Kamis, 12 Juni 2014


BAB I
PENGANTAR
H}adi>th merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, disamping itu ia memiliki perang penting dalam memahami al-Qur’an. Salah satu peran penting h}adi>th bagi al-Qur’an adalah sebagai penafsir atau penjelas bagi ayat-ayat yang masih bersifat umum, sehingga dengan adanya h}adi>th dapat memudahkan umat Islam untuk memahami al-Qur’an. Oleh karena itu usaha untuk melestarikan dan menjaga h}adi<th menjadi sangat wajar dikalangan umat Islam.
Mengingat sumber h{adi<th itu adalah nabi Muhammad SAW, maka proses pemeliharaan dan penjagaan h{adi<th juga digalakkan oleh Nabi sendiri[1]. Hal ini bisa dilhat dari ijtihad Nabi dalam mengajarkan h{adi<th pada para sahabat. Dalam mengjarkan h{adi<th, nabi menggunakan tiga metode, yaitu :
1.      Metode Lisan
Sebagai seorang guru umat, tentu Nabi berupaya keras agar ajarannya bisa cepat dipahami dan bisa terjaga keberlangsungannya. Oleh sebab itu Nabi selalu mengulang-ulang h{adi<th sebanyak tiga kali dalam mengajar para sahabat, sehingga mereka bisa cepat hafal dan paham dengan apa yang Nabi sampaikan. Disamping itu, Nabi juga berpesan pada sahabat untuk menyampaikan apa yang mereka dapat dari Nabi kepada para sahabat yang tidak hadir[2], sehingga keberlangsungan ajarannya bisa tetap terjaga.
2.      Metode Tulisan
Gerak diplomasi Nabi dalam mengirim delegasi khusus untuk menyampaikan surat kepada raja, gubenur dan petinggi kerajaan pada waktu itu, merupakan strategi beliau untuk menyampaikan h{adi<th. Hal itu didukung oleh adanya kutta<b al-Nabi yang jumlahnya 42 orang[3]. Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa kegiatan penyebaran h{adi<th pada masa Nabi dilakukan secara terencana dan terarah.
3.      Metode Praktis
Sepanjang kehidupan Nabi, terhitung sejak beliau menerima wahyu, segala perilaku, ucapan dan persetujuan Nabi adalah h{adi>th. Dalam setiap segi kehidupan, Nabi memberi contoh peragaan ibadah tertentu sebagai metode penyampaian h{adi>thnya, sebagai contoh, Nabi mempraktikkan cara salat dan dikuti oleh seluruh sahabat sampai pada masa kita saat ini.
Pengajaran dan penyampaian h{adi>th berkembang sesuai dengan perkembangan waktu dan kondisi. Sehingga yang pada mulanya metode pengajaran h{adi>th hanya tiga metode, kini berkembang menjadi beberapa metode yang disepakati oleh para ahli h{adi>th. Yang semuanya itu akan dijelaskan pada bab berikutnya. Selamat membaca.
























BAB II

TAH{AMMUL DAN A>DA>’
A.    Tah{ammul al-H}adi>th
1.      Pengertian Tah}ammul al-H}adi>th
Secara leksikal kata tah}ammul merupakan bentuk mas{dar dari kata kerja tah{ammala – yatah{ammalu yang mempunyai arti menanggung dan memabawa dan menerima [4], sehingga tah{ammul al-h{adi>th adalah proses penerimaan hadith atau menanggung hadith. Sedangkan menurut istilah ahli hadith, tahammul al-h{adi>th adalah proses pemindahan hadith dari seorang guru ke murid[5].
Menurut Dr. Muh}ammad Abu Shuhbah, tah{ammul hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah tamyi>z[6] dan d{abit[7]} Akan tetapitidak menutup kemungkinan kategoritamyi>z disandangkan pada anak kecil yang belum mencapai usia minimal ba>ligh[8]untuk melakukan tah{ammul, hal itu berdasarkan hadith yang diriwayatkan oleh Mah}mu>d bin al-rabi>’
علقت من النبي صلى الله عليه وسلم حجة حجها في وجهي من دلو, وأنا ابن خمس سنين[9]
Akan tetapi, walaupun sudah bisa melakukan tah}ammul, mereka belum bisa menyampaikan hadith sampai mereka benar-benar sudah dewasa[10]. Begitu pula tidak ada larangan bagi orang kafir untuk melakukan tah}ammul h}adi>th, akan tetapi mereka belum boleh menyampaikan h{adi>th, seperti ketika Abu> Sufya>n ibn H}arb menyampaikan surat Nabi yang berisi ajakan masuk Islam kepada raja Hercules, sedangkan ia pada waktu itu masih dalam kekafiran[11].
2.      Cara Tah}ammul al-H}adi>th
Ada banyak cara dalam mendapatkan h}adi>th atau tah}ammul al-H}adi>th, akan tetapi menurut kebanyakan para ahli h}adi>th, termasuk Ibn al-S}ala>h} menyatakan bahwa cara mendapatkan h}adi>th Nabi ada delapan, yaitu :
a.       al-Sama>’
Metode sama>’ adalah proses pemerolehan h}adi>th Nabi dengan cara mendengarkan bacaan dari seorang guru, dalam metode ini guru boleh menyampaikan h}adi>th langsung dari hafalannya ataupun dia membacakan h}adi>th dari kitabnya. Begitu juga seorang murid dalam melakukan sama>’, boleh melakukannya dibalik tirai atau hijab[12]. Hal ini dipraktikkan oleh para sahabat Nabi ketika mendengarkan h}adi>th dari ummaha>t al-mu’mini>n.
Metode sama>’ ditengarai sebagai metode terbaik dalam mendapatkan h}adi>th, baik menurut ‘ulama>’ salaf maupun ‘ulama’ khalaf. Akan tetapi ulama’ berselisih dalam hal kapan metode sama>’ bisa dilakukan, sebagian dari mereka mengatakan bahwa batas minimal seseorang bisa melakukan metode sama>’ adalah ketika berusia lima tahun dan sebagian lagi berpendpat bahwa sama>’ hanya bisa dilakukan ketika seseorang sudah mumayyiz[13]. Akan tetapi Kha>tib al-Bagda>di>[14] ( w 463 H ) berpendapat bahwa pemerolehan h}adi>th setelah masa sahabat, hanya bisa dilakukan setelah berumur diatas lima belas tahun, karena pada usia diatas itu lah seseoang bisa efektif melakukan perjalanan keilmuan[15], hal itu juga didukung oleh kebiasaan pada masa itu, dimana anak-anak usia dibawah lima belas tahun masih sibuk dalam menghafal dan memahami al-Qur’an.
b.      al-Qira>’ah ‘ala> al-shaykh / al-‘arad}
Metode ‘arad} dilakukan dengan cara murid membacakan h}adith pada guru, sedangkan guru menyimak dan mengoreksi h}adi>th yang dibaca murid, baik sanadmaupun matannya[16]. Dalam metode ini, murid juga bisa menyuruh orang lain yang membacakan h}adi>th, sedangkan dia hanya mendengarkannya[17].
Ulama’ berbeda pendapat dalam masalah h}adi>th yang dibaca, apakah murid harus membacakan h}adi>th kepada guru melalui hafalan atau tidak. Al-‘Ira>qi>[18] ( 806 H ) berpendapat bahwa boleh saja murid membacakan h}adi>th kepada guru melalui hafalannya atau melihat catatan, pun demikian juga boleh bagi guru untuk mendengarkan bacaan murid dengan tanpa melihat catatan atau melihat catatan[19]. Berbeda dengan al-‘Ira>qi>, al-h}a>fidh ibn H}ajar[20] berpendapat bahwa dalam metode ‘arad} seyogyanya melalui jalan hafalan, hal itu untuk menunjukkan kemampuan dan pemahaman murid terhadap h}adi>th[21].
c.       Ija>zah
Menurut Ah}mad ibn Fa>ris, ija>zah secara bahasa bermakna air yang diminumkan pada hewan ternak dan tanam-tanaman[22], hal itu berdasakan penggunaan kata ija>zah di masyarakat Arab sebagai berikut :
استجزته فأجازني ، إذا سقاك ماء لماشيتك و أرضك
Jadi, ija>zahdalamkonteksilmuadalah :
طالب العلم يستجيز العالم علمه فيجيزه إياه أي يمنحه ويعطيه إياه
Sedangkan menurut definisi ulama’ h}adi>th, ija>zah adalah ijin seorang guru pada murid untuk meriwayatkan h}adi>th dengan tanpa mendengarkan h}adi>th darinya atau membacakan h}adith di depan murid[23]. Adapun macam-macam ija>zah sebagai berikut:
1.      Ija>zah seorang guru pada murid tertentu dan kitab tertentu
Pada ija>zah model ini, guru sudah menentukan murid yang ia tunjuk untuk mendapatkan ijin beserta kitab yang dituju, misalnya dalam s}ighat di bawah ini:
أجزتك – أجزتكم كتاب كذا
dalam model ija>zah seperti ini mu>ji>z, mu>ja>z lah dan mu>ja>z bih sudah jelas dan tidak diperdebatkan.
2.                        Ija>zah seorang guru pada seorang murid tertentu, tanpa menentukan kitab atau h}adi>th yang dimaksud, seperti perkataan seorang guru pada murid :
أجزتكجميع كتبي أو مسموعاتي أو مروياتي
3.      Ija>zah yang tidak jelas tujuannya
Ija>zah model seperti ini diperdebatkan oleh ulama’ h}adi>th, Ibn S}ala>h{ ( tahun ) berpendapat bahwa tah}ammul dengan cara seperti ini tidak boleh, sebab bisa melemahkan sanad h}adi>th, sebab bisa saja orang yang menerima h}adi>th tidak pernah liqa>’ dengan sang guru, padahal dalam hal sanad para ulama’ sangat ketat, sehingga tidak logis jika mengetatkan aturan sanad di satu sisi, dan  melonggarkan aturan pemerolehan h}adi>th itu sendiri di sisi yang lain[24].
d.      Al-muna>walah
Muna>walah adalah metode pemerolehan h}adi>th dengan cara, guru menyerahkan bahan h}adi>th tertulis kepada murid untuk diriwayatkan[25]. Metode ini terbagi menjadi dua:
1.      Muna>walah maqru>nah bi al-ija>zah
Muna>walah model ini dianggap sebagai metode muna>walah yang paling tinggi menurut para ahli h}adi>th[26], karena dibarengi dengan ijin dari guru untuk meriwayatkan h}adi>th yang terdapat pada kitabnya. Adapun cara-cara muna>walah model ini sebagai berikut[27]:
·    Guru menyerahkan kumpulan h}adi>th tertulis kepada murid, baik secara keseluruhan ataupun secara parsial dan dikuatkan dengan ijin dari sang guru untuk meriwayatkan h}adi>th.
·    Murid mendatangi guru dengan membawa kitab guru, kemudian guru memeriksanya dalam keadaan sadar, kemudian mengembalikan kitab itu pada murid dan memberikan ijin untuk meriwayatkannya.
·    Guru menyerahkan catatan h}adi>th untuk dibaca murid, kemudian mengambilnya lagi.
·    Murid mendatangi guru dengan membawa sebuah catatan atau kitab h}adi>th, dan meminta ijin untuk meriwayatkannya.
2.      Muna>walah al-mujarradah ‘an al-ija>zah
Yaitu model muna>walah  yang tanpa disertai ijin dari guru untuk meriwayatkan h}adi>th, jadi seorang murid hanya menerima catatan atau kitab h}adi>th dari sang guru, sedangkan guru tidak secara jelas memberikan ijin untuk meriwayatkan h}adi>th yang ada di dalam catatan atau kitab tersebut. Sehingga para ulama’ berselisih pendapat dalam keabsahan model muna>walah seperti ini, sebagian dari mereka menolak dengan alasan tidak adanya ijin dari guru untuk meriwayatkan h}adi>th, sedangkan kelompok yang lain membolehkan dengan alasan bahwa rid}o dari seorang guru untuk memberi catatan atau kitab h}adi>thnya, menandakan ia telah memberikan ijin pada murid untuk meriwayatkan h}adith yang terdapat dalam catatan atau kitab tersebut[28].
e.       al-muka>tabah
Muka>tabah dilakukan dengan cara guru menuliskan h}adi>th untuk diberikan pada murid[29], baik guru menulisnya sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis dengan sharat harus ada catatan pengenal kalau tulisan itu atas rekomendasi guru[30].
f.        al-I’la>m
Yaitu  Seorang guru memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkandaripadanya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meriwayatkan h}adi>th tersebut. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Mereka juga menilai, bahwa kejujuran dan keterpercayaan sang guru tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya. Pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan kerid}aannya untuk menerima dan meriwayatkannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama h}adi>th, seperti Ibn Juraij[31].
g.      al-Was}iyyah
Yaitu seorang guru berwasiat sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitabnya diberikan  kepada seseorang untuk  diriwayatkan . Bentuk ini merupakan bentuk tah}ammul yang amat langka. Salah satu contoh adalah riwayat bahwa Abu> Qila>bah ‘Abdulla>h ibn Zayd al-Jirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya untuk diberikan pada  Ayyu>b as-Sakhtiy>ani (68-131 H), lalu kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub dalam jumah yang sangat banyak[32].
h.      al-Wija>dah
ilmu yang diambil atau didapat dari kitab tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ija>zah ataupun proses muna>walah. Misalnya, seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang bersangkutan melalui kesaksian orang yang bisa dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan, maka ketika dalam kondisi seperti ini boleh bagi orang yang menemukan kitab tersebut untuk meriwayatkan h}adi>th di dalaamnya[33].
B.     Ada>’ al-H}adi>th
1.      Pengertian ada>’ al-h}adith
ada>’ menurut bahasa adalah menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim [34], jadi ada>’ al-h}adi<th adalah proses menyampaikan hadith. Sedang menurut istilah ahli hadith, ada>’ al-h{adi>th adalah periwayatan hadith pada generasi berikutnya[35]. Karena yang diriwayatkan adalah teks suci, yaitu h}adi>th Nabi, maka bagi para pelaku ada>’ ( perawi h}adi>th ) ada sharat-sharat tertentu, yaitu harus islam[36], baligh[37], ‘adil[38] dan d}abt[39].
2.      Macam-macam ada>’ al-h}adi>th
a.       Sami’tu, Sami’na> ( سمعت، سمعنا  )
Metode ini adalah bentuk riwayat yang digunakan untuk metode tah}ammul yang pertama, yaitu al-Sama>’. al-Kha>t}ib al-Bagda>di> (  mengatakan bahwa metode ini adalah metode yang paling tinggi kualitasnya, sebab dalam metode ini ada kepastian bahwa perawi melakukan Sama>’ atau mendengar langsung dari sumber[40].
b.      H}addathany, H}addathana> ( حدثني ، حدثنا  )
Dalam penulisan kata H}addathana>, ulama’ h}adi>th sering menggunakan rumus-rumus yang telah disepakati, terkadang ia ditulis dengan ( ثنا  ) atau dengan ( نا   ) saja. Cara ini, biasanya digunakan untuk menyampaikan h}adi>th diperoleh dari metode tah}ammul bi al-sama>’ dan qira>’ah yang yang dilakukan guru kepada murid atau ‘ard}.
c.       Akhbarany, Akhbarana> ( أخبرني، أخبرنا  )
Terkadang kata akhbarana>disingkat menjadi ( أنا   ) atau ( أرنا ), biasanya metode ini digunakan untuk menyampaikan h}adi>th yang diperoleh dengan cara ‘ard atau qira>’at al-muri>d ‘ala> al-shaykh. Akan tetapi terkadang penggunaan akhbarana>juga terdapat di metode sama>’ , walaupun harus ada tambahan akhbarana> sama>’an[41].
d.      Anba’ani>, Anba’ana> ( أنبأني، أنبأنا )
Metode ini biasanya digunakan untuk meyampaikan h}adi>th yang diperoleh dengan jalan ija>zah dan muna>walah, akan tetapi terkadang muna>walah menggunakan s}ighath}addathana> ija>zatan[42]. Pun demikian ija>zah juga terkadang menggunakan s}ighat al-ada>’ aja>zani>atau aja>zana>[43].
e.       Dengan menggunakan kata ‘An( عن   )
H}adith yang cara periwayatannya menggunakan kata ‘An oleh ahli h}adi>th disebut h}adi>th mu’an’an[44]. Metode ini dinilai sebagai metode yang terendah dalam menyampaikan h}adi>th, sebab ketika rawi meriwayatkan h}adi>th dengan metode ini, tidak menutup kemungkinan ia tidak mempunyai hubungan atau tidak pernah bertemu dengan guru[45].
f.        Na>walani> atau Na>walana>( ناولني، ناولنا  )
Metode ini digunakan untuk menyampaikan h}adi>th yang didapat dengan cara muna>walah, akan tetapi jika cara muna>walahnya disertai kata-kata ija>zah dari guru, sehingga ada>’nya mengunakan kalimat na>walani> fula>n ma’a al-ija>zah, sedangkan jika muna>walahnya tidak disertai ijin dari guru, maka tidak perlu ditambahi kata ija>zatan , ma’a al-ija>zah dan aja>zani>[46].
g.      Ka>tabani> fula>n, Ka>tabana> fula>n ( كاتبني فلان ، كاتبنا فلان  )
Cara ada>’ seperti ini digunakan dalam menyampaikan h}adi<th yang diperoleh dengan cara muka>tabah, atau terkadang digunakan kalimat h}addathani> fula>n kita>batan dalam metode muka>tabah[47]. Contoh :
حدثنا محمد بن يوسف قال حدثنا سفيان عن عبد الملك بن عمير عن وراد كاتب المغيرة بن شعبة قال ( أملى علي المغيرة بن شعبة – في كتاب إلى معاوية – أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول في دبر كل صلاة المكتوبة : لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير. اللهم لا مانع لما أعطيت ولا معطي لما منعت ولا ينفع ذا الجد منك الجد. [48]

h.      A’lamani> shaykhi> bi kazda> ( أعلمني شيخي بكذا  )
Ulama’ berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya meriwayatkan h}adi>th dengan metode ini, akan tetapi jika metode tahmmulnya menggunakan i’la>m ma’a al-ija>zah, maka menurut ahli h}adi>th masih boleh meriwayatkannya[49]. Oleh karena itu, dalam mukatabah disyaratkan adanya ijin guru secara jelas di dalam kitab yang ia tulis untuk muridnya.
i.        Wajadtu ( وجدت  )
Al-suyu>t}i> dalam kitab al-tadri>b , menyebutkan bahwa Ima>m Muslim menulis h}adi>th dengan riwayat wija>dah dalam kitab s}ohi>hnya sebagai berikut :
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة قال : وجدت في كتابي عن أبي أسامة عن  هشام عن أبيه عن عائشة ( إن كان رسول الله ليتفقد يقول أين أنا اليوم ؟ أين أنا غدا [50].
Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat tentang kebolehan riwayat menggunakan Wija>dah.







BAB III
KUALITAS H}ADI>TH BERDASARKAN TAH}AMMUL DAN ADA>’
Cara periwayatan dengan metode sama>’ oleh mayoritas ulama hadits dinilai sebagai cara tertinggi kualitasnya[51], alasan kenapa as-sima’ menjadi nilai tertinggi diantara metode lainnya adalah pertama, masyarakat pada masa itu masih menempatkan cara hafalan sebagai cara yang terbaik dalam menimba ilmu pengetahuan[52]. Alasan kedua adalah hadits Nabi saw yang artinya
 “kalian mendengar (hadits dari saya), kemudian dari kalian hadits itu didengar oleh orang lain, dari orang lain tersebut hadits yang berasal dari kalian itu didengar oleh orang lain lagi”
 Hadits tersebut secara tegas diakui keabsahannya oleh Nabi saw adalah dengan as-sama’[53].Adapun bentuk kata yang  digunakan untuk cara as-sima’ beragam, di antaranya:
سمعت, حدثنا, حدثنى, أخبرنا, قاللنا و ذكرلنا[54]
Sedangkan metode Qira>’ah , ulama’ menempatkannya sama dengan metode sima>’, artinya secara kualitas h}adi>th sama dengan metode yang pertama[55]. Akan tetapi, sebagian ulama’ yang lain mengatakan metode ini lebih tinggi daripada metode sima>’dengan alasan apabila dilihat dari proses pemeriksaan terhadap riwayat hadits yang diriwayatkannya, maka cara al-qiraah lebih berpeluang dapat terhindar dari kesalahan dibandiingkan dengan cara as-sima’atau lebih korektif[56]. Adapun Kata-kata yang dipakai untuk periwayatan cara al-qiraah, ada yang disepakati oleh ulama dan ada yang diperselisihi. Kata-kata yang disepakati adalah: قرأت على فلان kata-kata ini dipakai bila periwayat membaca sendiri dihadapan guru hadits yang menyimaknya. Kedua adalah قرأت على فلان وأن اأسمع فأقربه , kata-kata ini dipakai bila periwayat tidak membaca sendiri, melainkan dia mendengarkan bacaan orang lain, sedang guru hadits menyimaknya[57]. Sedangkan kata yang tidak disepakati pemakaiannya, diantaranya حدثنا dan أخبرنا yang tanpa diikuti kata-kata lain. Beberapa ulama membolehkannya, bahkan mereka membolehkan juga penggunaan سمعت فلانا. Asy-Syafi’i, Muslim dan beberapa ulama lagi hanya membolehkan penggunaan أخبرنا saja dan tidak membolehkan penggunaan kata حدثنا[58].
Adapun bentuk tah}ammul dengan menggunakan ij>azah, ulama’ berbendapat jika disertai ijin meriwayatkan dari guru, setelah guru memeriksa h}adi>th tersebut, maka kualitasnya dipandang sama dengan metode sama>[59], Kata-kata yang dipakai untuk cara ijazah bermacam-macam. Az-Zuhri dan Malik membolehkan penggunaan حدثنا dan أخبرنا  untuk ijazah yang bersamaan dengan al-munawalah. Mayoritas ulama sendiri umumnya memakai kata-kata: حدثنا اجازة atau حدثنا اذنا  atau اجازلى.[60]. Berbeda dengan metode ija>zah, metode muna>walah dan kita>bah dinilai lebih rendah kualitasnya, karena tidak adanya kepastian murid bertemu dengan murid[61].
Periwayatan dengan menggunakan i’la>m masih dalam perselisihan pendapat antar ulama’, jika i’la>m tidak disertai kata-kata yang menunjukkan ijin dari guru untuk meriwayatkannya, maka tidak boleh bagi murid melakukan ada>’ [62], Ibn Juraij[63] ( w 150 H ) berpendapat bahwa, dalam konteks ini boleh melakukan ada>’, sebab ketika guru memeberi i’la>m pada murid, secara tidak langsung guru sudah memberi ijin padanya. Karena menurut Ibn Juraij tidak mungkin guru memberi i’la>m tanpa mengetahui kualitas murid[64].
Periwayatan dengan menggunakan metode muna>walah disharatkan harus ada ijin dari guru, sehingga jika ia mendapatkan ijin, maka boleh baginya untuk meriwayatkan h}adi>th itu dan sebaliknya, jika ia tidak mendapatkan ijin dari guru, maka tidak boleh meriwayatkan h}adi>th[65]. Yang terpenting adalah, semua riwayat yang menggunakan metode sama>’ , qira>’ah, muna>walah, kita>bah dan ija>zah disepakati boleh diiwayatkan secara sah, sedangkan yang lain harus menyertakan ijin dari guru[66].




























PENUTUP

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Tah}ammul dan Ada>’, tidak bisa dianggap remeh, sebab dengan mempelajarinya kita bisa menentukan keabsahan sebuah hadith. Karena perannya yang sangat penting ini, sangatlah pantas jika tahammul dan ada’ dikaji lebih mendalam lagi.
Sebab keberadaan hadith bagi umat islam sangan urgen, yaitu sebagai sumber primer kedua setelah al-qur’an. Sehingga ilmu yang bisa mengetahui bahwa ia benar-benar dari Nabi atau bukan sangat penting untuk dipelajari. Salah satunya adalah ilmu tentang tahmmul dan ada’. 
Dan dari uraian makalah ini pula,bisa diketahui ragam cara tahmmul beserta ada’nya. Dan yang tak kalah penting adalah bagaimana kualitas hadith jika dikaitkan dengan cara tahmmul maupun ada’ tertentu.


























DAFTAR RUJUKAN


  Abu> Shahbah , Muh}ammad ibn Muh}ammad.al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th.  Ummul Quro : ‘Alam al-ma’rifah, tt

Ah}mad ibn ‘Ali> ibn Tsa>biT, Abu> Bakr Muh}ammad. al-kifa>yah fi> ‘ilm al-riwa>yah. Baldat H}aydar : Ida>rat Jam’iyyat al-ma’a>rif, tt

al-bagda>di, al-khat}i>b.al-rih}lah fi> t}alab al-h}adi>th. Damaskus : Ja>mi’at Dimashq, 1975

Gaza>li> Sa’i>d, Ima>m.  Metode Kitab Kuning; melacak, menelusuri sanad dan menilai h}adi>th, Surabaya : Diantama, 2007

al-H}a>kim al-Naisabu>ri, Abu> ‘Abdillah Muh}ammad ibn ‘Abdillah.ma’rifat ‘Ulu>m al-H}adi>th wa Kammiyyat Ajna>sih. Beirut : Da>r Ibn H}azm, 1978

al-Khat}i>b , Muh}ammad ‘Ajja>j.al-Sunnah qabl al-tadwi>n.Beirut : Da>r al-Fikr, 1980

al-Rah}ma>n al-A’z}ami, M. D}iya>’ >. mu’jam mus}t}alah}a>t al-h}adi>th wa lat}a>if al-asa>ni>d. Riyad} : Maktabah ad}wa>’ al-salaf, 1999

Sulayma>n Ayyu>b, Ah}mad.Muhtaha> al-ma>ni> bi fawa>id mus}t}alah al-h}adi>th li al-ba>ni>. al-Faru>q al-h}adi>thiyyah fi> al-t}ab’ah wa al-nashr, 2003

al-T}ahha>n, Mah}mu>d al-T}ahha>n.Us}u>l al-Takhri>j wa Dirasat al-Asa>nid.Terj. Imam Ghazali Sa’id. Surabaya: diantama, 2007

----------------------------------------al-manhaj al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th. Riyad} : Maktabat al-ma’a>rif, 2004




TAH}AMMUL DAN ADA>’ DALAM H}ADI>TH
Diajukan untuk dipresentasikan pada mata kuliah
Studi Hadith


DOSEN:
Prof. DR. H. Burhan Djamaluddin, M.A.

Oleh:
Bahrul Ulum
F06213078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN ) SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013






[1] Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, al-Sunnah qabl al-tadwi>n, ( Beirut : Da>r al-Fikr, 1980 ) hal. 69
[2] Mah}mu>d al-T}ahha>n, Us}u>l al-Takhri>j wa Dirasat al-Asa>nid.Terj. Imam Ghazali Sa’id, (Surabaya: diantama, 2007) xxv
[3]Ibid, xxv
[4] M. D}iya>’ al-Rah}ma>n al-A’z}ami>, mu’jam mus}t}alah}a>t al-h}adi>th wa lat}a>if al-asa>ni>d, ( Riyad} : Maktabah ad}wa>’ al-salaf, 1999 ) hal. 60
[5] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Shuhbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, ( Ummul Quro : ‘Alam al-ma’rifah, tt ) hal. 94
[6]Tamyiz adalah  keadaan dimana seorang anak manusia telah mengerti dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya. Usia anak yang telah mencapai tamyiz kira-kira 6-7 tahun.
[7]d}abit} adalahMenurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang disebut orang dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa-apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalanya itu kapan saja dia menghendakinya
[8] Batas Minimal seseorang bisa dikatan baligh , jika ia laki-laki adalah ketika sudah bermimpi basah, sedangkan jika ia seorang perempuan maka batas usia minimal adalah sembilan tahun.
[9]al-bukhari, al-ja>mi’ al-s}ah}}i>h} fi> ba>b kayfa bad’u al-wah}yi
[10]Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Shuhbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, 96
[11] Sohih bukhori, kaifa kaana badu al-wahyi
[12] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, 97
[13]Mah}mu>d al-T}ah}h}a>n, us}u>l al-takhri>j wa dira>sa>t al-asa>nid, ( Riya>d} : Maktabat al-ma’a>rif, tt ) hal.
[14]Nama lengkap beliau adalah Shaykh Ima>m Abu> Bakr Muh}ammad Ah}mad ibn ‘Ali> ibn Tsa>bit, atau lebih populer dengan sebutan “al-Khat}ib al-bagda>di>”. Beliau adalah seorang penulis yang produktif, di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tarikh Baghdad.
[15] Abu> Bakr Muh}ammad Ah}mad ibn ‘Ali> ibn Tsa>biT, al-kifa>yah fi> ‘ilm al-riwa>yah, ( Baldat H}aydar : Ida>rat Jam’iyyat al-ma’a>rif, tt ) hal. 54
[16] Ima>m Gaza>li> Sa’i>d, Metode Kitab Kuning; melacak, menelusuri sanad dan menilai h}adi>th, ( Surabaya : Diantama, 2007 ) hal. 5
[17] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, hal. 98
[18]Al-h}a>fiz} al-’ira>qi>, Pentakhrij Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-di>n, Guru dari Ibn H}ajar , Nama dan Kuniyahnya Beliau adalah ‘Abd al-rah}i>m ibn al-H}usayn ibn ‘Abd al-rah}ma>n ibn‘Abi> Bakr ibn Ibra>hi>m al-Kurdi> ar-Raziya>ni>, keturunan bangsa ‘Iraq, kelahiran kota Mahran, Mesir dan bermadzahab Syafi’i. Kuniyahnya adalah Abu al-Fadhl, dan digelari Zainuddin
[19] Mah}mu>d al-T}ah}h{a>n, al-manhaj al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th, ( Riyad} : Maktabat al-ma’a>rif, 2004 ) hal. 115
[20]Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah (Jalur Gaza-red).
[21] Mah}mu>d al-T}ah}h{a>n, al-manhaj al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th, 120
[22] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, 103
[23] M. D}iya>’ al-Rah}ma>n al-A’z}ami>, mu’jam mus}t}alah}a>t al-h}adi>th wa lat}a>if al-asa>ni>d, hal. 74
[24] Abu> ‘Abdillah Muh}ammad ibn ‘Abdillah al-H}a>kim al-Naisabu>ri>, ma’rifat ‘Ulu>m al-H}adi>th wa Kammiyyat Ajna>sih, ( Beirut : Da>r Ibn H}azm, 1978 ) Hal. 55
[25] M. D}iya>’ al-Rah}ma>n al-A’z}ami>, mu’jam mus}t}alah}a>t al-h}adi>th wa lat}a>if al-asa>ni>d, 89
[26] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, 109
[27]Ibid, 201
[28]Ibid, 204
[29] Ibid, 206
[30]Ibid, 207
[31]Nas}ir ibn H}amad al-Fahd, manhaj al-mutaqaddimi>n fi> al-tadli>s, ( Riya>d} : Maktabah ad}wa>’ al-sunnah, 2001) hal. 58
[32]Prof. Dr. Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, 120
[33]Ah}mad Sulayma>n Ayyu>b, Muhtaha> al-ma>ni> bi fawa>id mus}t}alah al-h}adi>th li al-ba>ni>,  ( al-Faru>q al-h}adi>thiyyah fi> al-t}ab’ah wa al-nashr, 2003 ), hal. 142
[34]Prof. Dr. Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, 124
[35]Ibid, 125
[36]Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijima’ ulama, baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak Islam bisa diterima? Di samping itu, Allah SWT juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik, melalui firman-Nya:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآَمَنُواإِنْجَاءَكُمْفَاسِقٌبِنَبَإٍفَتَبَيَّنُواأَنْتُصِيبُواقَوْمًابِجَهَالَةٍفَتُصْبِحُواعَلَىمَافَعَلْتُمْنَادِمِينَ:الحجرات:6
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. al-Hujurat: 6)
Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka terhadap berita yang dibawa orang kafir tentu kita harus menolaknya.
[37]Ulama menolak penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya. Karena kadang-kadang ia berdusta disebabkan tidak mengerti dampak dan siksaan perbuatan dusta itu. Di samping itu, tidak ada yang membuatnya takut untuk melakukannya. Sehingga baligh merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal dan pusat taklif yang membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan menghalanginya untuk melakukannya. Kemudian, syara’ juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil dalam masalah keduniaannya, apalagi dalam masalah agama karena menerima periwayatannya berarti mengabulkan atau memberikan kekuasaan padanya terhadap segenap kaum muslimin.
[38]merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar, termasuk ke dalamnya menjauhi sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkara­perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar.

[40]Nas}ir ibn H}amad al-Fahd, manhaj al-mutaqaddimi>n fi> al-tadli>s, hal. 67
[41] Mah}mu>d al-T}ah}h{a>n, al-manhaj al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th, 132
[42]Ibid, 134
[43]Ibid, 136
[44] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, 141
[45]Ibid, 142
[46] Mah}mu>d al-T}ah}h{a>n, al-manhaj al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th, hal. 140
[47]Abu> ‘Abdillah Muh}ammad ibn ‘Abdillah al-H}a>kim al-Naisabu>ri>, ma’rifat ‘Ulu>m al-H}adi>th wa Kammiyyat Ajna>sih, ( Beirut : Da>r Ibn H}azm, 1978 ) Hal. 103
[48]Sohih bukhari, fi> ba>b al-zdikr ‘aqiba al-s}ola>t.
[49] Mah}mu>d al-T}ah}h{a>n, al-manhaj al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th, hal. 145
[50]Ibid, 148
[51] Mah}mu>d al-T}ah}h{a>n, al-manhaj al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th, hal. 145
[52]al-khat}i>b al-bagda>di>, al-rih}lah fi> t}alab al-h}adi>th, ( Damaskus : Ja>mi’at Dimashq, 1975 ) hal. 164
[53]Ibid, 167
[54]Ibid, 168
[55] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, hal. 176
[56]Ibid, 177
[57]Ibid, 179
[58]Nas}ir ibn H}amad al-Fahd, manhaj al-mutaqaddimi>n fi> al-tadli>s, hal. 74
[59]Ibid, 78
[60]Ibid, 78
[61] M. D}iya>’ al-Rah}ma>n al-A’z}ami>, mu’jam mus}t}alah}a>t al-h}adi>th wa lat}a>if al-asa>ni>d, 43
[62] ibid, 44
[63]Ibn Juraij memilik nama asli  Abd Ma>lik Ibn 'Abdul 'Azi>z Ibn Juraij, beliau termasuk ahli h}adi>th pada masa tabi’in. Ibn H}ibba>n berkata bahwa Ibn Juraij adalah seorang yang thiqqah, begitu juga dengan Ibn H}ajar memandang Ibn Juraij sebagai rawi yang thiqqah.
[64] M. D}iya>’ al-Rah}ma>n al-A’z}ami>, mu’jam mus}t}alah}a>t al-h}adi>th wa lat}a>if al-asa>ni>d, 46
[65]Ibid, 49
[66]Prof. Dr. Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, hal. 183

0 komentar :

Posting Komentar