaya : Pustaka Progresif, 1997 ) hal. 318
[30] Al-Ima>m Nawawi>
al-Banteni, Marahil Labi>d Fi> Tafsir al-Qur’an al-Maji>d;
al-Musamma> bi Tafsi>r al-Muni>r, ( Surabaya : Haramain, Tt ) Vol.
1, Hal 142
0 komentar :
Posting Komentar