Senin, 16 Juni 2014

Bahasa Gender Dalam Fikih Klasik dan Modern
( Studi Kasus dalam Hukum Keluarga )
Diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Sosio Linguistik







Oleh
Bahrul Ulum
NIM: FO6213078
Dosen Pengampu
Dr. H. Faizur Rasyad, M.Ag


Program Studi Pendidikan Bahasa Arab
Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
2014
PEMBAHASAN
A.    Konsep dasar gender ( Base Concept Of  Gender )
1.      Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa inggris yang berarti kelamin[1]. Gender yaitu perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam women’s studies encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan ( distinction ) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan permpuan yang berkembang dimasyarakat.[2] Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender : An Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan ( Cultural Expectation For Women and Men )[3]. Misalnya perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik dan keibuan. Sementara laki-laki dikenal dengan kuat, rasional, jantan dan perkasa.[4] Ciri-ciri dari sifat itu meupakan sifat yang dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lebut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dan sifat ini bisa terjadi dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat yang lain.[5]
Julia Cleves Mosse mendefinisikan gender dengan seperangkat peran, yang seperti halnya kostum dan topeng dalam teater, menyampaikan pada orang lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin. Perangkat prilaku khusus ini berupa penampilan, pakaian, sikap kepribadiaan, bekerja di luar atau di dalam rumah tangga, sekaligus tanggung jawab kepada keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memperoleh peran gender dalam masyarakat.[6] Begitu pula Ahmad Baidlowi mengutip pendapat Ann Oskley, yang menyatakan bahwa gender adalah sifat laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial dan kultural, sehingga tidak identik dengan seks.[7]Sedangkan hasil diskusi Nasaruddin Umar dkk, berpendapat bahwa gender diartikan semata-mata merujuk pada karakteristik-karakteristik sosial, seperti perbedaan dalam gaya rambut, pola pakaian, jenis pekerjaan dan aktifitas lain yang secara kultural dipelajari.[8]
Berdasarkan pemahaman diatas, dapat dipahami bahwa gender secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu konsep kultural yang membedakan antara laiki-laki dan perempuan dipandang dari segi sosial budaya yang dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, dengan demikian relasi gender bukan merupakan akibat perbedaan biologis.
Dalam budaya patriarkal, perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dipandang sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin. Tugas perempuan seperti memasak di dapur, berhias untuk suami, dan mengasuh anak serta pekerjaan domistik lainnya sebagai konsekuensi dari jenis kelamin. Tugas domestik perempuan akan abadi sejalan dengan keabadian identitas kelamin yang melekat pada dirinya. Pemahaman ini berangkat dari kerancuan paradigma tentang gender differences dan sex differences, sesungguhnya gender dan seks itu berbeda. Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek sosial dan budaya. Sementara perbedaan seks digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan secara anatomis dan biologis.[9]
2.      Perbedaan Gender dan Seks
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks dan konsep gender. Pemahaman dan perbedaan antara kedua konsep tersebut sangat diperlukan untuk memahami persoalan-persoalan ketidak adilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini erat kaitannya antara perbedaan gender dan ketidak adilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat yang lebih luas. Dalam masyarakat, pokok persoalannya adalah sistem dan stuktur yang tidak adil, dimana laki-laki dan perempuan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi karena mengalami ketidakadilan gender, sedangkan kaum laki-laki mengalami dehumanisasi karena mengabadikan ketidakadilan itu.[10]
Pada masyarkat primitif, orang belum banyak tertarik untuk membedakan gender  dan seks. Hal itu dikarenakan oleh persepsi yang berkembang saat itu menganggap bahwa perbedaan gender sebagai akibat perbedaan jenis kelamin. Sehingga perbedaan peran dan kerja dipandang sebagai sebuah keniscayaan yang disebabkan oleh perbedaan kelamin.[11]
Aan Oskley, merupakan sosiolog inggris pertama yang membedakan gender dan seks. Semua tokoh feminim sepakat dalam memberikan definisi seks yaitu perbedaan ciri-ciri biologis dari laki-laki dan perempuan, terutama yang menyangkut kodrati[12].
3.      Prinsip Kesetaran Perempuan dan Laki-Laki
a.       Tinjauan Historis
Untuk memahami keberadaan dan peran yang dimainkan Islam diperlukan pemahaman mendalam terhadap stratafikasi sosial budaya bangsa Arab menjelang dan ketika al-Qur’an diturunkan. Misi al-Qur;an hanya dapat dipahami secara utuh setelah memahami kondisi sosial budaya bangsa Arab. Bahkan sejumlah ayat dalam al-Qur’an seperti ayat-ayat gender dapat disalah pahami tanpa memahami latar belakang sosial budaya masyarakat arab.
Seperti kebanyakan masyarkat di kawasan Timur Tengah, masyarakat bangsa Arab menganut sistem patriarkhi. Dalam masyarakat ini, keturunan diturunkan melalui jalur ayah dan peran lebih besar diberikan pada laki-laki, baik dalam urusan rumah tangga, maupun dalam urusan masyarakat luas. Otoritas suami ( bapak ) menempati posisi yang dominan dan penting dalam keluarga.
Relasi gender dalam masyarakat Arab ditentukan oleh pembagian peran dan fungsi dalam masyarakat. Laki-laki bertugas sebagai pelindung dan yang menjaga rumah tangga, konsekuensinya adalah laki-laki memonopoli kepemimpinan dalam semua tingkatan, mulai dari kepala rumah tangga, kepala suku dan bahkan seorang nabipun harus laki-laki[13]. Ideologi patriarkhi inilah yang memberikan ruang gerak yang begitu luas bagi laki-laki, mereka bisa berprestasi dan mendapatkan prestise dalam masyarakat. Tenaga laki-laki lebih dibutuhkan seperti berperang, sehingga hal ini menafikan perempuan dalam semua aspek, mereka hanya dipandang makhluk lemah.[14]
Kehidupan masyarakat arab yang identik dengan perang memaksa kehidupan sosial menyerahkan arah kehidupannya kepada laki-laki, mereka bertugas mengatur jalannya kehidupan masyarakat, pertumbuhan penduduk dan semacamnya. Atas landasan perang ini, tak heran jika kita temukan spekulasi mereka akan masa depan perempuan, mereka tidak mau jika mereka kalah dalam pertempuran yang mengakibatkan perempuan-perempuan mereka menjadi tawanan perang dan dijadikan harem-harem pihak musuh, sehingga keputusa untuk membunuh kaum perempuan ditengarai sebuah keputusan yang briliant pada masa itu, dalam rangka menjaga kehomatan masyarakatnya[15].
Kondisi yang dialami perempuan dalam masyarakat Arab juga terjadi dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam perkawinan maupun pembagian warisan. Perempuan dalam perkawinan bahkan dipandang sebagai sebuah komoditas, bisa dijual atau dipindah tangankan. Dari berbagai uraian nasib buruk perempuan, misalnya jika seorang suami meninggal, maka saudara laki-lakinya dapat mewarisi jandanya. Dalam hal perkawinan laki-laki bebas memelih sesuai dengan selera sebanyak-banyaknya, dan hal itu tidak berlaku untuk perempuan[16].
Dalam konteks yang demikian, Islam hadir dan lewat rasulnya Muhammad mencoba untuk melakukan perubahan terhadap tatanan sosial yang ada, menghilangkan penyakit sosial dan membangun keadilan sosial dalam masyarakat. Langkah-langkah yang dilakukan Nabi, Pertama; melakukan penekanan terhadap kesatuan, dengan menghilangkan sekat-sekat kesukuan dan memperkenalkan konsep ummah, yaitu penekanan akan kebangsaan yang sama dalam kebudayaan dan kabilah yang berbeda. Kedua; Nabi melakukan penekanan persamaan derajat diantara umatnya tanpa memandang status sosial, kelamin maupun asal usul suku. Bahkan kaum budak juga mempunyai derajat yang sama dengan umat muslim lainya[17].
Konsep ummah yang ditawarkan nabi bisa diartikan sebagai simbol pembelaan terhadap kaum tertindas dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan. Dalam masyarakat Arab status dan peran sosial ditentukan oleh asal keturunan seseorang. Dengan konsep ummat ini, maka golongan-golongan tertindas dapat kesempatan yang sama dengan mayoritas elit dalam berbagai bidang.
Dalam bidang perkawinan, disamping bisa mengawani perempuan dalam jumlah yang tak terbatas, bentuk-bentuk perkawinan dalam Asli masyarakat arab sebelum Islam antara lain, Jawa>z al-mut’ah dan Jawa>z al-hibah[18]. Bentuk pertama merupakan pernikahan sementara waktu, yang bertujuan untuk menikmati seks secara bersama. Sedangkan bentuk kedua pernikahan pengorbanan perempuan terhadap laki-laki. Seorang perempuan yang melakukan pernikan dengan model seperti ini tidak memiliki hak-hak tertentu dan bisa diberikan pada orang lain sewaktu-waktu jika sudah merasa bosan dengan perempuan tersebut. Adapun nikah mut’ah, Rasul mendiamkannya sampai resmi dilarang pada abad ke-3 H[19].                 

B.     Bahasa Arab dan Bias Gender
Bahasa,sebagaimana yang didefinisikan oleh Ibn Jini> sebagai S}aut yu’abbir bihi kull qaum ‘an agra>d}ihim[20], artinya bahasa tidak bisa lepas dari budaya kaum itu[21]. Oleh karena itu, budaya patriarkhi bangsa Arab terbawa kedalam bahasa mereka. karena kebanyakan pemakai bahasa arab adalah muslim, sebab menurut Sa’ad Masluh, budaya Arab adalah Islam itu sendiri.
Bahasa Arab yang telah menjadi bahasa umat Islam ini mengandung bias gender yang berpengaruh pada proses tekstualisasi firman Allah dalam bentuk al-Qur’an. Bias tersebut tercermin dalam tata bahasa Arab seperti setiap nama (isim) dalam bahasa Arab selalu berjenis kelamin (muz}akkar atau mu’annath), bisa secara hakiki maupun majazi. Sebagaimana seseorang tidak bisa mengabaikan kelas sosial ketika berbicara bahasa jawa, aturan di atas menyebabkan seseorang tidak bisa menghindari klasifikasi laki-laki dan perempuan dalam berbahasa Arab karena dalam bahasa ini tidak ada nama yang netral.
Sebagai pemakai bahasa Arab, teks al-Qur’an juga mengikuti ketentuan ini sehingga Allah sebagai Dzat yang tidak berjenis kelamin pun mempunyai nama yang berjenis kelamin, yaitu mudzakkar (laki-laki) sehingga memakai kata kerja laki-laki (fiil mudzakkar), sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut ini:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ(3(
 Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
Ketentuan lain dalam tata bahasa Arab yang mengandung bias gender adalah isim muannats (nama untuk perempuan) cukup dibentuk hanya dengan cara  menambahkan satu huruf (Ta’ Marbut}ah) pada nama atau isim yang telah ada bagi laki-laki, seperti kata Ustadhah (guru perempuan) yang dibentuk dari kata Ustadh (guru laki-laki), muslimah dari muslim dll.. Tata bahasa ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab terhadap eksistensi perempuan sebagai bagian (sangat kecil?) dari eksistensi laki-laki.
Pengaruh cara pandang yang mengabaikan eksistensi perempuan ini dalam al-Qur’an dapat dilihat pada ayat tentang wudlu sebagai berikut:
   $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ  
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (al-Maidah/5:6)
Ayat tersebut sangat jelas sedang berbicara hanya pada laki-laki karena ayat tersebut secara jelas pula menyebutkan menyentuh perempuan (dengan segala konotasinya) sebagai hal yang menyebabkan batalnya “kesucian” laki-laki. Tidak ada satu ulama fiqh pun yang mengambil kesimpulan dari ayat di atas bahwasanya perempuan menyentuh perempuan dapat membatalkan wudlu. Jadi, eksistensi perempuan pada ayat di atas tidak ada dan ketentuan untuk perempuan pun cukup diturunkan dari ketentuan laki-laki.
Tata bahasa Arab lainnya yang mengandung bias gender adalah kata benda plural (al-Jam’u) untuk sekelompok perempuan adalah kata plural laki-laki (al-Jam’ al-Mudhakkar al-Sali>m) meskipun di dalamnya hanya ditemukan satu orang laki-laki. Satu grup perempuan, baik berjumlah seribu, sejuta, semilyar, bahkan lebih, akan menggunakan kata ganti jama mudzakkar (laki-laki) hanya karena adanya satu orang laki-laki di antara lautan perempuan tersebut. Hal ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab bahwa satu kehadiran laki-laki lebih penting daripada keberadaan banyak perempuan, berarapa pun jumlahnya[22]. Contoh Ayyuhal H}a>d}iru>n, walaupun yang datang itu lebih banyak perempuannya[23]
Sebagai pemakai bahasa Arab, al-Qur'an juga mengikuti ketentuan ini sehingga dalam menyampaikan sebuah pesan yang ditujukan kepada umat secara umum, baik laki-laki atau perempuan, al-Qur'an menggunakan jenis kata laki-laki. Beberapa contoh ayat dapat disebutkan di sini:
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. 2:183).
Maskulinitas ayat-ayat di atas terletak pada penggunaan kata-kata yang dicetak miring. Kata ganti orang kum (kalian), kata sambung alladhi>na (orang-orang yang), kata kerja a>manu>, tattaqu>n, (beriman, bertakwa). Kata-kata ini dalam bentuk perempuannya (muannathnya) adalah kunna, alla>ti>, a>manna, dst. Sekalipun menggunakan kata bentuk mudzakkar, ayat ini jelas ditujukan kepada seluruh kaum muslim termasuk yang perempuan. Jika tidak, maka ayat-ayat di atas tidak dapat dijadikan landasan bagi kewajiban shalat dan zakat bagi perempuan

C.     Bahasa Hukum Islam Untuk Perempuan
Dalam makalah ini, Penulis memfokuskan kajian dalam hukum perkawinan, hal ini tidak lain karena dimaksudkan agar kajiannya lebih mendalam dan fokus. Keluarga adalah sebutan bagi sekelompok orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang diikat dengan tali pernikahan. Pada prinsipnya kehidupan berkeluarga tidak bisa lepas dari peran dari semua komponen penyusunnya, akan tetapi acap kali kita temukan ketimpangan peran yang diciptakan oleh kultur budaya kita yang membatasi salah seorang dari anggota keluarga untuk berperan, atau bahkan tidak sama sekali. Dan orang yang termarginal tersebut adalah perempuan, hal itu disebabkan perbedaan seks yang menyusun tubuhnya, padahal mereka terlahir tanpa kehendak mereka. Begitulah budaya memperlakukan mereka, kaum lemah yang tertindas. Adapun ketimpangan-ketimpangan tersebut sebagai berikut :
1.      Tertutupnya kesempatan perempuan untuk memilih pasangan ( Suami )
Setiap orang pasti ingin memilih dengan siapa ia kelak hidup bersama, menghabiskan hidup bersama, menumpahkan keluh kesah bersama. Tapi itu tidak kaum perempuan, perempuan hanya komoditi yang harus dipilih, bukan memilih. Hal itu didasari hadith Nabi sebagai berikut:
تنكح المرأة لأربع ، لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك ( راه أبو داود والنسائي عن أبي هريرة )
Hadith diatas, secara jelas menjadikan perempuan sebagai objek, artinya mereka hanya untuk dipilih sebagaimana halnya barang, maka harus diambil yang terbaik dari semua barang yang ada. Dalam hal ini, perempuan seakan tidak punya hak atas diri mereka sendiri, sehingga dalam menentukan urusan yang sangat krusial, mereka tidak bisa berbuat banyak. Mereka tidak bebas seenaknya memilih laki-laki mana yang akan ia jadikan imamnya. Mereka hanya menunggu kedatangan pangeran yang akan melamarnya. Sehingga tidak lumrah dan dianggap tabu bagi budaya timur, jika ada seorang perempuan yang melamar laki-laki, walau pun di Indonesia kita bisa temua segelintir masyarkat yang melakukan itu, contoh Lamongan.
2.      Ketimpangan yang perempuan dapatkan ketika sudah bersuami
a)      Hak-hak Suami terhadap Istri
Dalam kitab-kitab fikih, kita tidak akan menemukan bab khusus yang membahas tentang hak-hak istri, hal ini disebabkan oleh pandangan budaya yang menyatakan mereka adalah sebuah barang, yang sebelum menikan milik orang tua, dan setelah menikan milik suami[24]. Jadi layaknya barang, mereka hanya punya kewajiban dan tidak boleh menuntut hak, hal ini juga dipertegas oleh budaya Arab yang menyatakan al-Nika>h} Riqqun[25].
Dalam kitab ‘Uqu>q al-Lujain, Imam Nawawi al-Banteni menjelaskan sebagai berikut :
H}uqu>q al-Zauj al-Wa>jibah ‘ala> al-Zaujah wa hiya T}a>’at al-Zauj wa Tasli>m Nasfiha> Ilayh Wa Mula>zimat al-Bayt Wa S}iya>nat Nafsiha>  Min An Tu>t}ia Fira>shiha> Gayruh Wa al-Ih}tija>b ‘An Ru’yat al-Ajnabi> Li Shayin Min Badaniha> Wa Tark Mat}a>libatiha> Lahu> Bima> Fauq al-H}a>jah Walau ‘Alimat Qudratahu> ‘Alayh[26].
Dari uraian ditas, jelas sekali bahwa perempuan harus mut}lak tasli>m pada suami, sebab ia berada dalam kuasanya. Dalam artian, perempuan harus pasrah total pada suami, dengan cara melayaninya ketika di rumah, sebab hal itu pernah Rasul lakukan untuk putri beliau walaupun ia menyandang  Sayyidat Nisa’ al-‘Alami>n, beliau wajib melayani Ali di rumah, sedangkan ali berkewajiban menafkahinya[27]. Sebab Menurut Rasul seandainya boleh bersujud pada manusia, niscaya saya suruh perempuan bersujud pada suaminya, sebagaimana dalam hadith :
لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها
b)      Pelayanan Yang tanpa Batas
Wahbah al-Zuhayli> berpandangan bahwa, pemberian mahar laki-laki kepada perempuan, pada dasarnya ditujukan untuk membayar pelayanan Istimta>’ yang harus diberikan istri kepada suami[28], oleh karena itu, jika suami istri tidak melakukan dukhu>l, maka kewajiban suami membayar mahar dianggap gugur[29]. Oleh karena itu sebagai konsekuensi atas mahar itu, perempuan wajib melayani suaminya, baik dalam keadaan yang pas baginya untuk melakukan jima>’ atau tidak. Sebagaimana dikatakan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
وعلى الزوجة طاعة زوجها إذا دعاه إلى الفراش ولو كانت على التنور أو على ظهر قتب كما رواه أحمد
Dapat dipahami dari ungkapan diatas, bahwa Istri tidak boleh menolak keinginan suami untuk berjima’ walau atas keterpaksaan, atau bahkan walau ketika ada diatas kuda ( kendaraan misal mobil, sepeda motor dalam konteks kekinian )[30], hal itu berbanding terbalik jika yang meminta adalah pihak istri, sebab sudah fitrah bahwa manusia sangat membutuhkan  seks, pun demikian dengan seorang istri, lagi-lagi ia harus mengubur dalam-dalam keinginan itu jika sang suami tidak berkenan.
Kali ini perempuan dirugikan oleh budaya, atau bahkan ajaran agama, ibarat robot yang tidak boleh menolak keinginan majikannya, kecuali ketika ia rusak, atau dalam bahasa manusia ketika ia h}ayd}. Hadith yang begitu ekstrim melegitimasi hal itu adalah pernyataan baginda Nabi sebagai berikut :
إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت أن تجيئ فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح[31]
Dari hadith diatas, dapat disimpulkan bahwa penolakan perempuan atas hasrat suaminya, bisa mengundang kemarahan para malaikat sampai menjelang subuh, simbol keagamaan ini sangat menakutkan jika dibayangkan, sehingga hal inilah yang dijadikan dasar bagi suami untuk seenaknya meminta jatah pada istri, tidak liat situasi dan kondisi.
c)      Akses diluar rumah
Berumah tangga, adalah penghambat karir bagi sebagaian perempuan yang mendambakan karir melejit melangit. Sebab dalam hukum islam, akses perempuan muhs}an di luar rumah sangat dibatasi. Hal itu tidak lain menurun Syaikh Ramad}an al-Bu>t}i> adalah bentuk penghormatan Islam terhadap perempuan, sebab Islam memandang perempuan adalah barang mewah yang tidak boleh dilihat sembarang orang, apalagi bersentuhan.[32] Bahkan dalam sebagaian hadith dijelaskan, jika perempuan keluar rumah dengan berparfum, dan lewat di depan laki-laki ajnabi, maka sungguh ia telah berzina. Tapi menurut sebagian orang, kaum feminis khususnya hal itu tidak lain adalah ketidak adilan, mengkerdilkan karir dan kemampuan perempuan.
Seorang perempuan yang menikah, terikat oleh aturan yang digariskan oleh agama Islam, sebagai contoh dalam kitab Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu disebutkan:
ومن طاعةتها القرار في البيت فليس للزوجة الخروج من المنزل ولو إلى الحج إلا بإذن زوجها،
فله منعها من الخروج إلى المساجد وغيرها[33].
 Hal demikian didasari oleh hadith Nabi yang berbunyi :
عن ابن عمر قال : رأيت امرأة أتت إلى النبي وقالت : يا رسول الله ما حق الزوج على زوجته؟
قال حقه عليها أن لا تخرج من بيتها إلا بإذنه ، فإن فعلت لعنها الله وملائكة الرحمة
وملائكة الغضب ختى تتوب أو ترجع ، قالت يا رسول الله وإن كان لها ظالما؟ قال : وإن كان لها ظالما[34]
Ulama’ berpendapat, jika keluar rumah untuk melakukan kewajiban beribadah saja tidak boleh, apalagi yang tidak wajib seperti bekerja dan belajar di luar rumah, sebab bekerja adalah kewajiban suami dan mengajari istri adalah kewajibannya juga, bahkan jika suami tidak mampu mengajari istrinya, maka ia wajib belajar atau mendatangkan guru untuk istrinya[35].
d)      Akses untuk beribadah Nafilah
Bagi seorang perempuan yang bersuami, maka ia tidak bebas lagi untuk melakukan ibadah yang sifatnya sunnah, seperti salat jama’ah di Masjid, puasa sunnah dan yang lain-lain.
Adapun tentang salat jama’ah yang di lakukan di luar rumah seperti di masjid, telah dijelaskan oleh hadith nabi sebagai berikut :
قال الرسول صلى الله عليه وسلم : أقرب ما تكون المرأة من وجه ربها إذا كانت في قعر بيتها وإن صلاتها في صحن دارها
 أفضل من صلاتها في المسجد، وصلاتها في بيتها أفضل من صلاتها في صحن دارها، وصلاتها في مخدعها أفضل من صلاتها في بيتها.
Dari hadith diatas, dapat disimpulkan bahwa, semakin kedalam rumah salat perempuan, maka itu adalah semakin baik, sebab wanita adalah aurat dalam Islam. Sehingga semakin mengisolasi diri, maka wanita itu semakin baik.
Adapun untuk Ibadah-ibadah lainnya- yang sunnah- wanita harus mendapatkan izin dari sang adikuasa yaitu suaminya, hal ini pernah disampaikan oleh rasul dalam hadithnya:
وليس للزوجة صوم نفل أو تطوع إلا بإذن زوجها، لقوله صلى الله عليه وسلم :( لا يحل لامرأة أن تصوم، وزوجها شاهد إلا بإذنه.)  وفي حديث آخر يقول : (  روي البزار عن ابن عباس أن امرأة من خثعم أتت رسول الله فقالت : يا رسول الله إني امرأة أيم، فإن استطعت وإلا جلست أيما؟ قال فإن حق الزوج على زوجته إن سألها نفسها وهي على ظهر قتب ألا تمنعه، وألا تصوم تطوعا إلا بإذنه، فإن فعلت جاعت وعطشت ولا تقبل منها، ولا تخرج من بيتها إلا بإذنه فإن فعلت لعنتها ملائكة السماء وملائكة الرحمة وملائكة العذاب قالت: لا جرم ، لا أتزوج أبدا.
 Betapa beratnya pengabdian seorang istri pada sang suami, sampai-sampai, istri tidak bebas melakukan ibadah, kecualia atas izin dari suami, karena kewajiban istri hanya pelayanan totalitas kepada sang suami, sehingga tidak heran jika istri dilarang puasa sunnah, tanpa izin dari suami, karena melakukan yang sunnah dan meninggalkan yang wajib itu sebuah kebodohan.
























Daftar Rujukan

Abu Zaid , Nasr Hamid. Women in the Discourse of Crisis, The Legal Research and Resource center for Human Right pages. (LRRC).  Cairo : University of Cairo, 2000
al-Banteni , Nawawi>.  Uqu>d al-Lujain Fi> Baya>ni H}uqu>q al-Zawjayn.  Surabaya : al-Hidayah, tt
 al-Ja>biri>, M. ‘Abid.  al-Di>n Wa al-Daulah Wa Tat}bi>q al-Shari>’ah.  Beirut : Markaz Dira>sa>t al-Wihdah al-‘Arabiyyah,1996
 ----------------------. Binyat aql ‘arabi. Beirut : Markaz Dira>sa>t al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 2009
Al-Qulyu>bi Wa ‘Umairah. H}a>shiyata>n Qulyu>bi> wa ‘Umairah ‘Ala> Minha>j al-T}a>libi>n, vol 3 . Beirut : Da>r al-Fikr, Tanpa Tahun
Baidowi , Ahmad.  Gerakan Feminisme dalam Islam, Jurnal Penelitian Agama.  Yogyakarta : Pusat Penelitian UIN SUKA , Vol. X, No. 2. Mei-Agustus 2001
el-Sadawi , Nawa>l. Perempuan dalam Budaya  Patriarkhi, Terj. Zulhilmiyasri.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Engineer , As}ghar Ali.  Asal Usul Perkembangan Islam, Penerjemah : Imam Baehaqi .  Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999
Esposito,  John L.  Enskilopedi Oxford : Dunia Islam Modern, terj. Gufran. A  Mas’adi.  Jakarta : Rafa Grafindo, 2000
Helen Tierney. Women’s Studies Encyclopedia, Vol. 1.  New york: Green Wood Press, 1991
 Istibsyarah. Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir al-Sha’ra>wi.  Jakarta : Teraju, 2004
John Echols dan Hassan Shadily.  kamus inggris-indonesia . Jakarta: Gramedia, 1983
Lisa Luttle. Encyclopedia of  Feminism .  New York : Facts On Publication, 1986
M Lips , Hilary. Sex and Gender : an Introduction.  California: Myfield Publishing Company, 1993
Mansour Fakih. Mansour Fakih.   Analisis Gender dan Transformasi sosial, Cet. IV .  Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999
Mosse , Julia Cleves. Jender dan Pembangunan, alih bahasa : Hartian Silawati . Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002
Mufidah Ch.  Paradigma Gender.  Malang : Bayu Media Publishing, 2004
 Muh}ammad Gadhdha>mi> , ‘Abdullah. al-Lugah wa al-Mar’ah. Beirut : al-Markaz al-Thaqa>fi> al-‘Arabi>, 2006
Mukhtar ‘Umar , Ah}mad.  Ana wa al-Lugah wa al-Mujtama’.  Kairo : ‘Alam al-Kutub, 2002
Nasution , Khoiruddin. Fazlurrahman tentang perempuan .  Yogyakarta : Penerbit Tazaffa, 2002
Sa’i>d al-Na’i>mi , H}isa>m >.  Ibn Jini>; ‘A>lim al-‘Arabiyyah .  Bagda>d : Da>r al-Shu’u>n al-Thaqa>fiyyah al-‘Amma>h, 1990
 Saptari , Ratna. Perempuan kerja dan perubahan sosial; sebuah pengantar studi perempuan .  Jakarta : Kalyana Mitra, 1997
 Sumandoyo , Priyo. wacana gender  dan layar televisi ; studi perempuan dalam pemberitaan televisi swasta, cet 1 . Yogyakarta : LP3Y, 1999
 Trisakti Handayani dan Sugiarti.  Konsep dan teknik penelitian gender.  Yogyakarta : UMM Press, 2002
Umar , Nasaruddin dkk. Bias Gender dalam Pemahaman Islam, cet. 1 .  Yogyakarta : Gema Media, 2002













[1]John Echols dan Hassan Shadily, kamus inggris-indonesia ( Jakarta: Gramedia, 1983) hal. 265
[2]Helen Tierney(ed), Women’s Studies Encyclopedia, Vol. 1( New york: Green Wood Press, 1991)hal. 197
[3] Hilary M Lips, Sex and Gender : an Introduction, ( California: Myfield Publishing Company, 1993 ), hal. 4
[4] Lihat Penjelasan gender dalam Mansour Fakih. Mansour Fakih,  Analisis Gender dan Transformasi sosial, Cet. IV ( Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999 ) hal. 8
[5] Priyo Sumandoyo, wacana gender  dan layar televisi ; studi perempuan dalam pemberitaan televisi swasta, cet 1 ( Yogyakarta : LP3Y, 1999 ) hal. 58-59. Lihat juga dalam buku Dra. Mufidah Ch, M.Ag, Paradigma Gender ( edisi revisi ), ( Malang : Bayu Media Publishing, 2004 ) hal. 4
[6] Julia Cleves Mosse, Jender dan Pembangunan, alih bahasa : Hartian Silawati ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ) hal.2
[7] Ahmad Baidowi, Gerakan Feminisme dalam Islam, Jurnal Penelitian Agama( Yogyakarta : Pusat Penelitian UIN SUKA ), Vol. X, No. 2. Mei-Agustus 2001,Hal. 203
[8] Nasaruddin Umar dkk, Bias Gender dalam Pemahaman Islam, cet. 1 ( Yogyakarta : Gema Media, 2002 ) hal. 3
[9] Lisa Luttle, Encyclopedia of  Feminism ( New York : Facts On Publication, 1986 ) hal, 123
[10] Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan teknik penelitian gender,  ( Yogyakarta : UMM Press, 2002 ) hal. 7
[11] Istibsyarah, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir al-Sha’ra>wi>, ( Jakarta : Teraju, 2004 ) hal. 61
[12] Ratna Saptari, Perempuan kerja dan perubahan sosial; sebuah pengantar studi perempuan ( Jakarta : Kalyana Mitra, 1997 ) hal. 89
[13] Nasaruddin Umar, Argument kesetaraan gender..... hal. 135
[14] Ibid, 129
[15] Ibid, 131
[16] Lihat pembahasa Perempuan Pra-Islam dan pembaharuan dalam buku Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, MA. , Fazlurrahman tentang perempuan ( Yogyakarta : Penerbit Tazaffa, 2002 ) hal. 37-43
[17] As}ghar Ali Engineer, Asal Usul Perkembangan Islam, Penerjemah : Imam Baehaqi ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999 ) hal, 126
[18] Nawa>l el-Sadawi,Perempuan dalam Budaya  Patriarkhi, Terj. Zulhilmiyasri, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hal. 259
[19] John L. Esposito, Enskilopedi Oxford : Dunia Islam Modern, terj. Gufran. A  Mas’adi,( Jakarta : Rafa Grafindo, 2000) hal. 21
[20] H}isa>m Sa’i>d al-Na’i>mi>, Ibn Jini>; ‘A>lim al-‘Arabiyyah ( Bagda>d : Da>r al-Shu’u>n al-Thaqa>fiyyah al-‘Amma>h, 1990) hal. 53
[21] Ah}mad Mukhtar ‘Umar, Ana wa al-Lugah wa al-Mujtama’, ( Kairo : ‘Alam al-Kutub, 2002 ) hal. 129
[22] Nasr Hamid Abu Zaid, Women in the Discourse of Crisis, The Legal Research and Resource center for Human Right pages. (LRRC),  (Cairo : University of Cairo, 2000 ) hal. 49
[23] ‘Abdullah Muh}ammad Gadhdha>mi>, al-Lugah wa al-Mar’ah, ( Beirut : al-Markaz al-Thaqa>fi> al-‘Arabi>, 2006 ) hal. 16
[24] M. ‘Abid al-Ja>biri>, Binyat aql arabi>, ( Beirut : Markaz Dira>sa>t al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 2009 ) hal. 109
[25] M. ‘Abid al-Ja>biri>, al-Di>n Wa al-Daulah Wa Tat}bi>q al-Shari>’ah, (Beirut : Markaz Dira>sa>t al-Wihdah al-‘Arabiyyah,1996  ) hal. 100
[26] Nawawi> al-Banteni, Uqu>d al-Lujain Fi> Baya>ni H}uqu>q al-Zawjayn, ( Surabaya : al-Hidayah, tnp Th ) hal. 3
[27]  Wahbah al-Zuhayli, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Vol. 7 (    ) hal. 334
[28] Ibid, 334
[29]  Al-Qulyu>bi Wa ‘Umairah, H}a>shiyata>n Qulyu>bi> wa ‘Umairah ‘Ala> Minha>j al-T}a>libi>n, vol 3 ( Beirut : Da>r al-Fikr ) hal. 216
[30] Wahbah al-Zuhayli, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, hal. 334
[31] Nawawi> al-Banteni, Uqu>d al-Lujain Fi> Baya>ni H}uqu>q al-Zawjayn, hal. 13
[32] Ibid, 12
[33] Wahbah al-Zuhayli, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, hal. 336
[34] Diriwayatkan oleh Abu Daud al-T}aya>lisi> dari Ibn Umar.
[35] Nawawi> al-Banteni, Uqu>d al-Lujain Fi> Baya>ni H}uqu>q al-Zawjayn, hal. 17, Lihat juga di fiqhul islam jilid 7 hal. 792

0 komentar :

Posting Komentar