BAB
I
PENGANTAR
H}adi>th merupakan sumber ajaran
Islam yang kedua setelah al-Qur’an, disamping itu ia memiliki perang penting
dalam memahami al-Qur’an. Salah satu peran penting h}adi>th bagi al-Qur’an
adalah sebagai penafsir atau penjelas bagi ayat-ayat yang masih bersifat umum,
sehingga dengan adanya h}adi>th dapat memudahkan umat Islam untuk memahami
al-Qur’an. Oleh karena itu usaha untuk melestarikan dan menjaga h}adi<th
menjadi sangat wajar dikalangan umat Islam.
Mengingat sumber h{adi<th itu
adalah nabi Muhammad SAW, maka proses pemeliharaan dan penjagaan h{adi<th
juga digalakkan oleh Nabi sendiri[1].
Hal ini bisa dilhat dari ijtihad Nabi dalam mengajarkan h{adi<th pada para
sahabat. Dalam mengjarkan h{adi<th, nabi menggunakan tiga metode, yaitu :
1.
Metode Lisan
Sebagai seorang guru umat, tentu
Nabi berupaya keras agar ajarannya bisa cepat dipahami dan bisa terjaga
keberlangsungannya. Oleh sebab itu Nabi selalu mengulang-ulang h{adi<th
sebanyak tiga kali dalam mengajar para sahabat, sehingga mereka bisa cepat
hafal dan paham dengan apa yang Nabi sampaikan. Disamping itu, Nabi juga
berpesan pada sahabat untuk menyampaikan apa yang mereka dapat dari Nabi kepada
para sahabat yang tidak hadir[2],
sehingga keberlangsungan ajarannya bisa tetap terjaga.
2.
Metode Tulisan
Gerak diplomasi Nabi dalam mengirim
delegasi khusus untuk menyampaikan surat kepada raja, gubenur dan petinggi
kerajaan pada waktu itu, merupakan strategi beliau untuk menyampaikan
h{adi<th. Hal itu didukung oleh adanya kutta<b al-Nabi yang
jumlahnya 42 orang[3].
Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa kegiatan penyebaran h{adi<th pada
masa Nabi dilakukan secara terencana dan terarah.
3.
Metode Praktis
Sepanjang kehidupan Nabi, terhitung
sejak beliau menerima wahyu, segala perilaku, ucapan dan persetujuan Nabi
adalah h{adi>th. Dalam setiap segi kehidupan, Nabi memberi contoh peragaan
ibadah tertentu sebagai metode penyampaian h{adi>thnya, sebagai contoh, Nabi
mempraktikkan cara salat dan dikuti oleh seluruh sahabat sampai pada masa kita
saat ini.
Pengajaran dan penyampaian
h{adi>th berkembang sesuai dengan perkembangan waktu dan kondisi. Sehingga
yang pada mulanya metode pengajaran h{adi>th hanya tiga metode, kini
berkembang menjadi beberapa metode yang disepakati oleh para ahli h{adi>th.
Yang semuanya itu akan dijelaskan pada bab berikutnya. Selamat membaca.
BAB II
TAH{AMMUL DAN A>DA>’
A.
Tah{ammul al-H}adi>th
1.
Pengertian Tah}ammul al-H}adi>th
Secara leksikal kata tah}ammul merupakan bentuk mas{dar
dari kata kerja tah{ammala – yatah{ammalu yang mempunyai arti menanggung dan memabawa
dan menerima [4],
sehingga tah{ammul al-h{adi>th adalah proses penerimaan hadith atau
menanggung hadith. Sedangkan menurut istilah ahli hadith, tahammul al-h{adi>th adalah proses pemindahan hadith dari seorang
guru ke murid[5].
Menurut
Dr. Muh}ammad Abu Shuhbah, tah{ammul hanya
bisa dilakukan oleh orang yang sudah tamyi>z[6] dan d{abit[7]} Akan
tetapitidak menutup kemungkinan kategoritamyi>z
disandangkan pada anak kecil yang belum mencapai usia minimal ba>ligh[8]untuk
melakukan tah{ammul, hal itu berdasarkan hadith
yang diriwayatkan oleh Mah}mu>d bin al-rabi>’
علقت
من النبي صلى الله عليه وسلم حجة حجها في وجهي من دلو, وأنا ابن خمس سنين[9]
Akan
tetapi, walaupun sudah bisa melakukan tah}ammul, mereka
belum bisa menyampaikan hadith sampai mereka benar-benar sudah dewasa[10].
Begitu pula tidak ada larangan bagi orang kafir untuk melakukan tah}ammul
h}adi>th, akan tetapi mereka belum boleh menyampaikan h{adi>th, seperti
ketika Abu> Sufya>n ibn H}arb menyampaikan surat Nabi yang berisi ajakan
masuk Islam kepada raja Hercules, sedangkan ia pada waktu itu masih dalam
kekafiran[11].
2. Cara Tah}ammul
al-H}adi>th
Ada
banyak cara dalam mendapatkan h}adi>th atau tah}ammul al-H}adi>th, akan
tetapi menurut kebanyakan para ahli h}adi>th, termasuk Ibn al-S}ala>h}
menyatakan bahwa cara mendapatkan h}adi>th Nabi ada delapan, yaitu :
a. al-Sama>’
Metode sama>’ adalah
proses pemerolehan h}adi>th Nabi dengan cara mendengarkan bacaan dari
seorang guru, dalam metode ini guru boleh menyampaikan h}adi>th langsung
dari hafalannya ataupun dia membacakan h}adi>th dari kitabnya. Begitu juga
seorang murid dalam melakukan sama>’, boleh
melakukannya dibalik tirai atau hijab[12].
Hal ini dipraktikkan oleh para sahabat Nabi ketika mendengarkan h}adi>th
dari ummaha>t al-mu’mini>n.
Metode sama>’
ditengarai sebagai metode terbaik dalam mendapatkan h}adi>th, baik menurut ‘ulama>’
salaf maupun ‘ulama’ khalaf. Akan
tetapi ulama’ berselisih dalam hal kapan metode sama>’ bisa dilakukan,
sebagian dari mereka mengatakan bahwa batas minimal seseorang bisa melakukan
metode sama>’ adalah ketika berusia lima tahun dan sebagian lagi berpendpat
bahwa sama>’ hanya bisa dilakukan ketika seseorang sudah mumayyiz[13]. Akan
tetapi Kha>tib al-Bagda>di>[14]
( w 463 H ) berpendapat bahwa pemerolehan h}adi>th setelah masa sahabat,
hanya bisa dilakukan setelah berumur diatas lima belas tahun, karena pada usia
diatas itu lah seseoang bisa efektif melakukan perjalanan keilmuan[15],
hal itu juga didukung oleh kebiasaan pada masa itu, dimana anak-anak usia
dibawah lima belas tahun masih sibuk dalam menghafal dan memahami al-Qur’an.
b. al-Qira>’ah ‘ala> al-shaykh / al-‘arad}
Metode ‘arad}
dilakukan dengan cara murid membacakan h}adith pada guru, sedangkan guru
menyimak dan mengoreksi h}adi>th yang dibaca murid, baik sanadmaupun matannya[16].
Dalam metode ini, murid juga bisa menyuruh orang lain yang membacakan
h}adi>th, sedangkan dia hanya mendengarkannya[17].
Ulama’
berbeda pendapat dalam masalah h}adi>th yang dibaca, apakah murid harus
membacakan h}adi>th kepada guru melalui hafalan atau tidak.
Al-‘Ira>qi>[18]
( 806 H ) berpendapat bahwa boleh saja murid membacakan h}adi>th kepada guru
melalui hafalannya atau melihat catatan, pun demikian juga boleh bagi guru
untuk mendengarkan bacaan murid dengan tanpa melihat catatan atau melihat
catatan[19].
Berbeda dengan al-‘Ira>qi>, al-h}a>fidh ibn H}ajar[20]
berpendapat bahwa dalam metode ‘arad} seyogyanya melalui jalan hafalan, hal itu
untuk menunjukkan kemampuan dan pemahaman murid terhadap h}adi>th[21].
c. Ija>zah
Menurut
Ah}mad ibn Fa>ris, ija>zah secara
bahasa bermakna air yang diminumkan pada hewan ternak dan tanam-tanaman[22],
hal itu berdasakan penggunaan kata ija>zah di
masyarakat Arab sebagai berikut :
استجزته
فأجازني ، إذا سقاك ماء لماشيتك و أرضك
Jadi, ija>zahdalamkonteksilmuadalah :
طالب العلم يستجيز العالم علمه فيجيزه إياه أي يمنحه ويعطيه إياه
Sedangkan
menurut definisi ulama’ h}adi>th, ija>zah adalah
ijin seorang guru pada murid untuk meriwayatkan h}adi>th dengan tanpa
mendengarkan h}adi>th darinya atau membacakan h}adith di depan murid[23].
Adapun macam-macam ija>zah sebagai
berikut:
1. Ija>zah seorang guru pada murid
tertentu dan kitab tertentu
Pada ija>zah
model
ini, guru sudah menentukan murid yang ia tunjuk untuk mendapatkan ijin beserta
kitab yang dituju, misalnya dalam s}ighat di bawah
ini:
أجزتك – أجزتكم كتاب كذا
dalam
model ija>zah seperti ini mu>ji>z, mu>ja>z
lah dan mu>ja>z
bih sudah jelas
dan tidak diperdebatkan.
2.
Ija>zah seorang
guru pada seorang murid tertentu, tanpa menentukan kitab atau h}adi>th yang
dimaksud, seperti perkataan seorang guru pada murid :
أجزتكجميع كتبي أو
مسموعاتي أو مروياتي
3. Ija>zah yang tidak jelas tujuannya
Ija>zah model
seperti ini diperdebatkan oleh ulama’ h}adi>th, Ibn S}ala>h{ ( tahun )
berpendapat bahwa tah}ammul dengan
cara seperti ini tidak boleh, sebab bisa melemahkan sanad h}adi>th, sebab
bisa saja orang yang menerima h}adi>th tidak pernah liqa>’
dengan
sang guru, padahal dalam hal sanad para ulama’ sangat ketat, sehingga tidak
logis jika mengetatkan aturan sanad di satu sisi, dan melonggarkan aturan pemerolehan h}adi>th
itu sendiri di sisi yang lain[24].
d. Al-muna>walah
Muna>walah adalah
metode pemerolehan h}adi>th dengan cara, guru menyerahkan bahan h}adi>th
tertulis kepada murid untuk diriwayatkan[25].
Metode ini terbagi menjadi dua:
1. Muna>walah maqru>nah bi al-ija>zah
Muna>walah model
ini dianggap sebagai metode muna>walah yang
paling tinggi menurut para ahli h}adi>th[26],
karena dibarengi dengan ijin dari guru untuk meriwayatkan h}adi>th yang
terdapat pada kitabnya. Adapun cara-cara muna>walah model ini
sebagai berikut[27]:
·
Guru menyerahkan kumpulan
h}adi>th tertulis kepada murid, baik secara keseluruhan ataupun secara
parsial dan dikuatkan dengan ijin dari sang guru untuk meriwayatkan h}adi>th.
·
Murid mendatangi guru dengan
membawa kitab guru, kemudian guru memeriksanya dalam keadaan sadar, kemudian
mengembalikan kitab itu pada murid dan memberikan ijin untuk meriwayatkannya.
·
Guru menyerahkan catatan
h}adi>th untuk dibaca murid, kemudian mengambilnya lagi.
·
Murid mendatangi guru dengan
membawa sebuah catatan atau kitab h}adi>th, dan meminta ijin untuk
meriwayatkannya.
2. Muna>walah al-mujarradah ‘an al-ija>zah
Yaitu
model muna>walah yang tanpa disertai ijin dari guru untuk
meriwayatkan h}adi>th, jadi seorang murid hanya menerima catatan atau kitab
h}adi>th dari sang guru, sedangkan guru tidak secara jelas memberikan ijin
untuk meriwayatkan h}adi>th yang ada di dalam catatan atau kitab tersebut.
Sehingga para ulama’ berselisih pendapat dalam keabsahan model muna>walah
seperti
ini, sebagian dari mereka menolak dengan alasan tidak adanya ijin dari guru
untuk meriwayatkan h}adi>th, sedangkan kelompok yang lain membolehkan dengan
alasan bahwa rid}o dari seorang guru untuk memberi catatan atau kitab
h}adi>thnya, menandakan ia telah memberikan ijin pada murid untuk
meriwayatkan h}adith yang terdapat dalam catatan atau kitab tersebut[28].
e. al-muka>tabah
Muka>tabah dilakukan
dengan cara guru menuliskan h}adi>th untuk diberikan pada murid[29],
baik guru menulisnya sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis dengan
sharat harus ada catatan pengenal kalau tulisan itu atas rekomendasi guru[30].
f.
al-I’la>m
Yaitu Seorang guru memberitahu seorang muridnya
bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak
disertakan ijin untuk meriwayatkandaripadanya. Meski dengan pemberitahuan
seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meriwayatkan h}adi>th
tersebut. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung
pengertian pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan
darinya. Mereka juga menilai, bahwa kejujuran dan keterpercayaan sang guru
tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya.
Pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan kerid}aannya untuk menerima dan
meriwayatkannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama
h}adi>th, seperti Ibn Juraij[31].
g. al-Was}iyyah
Yaitu
seorang guru berwasiat sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar
kitabnya diberikan kepada seseorang
untuk diriwayatkan . Bentuk ini merupakan
bentuk tah}ammul yang amat langka. Salah satu
contoh adalah riwayat bahwa Abu> Qila>bah ‘Abdulla>h ibn Zayd
al-Jirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya untuk diberikan pada Ayyu>b as-Sakhtiy>ani (68-131 H), lalu
kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub dalam jumah yang sangat banyak[32].
h. al-Wija>dah
ilmu yang
diambil atau didapat dari kitab tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ija>zah ataupun
proses muna>walah. Misalnya, seseorang
menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik
tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang
yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya
kepada yang bersangkutan melalui kesaksian orang yang bisa dipercaya atau
kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun
melalui sarana lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya kepada yang
bersangkutan, maka ketika dalam kondisi seperti ini boleh bagi orang yang
menemukan kitab tersebut untuk meriwayatkan h}adi>th di dalaamnya[33].
B. Ada>’ al-H}adi>th
1. Pengertian
ada>’ al-h}adith
ada>’ menurut
bahasa adalah menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim [34],
jadi ada>’ al-h}adi<th adalah
proses menyampaikan hadith. Sedang menurut istilah ahli hadith, ada>’
al-h{adi>th adalah periwayatan hadith pada generasi berikutnya[35].
Karena yang diriwayatkan adalah teks suci, yaitu h}adi>th Nabi, maka bagi
para pelaku ada>’ ( perawi
h}adi>th ) ada sharat-sharat tertentu, yaitu harus islam[36],
baligh[37],
‘adil[38]
dan d}abt[39].
2. Macam-macam
ada>’ al-h}adi>th
a. Sami’tu, Sami’na> ( سمعت، سمعنا )
Metode ini adalah bentuk riwayat yang digunakan
untuk metode tah}ammul yang
pertama, yaitu al-Sama>’. al-Kha>t}ib
al-Bagda>di> ( mengatakan bahwa
metode ini adalah metode yang paling tinggi kualitasnya, sebab dalam metode ini
ada kepastian bahwa perawi melakukan Sama>’ atau
mendengar langsung dari sumber[40].
b. H}addathany, H}addathana> ( حدثني ، حدثنا )
Dalam penulisan kata H}addathana>, ulama’
h}adi>th sering menggunakan rumus-rumus yang telah disepakati, terkadang ia
ditulis dengan ( ثنا
) atau dengan ( نا ) saja. Cara ini,
biasanya digunakan untuk menyampaikan h}adi>th diperoleh dari metode tah}ammul
bi al-sama>’ dan qira>’ah yang yang
dilakukan guru kepada murid atau ‘ard}.
c. Akhbarany,
Akhbarana> ( أخبرني،
أخبرنا )
Terkadang kata akhbarana>disingkat
menjadi ( أنا
) atau ( أرنا ), biasanya metode ini digunakan untuk menyampaikan h}adi>th
yang diperoleh dengan cara ‘ard atau qira>’at
al-muri>d ‘ala> al-shaykh. Akan tetapi terkadang
penggunaan akhbarana>juga terdapat di metode sama>’
,
walaupun harus ada tambahan akhbarana> sama>’an[41].
d. Anba’ani>,
Anba’ana> ( أنبأني،
أنبأنا )
Metode ini biasanya digunakan untuk meyampaikan
h}adi>th yang diperoleh dengan jalan ija>zah dan muna>walah, akan
tetapi terkadang muna>walah menggunakan
s}ighath}addathana> ija>zatan[42]. Pun
demikian ija>zah juga terkadang menggunakan s}ighat
al-ada>’ aja>zani>atau aja>zana>[43].
e. Dengan
menggunakan kata ‘An( عن )
H}adith yang cara periwayatannya menggunakan kata ‘An oleh
ahli h}adi>th disebut h}adi>th mu’an’an[44].
Metode
ini dinilai sebagai metode yang terendah dalam menyampaikan h}adi>th, sebab
ketika rawi meriwayatkan h}adi>th dengan metode ini, tidak menutup
kemungkinan ia tidak mempunyai hubungan atau tidak pernah bertemu dengan guru[45].
f.
Na>walani> atau
Na>walana>( ناولني، ناولنا )
Metode ini digunakan untuk menyampaikan h}adi>th
yang didapat dengan cara muna>walah, akan
tetapi jika cara muna>walahnya disertai
kata-kata ija>zah dari guru, sehingga ada>’nya
mengunakan kalimat na>walani> fula>n ma’a
al-ija>zah, sedangkan jika muna>walahnya tidak
disertai ijin dari guru, maka tidak perlu ditambahi kata ija>zatan
, ma’a
al-ija>zah dan aja>zani>[46].
g. Ka>tabani>
fula>n, Ka>tabana> fula>n ( كاتبني فلان ، كاتبنا فلان )
Cara ada>’ seperti
ini digunakan dalam menyampaikan h}adi<th yang diperoleh dengan cara muka>tabah, atau terkadang
digunakan kalimat h}addathani> fula>n
kita>batan dalam metode muka>tabah[47]. Contoh
:
حدثنا محمد بن يوسف قال حدثنا سفيان عن عبد الملك بن عمير
عن وراد كاتب المغيرة بن شعبة قال ( أملى علي المغيرة بن شعبة – في كتاب إلى معاوية
– أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول في دبر كل صلاة المكتوبة : لا إله إلا الله
وحده لا شريك له ، له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير. اللهم لا مانع لما أعطيت
ولا معطي لما منعت ولا ينفع ذا الجد منك الجد. [48]
h. A’lamani> shaykhi> bi kazda> ( أعلمني شيخي بكذا )
Ulama’ berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya
meriwayatkan h}adi>th dengan metode ini, akan tetapi jika metode tahmmulnya
menggunakan i’la>m ma’a al-ija>zah, maka
menurut ahli h}adi>th masih boleh meriwayatkannya[49].
Oleh karena itu, dalam mukatabah disyaratkan
adanya ijin guru secara jelas di dalam kitab yang ia tulis untuk muridnya.
i.
Wajadtu ( وجدت )
Al-suyu>t}i> dalam kitab al-tadri>b
,
menyebutkan bahwa Ima>m Muslim menulis h}adi>th dengan riwayat wija>dah
dalam
kitab s}ohi>hnya sebagai berikut :
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة قال : وجدت في كتابي عن أبي
أسامة عن هشام عن أبيه عن عائشة ( إن كان رسول
الله ليتفقد يقول أين أنا اليوم ؟ أين أنا غدا [50].
Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat tentang
kebolehan riwayat menggunakan Wija>dah.
BAB III
KUALITAS H}ADI>TH BERDASARKAN TAH}AMMUL
DAN ADA>’
Cara periwayatan dengan metode sama>’
oleh
mayoritas ulama hadits dinilai sebagai cara tertinggi kualitasnya[51],
alasan kenapa as-sima’ menjadi nilai tertinggi diantara metode lainnya adalah
pertama, masyarakat pada masa itu masih menempatkan cara hafalan sebagai cara
yang terbaik dalam menimba ilmu pengetahuan[52].
Alasan kedua adalah hadits Nabi saw yang artinya
“kalian mendengar (hadits dari saya), kemudian
dari kalian hadits itu didengar oleh orang lain, dari orang lain tersebut
hadits yang berasal dari kalian itu didengar oleh orang lain lagi”
Hadits
tersebut secara tegas diakui keabsahannya oleh Nabi saw adalah dengan as-sama’[53].Adapun
bentuk kata yang digunakan untuk cara as-sima’
beragam, di antaranya:
سمعت, حدثنا, حدثنى,
أخبرنا, قاللنا و ذكرلنا[54]
Sedangkan metode Qira>’ah , ulama’
menempatkannya sama dengan metode sima>’, artinya
secara kualitas h}adi>th sama dengan metode yang pertama[55].
Akan tetapi, sebagian ulama’ yang lain mengatakan metode ini lebih tinggi
daripada metode sima>’dengan
alasan apabila dilihat dari proses pemeriksaan terhadap riwayat hadits yang
diriwayatkannya, maka cara al-qiraah lebih berpeluang dapat terhindar dari
kesalahan dibandiingkan dengan cara as-sima’atau lebih korektif[56].
Adapun Kata-kata yang dipakai untuk periwayatan cara al-qiraah, ada yang
disepakati oleh ulama dan ada yang diperselisihi. Kata-kata yang disepakati adalah:
قرأت
على فلان
kata-kata ini dipakai bila periwayat membaca sendiri dihadapan guru hadits yang
menyimaknya. Kedua adalah قرأت
على فلان وأن اأسمع فأقربه , kata-kata ini dipakai bila periwayat tidak membaca sendiri,
melainkan dia mendengarkan bacaan orang lain, sedang guru hadits menyimaknya[57].
Sedangkan kata yang tidak disepakati pemakaiannya, diantaranya حدثنا dan أخبرنا yang tanpa diikuti kata-kata lain. Beberapa ulama
membolehkannya, bahkan mereka membolehkan juga penggunaan سمعت فلانا. Asy-Syafi’i, Muslim dan beberapa ulama lagi hanya membolehkan
penggunaan أخبرنا saja dan tidak membolehkan penggunaan kata حدثنا[58].
Adapun bentuk tah}ammul dengan
menggunakan ij>azah, ulama’
berbendapat jika disertai ijin meriwayatkan dari guru, setelah guru memeriksa
h}adi>th tersebut, maka kualitasnya dipandang sama dengan metode sama>’[59],
Kata-kata yang dipakai untuk cara ijazah bermacam-macam. Az-Zuhri dan Malik
membolehkan penggunaan حدثنا dan أخبرنا untuk ijazah yang
bersamaan dengan al-munawalah. Mayoritas ulama sendiri umumnya memakai
kata-kata: حدثنا
اجازة atau حدثنا اذنا atau اجازلى.[60]. Berbeda
dengan metode ija>zah, metode
muna>walah dan kita>bah dinilai lebih rendah kualitasnya, karena tidak
adanya kepastian murid bertemu dengan murid[61].
Periwayatan dengan menggunakan i’la>m
masih
dalam perselisihan pendapat antar ulama’, jika i’la>m tidak
disertai kata-kata yang menunjukkan ijin dari guru untuk meriwayatkannya, maka
tidak boleh bagi murid melakukan ada>’ [62], Ibn Juraij[63]
( w 150 H ) berpendapat bahwa, dalam konteks ini boleh melakukan ada>’,
sebab
ketika guru memeberi i’la>m pada
murid, secara tidak langsung guru sudah memberi ijin padanya. Karena menurut
Ibn Juraij tidak mungkin guru memberi i’la>m tanpa
mengetahui kualitas murid[64].
Periwayatan dengan menggunakan metode muna>walah
disharatkan
harus ada ijin dari guru, sehingga jika ia mendapatkan ijin, maka boleh baginya
untuk meriwayatkan h}adi>th itu dan sebaliknya, jika ia tidak mendapatkan
ijin dari guru, maka tidak boleh meriwayatkan h}adi>th[65].
Yang terpenting adalah, semua riwayat yang menggunakan metode sama>’ , qira>’ah,
muna>walah, kita>bah dan ija>zah disepakati boleh diiwayatkan
secara sah, sedangkan yang lain harus menyertakan ijin dari guru[66].
PENUTUP
Dari uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa Tah}ammul dan Ada>’, tidak bisa dianggap
remeh, sebab dengan mempelajarinya kita bisa menentukan keabsahan sebuah
hadith. Karena perannya yang sangat penting ini, sangatlah pantas jika tahammul
dan ada’ dikaji lebih mendalam lagi.
Sebab keberadaan hadith bagi umat
islam sangan urgen, yaitu sebagai sumber primer kedua setelah al-qur’an.
Sehingga ilmu yang bisa mengetahui bahwa ia benar-benar dari Nabi atau bukan
sangat penting untuk dipelajari. Salah satunya adalah ilmu tentang tahmmul dan
ada’.
Dan dari uraian makalah ini pula,bisa
diketahui ragam cara tahmmul beserta ada’nya. Dan yang tak kalah penting adalah
bagaimana kualitas hadith jika dikaitkan dengan cara tahmmul maupun ada’
tertentu.
DAFTAR
RUJUKAN
Abu> Shahbah , Muh}ammad ibn Muh}ammad.al-wasi>t}
fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th. Ummul Quro : ‘Alam al-ma’rifah, tt
Ah}mad
ibn ‘Ali> ibn Tsa>biT, Abu> Bakr Muh}ammad. al-kifa>yah fi>
‘ilm al-riwa>yah. Baldat H}aydar : Ida>rat Jam’iyyat al-ma’a>rif,
tt
al-bagda>di,
al-khat}i>b.al-rih}lah fi> t}alab al-h}adi>th. Damaskus :
Ja>mi’at Dimashq, 1975
Gaza>li>
Sa’i>d, Ima>m. Metode Kitab
Kuning; melacak, menelusuri sanad dan menilai h}adi>th, Surabaya :
Diantama, 2007
al-H}a>kim
al-Naisabu>ri, Abu> ‘Abdillah Muh}ammad ibn ‘Abdillah.ma’rifat
‘Ulu>m al-H}adi>th wa Kammiyyat Ajna>sih. Beirut : Da>r Ibn
H}azm, 1978
al-Khat}i>b
, Muh}ammad ‘Ajja>j.al-Sunnah qabl al-tadwi>n.Beirut : Da>r
al-Fikr, 1980
al-Rah}ma>n
al-A’z}ami, M. D}iya>’ >. mu’jam mus}t}alah}a>t al-h}adi>th wa
lat}a>if al-asa>ni>d. Riyad} : Maktabah ad}wa>’ al-salaf, 1999
Sulayma>n
Ayyu>b, Ah}mad.Muhtaha> al-ma>ni> bi fawa>id mus}t}alah
al-h}adi>th li al-ba>ni>. al-Faru>q al-h}adi>thiyyah fi>
al-t}ab’ah wa al-nashr, 2003
al-T}ahha>n,
Mah}mu>d al-T}ahha>n.Us}u>l al-Takhri>j wa Dirasat al-Asa>nid.Terj.
Imam Ghazali Sa’id. Surabaya: diantama, 2007
----------------------------------------al-manhaj
al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th. Riyad} : Maktabat
al-ma’a>rif, 2004
TAH}AMMUL
DAN ADA>’ DALAM H}ADI>TH
Diajukan untuk dipresentasikan
pada mata kuliah
Studi Hadith
DOSEN:
Prof. DR. H. Burhan Djamaluddin, M.A.
Oleh:
Bahrul
Ulum
F06213078
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ( UIN ) SUNAN AMPEL
2013
[1] Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, al-Sunnah
qabl al-tadwi>n, ( Beirut : Da>r al-Fikr, 1980 ) hal. 69
[2] Mah}mu>d al-T}ahha>n, Us}u>l
al-Takhri>j wa Dirasat al-Asa>nid.Terj. Imam Ghazali Sa’id, (Surabaya:
diantama, 2007) xxv
[3]Ibid, xxv
[4] M. D}iya>’ al-Rah}ma>n
al-A’z}ami>, mu’jam mus}t}alah}a>t al-h}adi>th wa lat}a>if
al-asa>ni>d, ( Riyad} : Maktabah ad}wa>’ al-salaf, 1999 ) hal. 60
[5] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu>
Shuhbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, ( Ummul
Quro : ‘Alam al-ma’rifah, tt ) hal. 94
[6]Tamyiz adalah keadaan dimana seorang anak manusia telah
mengerti dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya.
Usia anak yang telah mencapai tamyiz kira-kira 6-7 tahun.
[7]d}abit} adalahMenurut Ibnu Hajar
al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang disebut orang dhabit adalah orang yang kuat
hafalannya tentang apa-apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalanya
itu kapan saja dia menghendakinya
[8] Batas Minimal seseorang bisa
dikatan baligh , jika ia laki-laki adalah ketika sudah bermimpi basah,
sedangkan jika ia seorang perempuan maka batas usia minimal adalah sembilan
tahun.
[9]al-bukhari, al-ja>mi’
al-s}ah}}i>h} fi> ba>b kayfa bad’u al-wah}yi
[10]Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu>
Shuhbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, 96
[11]
Sohih bukhori, kaifa kaana badu al-wahyi
[12] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu>
Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, 97
[13]Mah}mu>d al-T}ah}h}a>n, us}u>l
al-takhri>j wa dira>sa>t al-asa>nid, ( Riya>d} : Maktabat
al-ma’a>rif, tt ) hal.
[14]Nama lengkap beliau adalah Shaykh
Ima>m Abu> Bakr Muh}ammad Ah}mad ibn ‘Ali> ibn Tsa>bit, atau lebih
populer dengan sebutan “al-Khat}ib al-bagda>di>”. Beliau adalah seorang
penulis yang produktif, di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tarikh
Baghdad.
[15] Abu> Bakr Muh}ammad Ah}mad
ibn ‘Ali> ibn Tsa>biT, al-kifa>yah fi> ‘ilm al-riwa>yah,
( Baldat H}aydar : Ida>rat Jam’iyyat al-ma’a>rif, tt ) hal. 54
[16] Ima>m Gaza>li>
Sa’i>d, Metode Kitab Kuning; melacak, menelusuri sanad dan menilai
h}adi>th, ( Surabaya : Diantama, 2007 ) hal. 5
[17] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu>
Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, hal. 98
[18]Al-h}a>fiz} al-’ira>qi>,
Pentakhrij Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-di>n, Guru dari Ibn H}ajar , Nama dan
Kuniyahnya Beliau adalah ‘Abd al-rah}i>m ibn al-H}usayn ibn ‘Abd al-rah}ma>n
ibn‘Abi> Bakr ibn Ibra>hi>m al-Kurdi> ar-Raziya>ni>,
keturunan bangsa ‘Iraq, kelahiran kota Mahran, Mesir dan bermadzahab Syafi’i.
Kuniyahnya adalah Abu al-Fadhl, dan digelari Zainuddin
[19] Mah}mu>d al-T}ah}h{a>n, al-manhaj
al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th, ( Riyad} : Maktabat
al-ma’a>rif, 2004 ) hal. 115
[20]Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin
Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al
‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan
gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada
‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah (Jalur
Gaza-red).
[21] Mah}mu>d al-T}ah}h{a>n, al-manhaj
al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th, 120
[22] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu>
Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, 103
[23] M. D}iya>’ al-Rah}ma>n
al-A’z}ami>, mu’jam mus}t}alah}a>t al-h}adi>th wa lat}a>if
al-asa>ni>d, hal. 74
[24] Abu> ‘Abdillah Muh}ammad ibn
‘Abdillah al-H}a>kim al-Naisabu>ri>, ma’rifat ‘Ulu>m
al-H}adi>th wa Kammiyyat Ajna>sih, ( Beirut : Da>r Ibn H}azm, 1978
) Hal. 55
[25] M. D}iya>’ al-Rah}ma>n
al-A’z}ami>, mu’jam mus}t}alah}a>t al-h}adi>th wa lat}a>if
al-asa>ni>d, 89
[26] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu>
Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, 109
[27]Ibid, 201
[28]Ibid,
204
[29]
Ibid, 206
[30]Ibid,
207
[31]Nas}ir ibn H}amad al-Fahd, manhaj
al-mutaqaddimi>n fi> al-tadli>s, ( Riya>d} : Maktabah
ad}wa>’ al-sunnah, 2001) hal. 58
[32]Prof. Dr. Muh}ammad ibn
Muh}ammad Abu> Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah}
al-h}adi>th, 120
[33]Ah}mad Sulayma>n Ayyu>b, Muhtaha>
al-ma>ni> bi fawa>id mus}t}alah al-h}adi>th li
al-ba>ni>, ( al-Faru>q
al-h}adi>thiyyah fi> al-t}ab’ah wa al-nashr, 2003 ), hal. 142
[34]Prof. Dr. Muh}ammad ibn
Muh}ammad Abu> Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah}
al-h}adi>th, 124
[35]Ibid,
125
[36]Sehingga tidaklah diterima
riwayat orang kafir, berdasarkan ijima’ ulama, baik diketahui agamanya tidak
memperbolehkan dusta ataupun tidak dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima.
Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin.
Bagaimana mungkin riwayat perusak Islam bisa diterima? Di samping itu, Allah
SWT juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik,
melalui firman-Nya:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآَمَنُواإِنْجَاءَكُمْفَاسِقٌبِنَبَإٍفَتَبَيَّنُواأَنْتُصِيبُواقَوْمًابِجَهَالَةٍفَتُصْبِحُواعَلَىمَافَعَلْتُمْنَادِمِينَ:الحجرات:6
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. al-Hujurat: 6)
Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja
seperti itu, maka terhadap berita yang dibawa orang kafir tentu kita harus
menolaknya.
[37]Ulama menolak penerimaan riwayat
dari anak di bawah usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya. Karena
kadang-kadang ia berdusta disebabkan tidak mengerti dampak dan siksaan
perbuatan dusta itu. Di samping itu, tidak ada yang membuatnya takut untuk
melakukannya. Sehingga baligh merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal
dan pusat taklif yang membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan
menghalanginya untuk melakukannya. Kemudian, syara’ juga tidak memberikan
kekuasaan bagi anak kecil dalam masalah keduniaannya, apalagi dalam masalah
agama karena menerima periwayatannya berarti mengabulkan atau memberikan
kekuasaan padanya terhadap segenap kaum muslimin.
[38]merupakan sifat yang tertancap
dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara
harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa
besar, termasuk ke dalamnya menjauhi sebagian dosa kecil, seperti mengurangi
timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkaraperkara mubah
yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di
jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam
berkelakar.
[40]Nas}ir ibn H}amad al-Fahd, manhaj
al-mutaqaddimi>n fi> al-tadli>s, hal. 67
[41] Mah}mu>d al-T}ah}h{a>n, al-manhaj
al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th, 132
[42]Ibid,
134
[43]Ibid,
136
[44] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu>
Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, 141
[45]Ibid,
142
[46] Mah}mu>d al-T}ah}h{a>n, al-manhaj
al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th, hal. 140
[47]Abu> ‘Abdillah Muh}ammad ibn
‘Abdillah al-H}a>kim al-Naisabu>ri>, ma’rifat ‘Ulu>m
al-H}adi>th wa Kammiyyat Ajna>sih, ( Beirut : Da>r Ibn H}azm, 1978
) Hal. 103
[48]Sohih bukhari, fi> ba>b
al-zdikr ‘aqiba al-s}ola>t.
[49] Mah}mu>d al-T}ah}h{a>n, al-manhaj
al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th, hal. 145
[50]Ibid, 148
[51] Mah}mu>d al-T}ah}h{a>n, al-manhaj
al-h}adi>th fi> mus}t}olah} al-ah}adi>th, hal. 145
[52]al-khat}i>b
al-bagda>di>, al-rih}lah fi> t}alab al-h}adi>th, ( Damaskus
: Ja>mi’at Dimashq, 1975 ) hal. 164
[53]Ibid,
167
[54]Ibid,
168
[55] Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu>
Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah} al-h}adi>th, hal.
176
[56]Ibid,
177
[57]Ibid,
179
[58]Nas}ir ibn H}amad al-Fahd, manhaj
al-mutaqaddimi>n fi> al-tadli>s, hal. 74
[59]Ibid,
78
[60]Ibid,
78
[61] M. D}iya>’ al-Rah}ma>n
al-A’z}ami>, mu’jam mus}t}alah}a>t al-h}adi>th wa lat}a>if
al-asa>ni>d, 43
[62]
ibid, 44
[63]Ibn Juraij memilik nama asli Abd Ma>lik Ibn 'Abdul 'Azi>z Ibn Juraij,
beliau termasuk ahli h}adi>th pada masa tabi’in. Ibn H}ibba>n berkata
bahwa Ibn Juraij adalah seorang yang thiqqah, begitu juga dengan Ibn
H}ajar memandang Ibn Juraij sebagai rawi yang thiqqah.
[64] M. D}iya>’ al-Rah}ma>n
al-A’z}ami>, mu’jam mus}t}alah}a>t al-h}adi>th wa lat}a>if
al-asa>ni>d, 46
[65]Ibid, 49
[66]Prof. Dr. Muh}ammad ibn
Muh}ammad Abu> Shahbah, al-wasi>t} fi> ‘ulu>m mus}t}olah}
al-h}adi>th, hal. 183
0 komentar :
Posting Komentar