Pendahuluan
Istilah
tasawuf baru muncul pada bad ketiga hijriah. Pada abad pertama dan kedua
hijriyah, istilah tersebut belum ada, ia masih menggunakan istilah zuhd. Pada
abad ketiga kemudian mulai muncul istilah-istilah yang belum dikenal sebelumnya
seperti maqa>ma>t,
ma’rifah, ittih{a>d, h{ulu>l dan
lain sebagainya.[1]
Pada abad ketiga dan keempat hiriyah, tasawuf mencapai masa keemasannya.[2] arang
terdapat kitab-kitab yang membahas tasawuf, konsep-konsepnya tidak banyak
diketahui, berbeda dengan disiplin ilmu yang lain yang pembahasannya ketika itu
terbuka dan jejaknya dapat diketahui melalui literatur yang ada. Hal ini
dikarenakan persepsi banyak orang di zaman itu yang menganggap bahwa tasawuf
merupakan suatu penyimpangan agama. Hal inilah yang menjadikan al-Junayd dan
sufi lainnya tidak membeberkan secara jelas pemikiran dan pandangan-pandangan
mereka, interaksi dengan murid-muridnya juga dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.
Al-Junayd
al-Baghdadi sebagai seorang sufi besar di abad ketiga memegang peran sentral
dalam perkembangan tasawuf selanjutnya. Sufi-sufi setelahnya banyak bertolak
dari pengalaman ataupun teori tasawufnya. Ia juga terkenal sebagai sufi moderat
yang meskipun disibukkan dengan dunia sufistiknya, ia tidak meninggalkan sama
sekali kehidupan dunianya. Hal ini ditunjukkan dengan keadaannya sebagai
pedagang di kota Baghdad.
Dalam tasawuf al-Junayd
banyak berbicara tentang tauhid, dengan dua instrumen penghantarnya, yakni mi>tha>q
dan fana>. Semua ini akan
dibahas dalam makalah ini pada pembahasan pemikiran tasawuf al-Junayd, setelah
sebelumnya mengulas sedikit tentang perjalanan hidupnya.
Biografi
al-Junayd al-Baghdadi.
Nama lengkapnya adalah
Abu al-Qa>sim Al-junayd bin
Muhammad bin Al-junayd al-Khozzaz al-Qawaririy, ia dilahirkan dan besar di
Baghdad. Diperkirakan ia lahir pada 210 H.[3] Ayahnya
adalah pedagang kaca/barang pecah belah. Pasca
ayahnya wafat, ia dididik oleh pamannya, al-Sari al-Saqat{i. Rumah pamannya ini merupakan lingkungan sufi, disitu juga
banyak terdapat majlis ilmu dan dzikir. Disitulah al-junayd memperdalam ilmu. Beliau
merupakan salah seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih. Dalam
fiqih beliau bermadzhab kepada Imam Abu Thaur.[4] Al-junayd
sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut dalam umurnya yang
baru 20 tahun.[5]
Beliau lama bergaul dan belajar kepada al-Ha>rith al-Muh{asibi,[6] , Abi Sa’i>d al-Kharra>z,[7]
dan sufi terkemuka lainnya. Di kalangan sufi Al-junayd dikenal sebagai pemuka
dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid al-T{a>ifah as{-S{u>fiyyah.
Sejak kecil, al-Junayd
terkenal sebagai seorang anak yang cerdas, sehingga sangat mudah dan cepat
belajar ilmu-ilmu agama dari pamannya. Karena kecerdasannya itu, ketika berumur
tujuh tahun, al-Junayd telah diuji oleh gurunya dengan sebuah pertanyaan
tentang makna syukur. Ia menjawab: “Syukur ialah ketika engkau tidak
menggunakan karuniaNya untuk bermaksiat kepadaNya.”[8]
Kehidupan al-Junayd al-Baghda>di>,
di samping sebagai seorang sufi yang senantiasa mengajarkan ilmunya kepada
murid-muridnya, ia juga sebagai pedagang barang-barang pecah belah di pasar
tradisional. Selesai berdagang, beliau pulang ke rumah dan mampu mengerjakan
salat dalam waktu sehari semalam sebanyak empat ratus rakaat.
Al-Junayd al-Baghda>di>
adalah seorang sufi yang mempunyai prinsip tak kenal putus asa. Terbukti,
misalnya dalam ibadah, baik di kala sehat maupun sakit, ia senantiasa konsisten
melaksanakannya; bahkan, dalam keadaan sakit, ia merasa semakin dekat dengan
Allah. Di samping itu, al-Junayd memiliki sifat tegas dalam pendirian. Ini
terlihat ketika ia menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati muridnya
sendiri, H}usayn ibn
Manshu>r al-H}alla>j (w. 309/ 922 M), sufi pencetus al-hulu>l.
Dalam surat kuasa itu, ia menulis dengan tegas, “Berdasarkan syari’at, ia (al-H}alla>j)
bersalah, tetapi menururt hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui” .
Dalam masa-masa
hidupnya, al-Junayd menghadapi kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama
dari kaum ortodok. Karena perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi
ketika itu, maka al-Junayd melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari
murid-muridnya secara diam-diam.
Di saat-saat akan
meninggal al-Junayd membaca Al Quran sampai tamat. Lalu, ketika ia memulai lagi
dari surat Al-Baqarah sampai ayat ke-70, barulah ia menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Al-Junayd meninggal pada tahun 298 H dan dimakamkan tepat di sebelah
makam pamannya. Sari Al-Saqati.
Karya-Karya Al-Junayd
Al-Junayd sendiri
sebenarnya termasuk seorang sufi yang tawadhu. Dari sikapnya ini, ia pernah mengatakan
bahwa ajaran-ajaran sufinya tak perlu disebarluaskan. la khawatir pikiran-pikirannya
itu membuat orang lupa pada ajaran Rasulullah.[9]
Kendati begitu, menurut al-Sarra>j,
Al-Junayd pernah menulis kitab yang berjudul Al-Muna>ja>t dan Sharh> Shat{iyyat Abi Yazi>d
Al-Bisht{ami. Juga ada bukunya yang berjudul Tas{i>h Al-lra>dah
dan Al Rasa>il. Al-Rasa>il
selain berisi surat-surat Al-Junayd yang dikirimkannya kepada para sahabatnya,
juga memuat ajaran-ajaran Al-Junayd sendiri berupa tulisan para muridnya ketika
menerima pelajaran dari dia. Selain itu ada satu lagi karya tulisnya. berjudul
Dawa Al-Tafit. Buku itu konon kini tersimpan di Birmingham, Inggris.Tetapi yang
jelas, ajaran-ajaran tasawuf Al-Junayd tersebar di beberapa karya para sufi lainnya,
lewat berbagai kutipan-kutipan. Imam Al-Ghazali sendiri tampaknya mengetahui ajaran
Al-Junayd melalui berbagai kutipan yang terdapat dalam buku-buku tasawuf.
Didalam biografinya, Al-Ghazali mengakui bahwa ajaran-ajaran sufi yang terdapat
dalam bukunya merupakan kumpulan dari ucapan Al-Junayd, As-Shibly, dan
Abu Yazid yang tersebar di beberapa buku.[10]
Pemikiran Tasawuf al-Junayd al-Baghdadi
Dalam pemikiran tasawuf
Al-Junayd, Allah itu Maha Suci. KesucianNya adalah azali dan abadi. Allah itu
suci sejak keberadaanNya yang tanpa awal dan akan terus demikian tanpa akhir.
Sementara manusia yang terdiri dari ruh dan jasad, berbeda dari Tuhan. Pada
mulanya ruh manusia diciptakan dalam keadaan suci bersih. Dia tidak mempunyai
keinginan apa-apa selain kepada Tuhan. Namun setelah ruh itu dimasukkan ke
dalam tubuh manusia, ia rnenjadi terikat dengan unsur ciptaan (makhluk) dan
nafsu yang ada dalam tubuh manusia, bahkan terkadang berada di bawah pengaruh nafsu
yang berusaha untuk menariknya pada berbagai kesenangan duniawi. Pada
gilirannya, ruh terpesona dengan dorongan nafsu atas kemewahan dunia. Karena keinginan
dan terpengaruhnya ruh pada benda-benda dunia inilah yang kemudian menyebabkan
ruh tak lagi suci seperti semula. la tercemar karena dilumuri hasrat dan kenikmatan
dunia yang menipu. Kendati demikian, dari pemahaman itu, manusia menurut Al-Junayd
bisa dekat bahkan bersatu (ittihad) dengan Tuhan melalui tasawuf.
Menurut Al-Kala>bidzi>,
ajaran tasawuf al-Junayd meliputi: pemurnian hati dari unsur-unsur liar,
pemisahan akhlaq dari tabiatnya, menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan, melenyapkan
nafsu, menghadirkan sifat-sifat ruhaniyah, memahami ilmu hakikat, bersatu
dengan yang abadi dan selanjutnya harus mengajak umat dan membimbingnya ke
jalan yang benar serta mengikuti petunjuk Rasul dalam shariah.[11]
Banyak tarekat tasawuf
yang silsilahnya melalui al-junayd al-Baghdadi. Paham dan amalan tasawufnya
banyak digali melalui pengalaman-pengalaman sufistiknya.[12]
Konsep dan pemikiran tasawuf al-junayd al-Baghdadi belum tersusun secara
sistematis, akan tetapi lebih banyak dijelaskan melalui ungkapan-ungkapan
verbalnya, terutama dalam surat-surat yang dikirimkan kepada
sahabat-sahabatnya. Melalui ungkapan-ungkapan itulah konsep tasawufnya dapat
dipahami. Berikut ini akan dijelaskan beberapa aspek dalam pemikiran tasawuf al-junayd.
1. Antara Tasawuf dan Shariat.
Mengenai kaitan
antara syariat dan tasawuf, al-Junayd berkata kepada orang yang mengatakan:
“Ahli ma’rifat akan sampai kepada kondisi dimana ia terbebas dari
kewajiban-kewajibannya”. Al-Junayd menjawab: “Ini merupakan perkataan seseorang
yang meninggalkan amalan (syariat), dan hal ini merupakan sesuatu yang sangat
berbahaya, orang yang berzina dan mencuri lebih baik daripada orang yang
mengatakan demikian.”[13] Hal
ini dapat dijelaskan karena orang yang berzina atau mencuri menyadari dan mengetahui
perbuatannya dan bisa jadi mengharapkan pertaubatan, akan tetapi bagi orang
yang mengaku dekat dengan Allah, ia tidak akan menyadari perbuatannya karena ia
merasa di maqa>m
yang
tertinggi. Melalui jawabannya itu al-Junayd ingin menegaskan pentingnya shariat
dalam bertasawuf. Hal lain yang bisa dijadikan tolak ukur pandangan al-Junayd
tentang relasi keduanya (shariat dan tasawuf) ialah ucapannya: “Barang siapa
yang tidak mempelajari dan memahami al-Quran dan Hadith, dia tidak dapat
memasuki dunia ini (tasawuf).”[14]
Beberapa
pendapat diatas mencerminkan sikap al-Junayd. Ia meletakkan shariat sebagai
dasar dari tasawuf. Oleh karena itu menurutnya, tidak ada yang esoteris tanpa
adanya yang eksoterik dan tidak ada hakikat tanpa shariat. [15]
Dari
sikapnya itu al-Junayd dianggap sebagai orang yang “mengislamkan” tasawuf atau
yang meletakkan dasar-dasar tasawuf Islami.[16]
2. Tauh{i>d
Pada masa
al-Junayd diskursus tentang tauhid dibicarakan oleh semua aliran dalam Islam,
terutama Muktazilah, yang mempunyai kekuasaan yang besar ketika itu.[17]
Kaum sufi saat itu kurang setuju terhadap pendekatan yang digunakan Muktazilah
dan definisi yang dihasilkannya. Para sufi menegaskan bahwa tauhid tidak dapat
didefinisikan secara sederhana atau bahkan tidak dapat didefinisikan. Seperti
kata al-Junayd: “Definisi terbaik mengenai tauhid ialah apa yang dikatakan Abu
Bakar: “Segala puji bagi Allah, yang tidak menjadikan jalan bagi makhlukNya
untuk mengenalnya, melainkan ketidakmampuan untuk mengenalnya”.”[18]
Dari ucapan ini dapat dipahami bahwa menurut al-Junayd, tauhid diluar jangkauan
akal. Senada dengan ucapan sebelumnya, al-Junayd berkata: “Tauhid merupakan
sebuah realitas yang tidak terdapat jejak dan tandanya, yang tersisa hanyalah
Allah.”[19]
Selain itu,
salah satu ucapan al-Junayd yang terkenal mengenai tauhid ialah: “Tauhid ialah
pemisahan antara yang qidam (tidak diciptakan) dan h{uduth
(diciptakan).[20]
Perkataaan ini mengandung makna; pemisahan esensi abadi dari esensi yang
diciptakan, pemisahan segala atribut kemanusiaan, dan pemisahan tindakan.[21]
Semua itu dilakukan untuk menghilangkan segala hal selain Tuhan. Tauhid dalam
pengertian ini menurut al-Junayd termasuk dalam tauhid khawas.
Ucapan al-Junayd ini banyak mempengaruhi sufi-sufi setelahnya, seperti Sarra>j, yang
setelah mendefinisikan tauhid menurut orang kebanyakan dari sudut pandang sufi,
ia mengomentari pernyataan al-Shibli seraya mencamtumkan ucapan al-Junayd
diatas. Al-Hujwiri juga mengomentari dengan ucapan al-Junayd ini dalam
pembahasan tentang tauhid.[22]
Demikian juga al-Qushayri, ia memulai bab pertama dalam kitabnya dengan ucapan
al-Junayd ini.[23]
Dalam
tahapan-tahapan di dunia tasawuf, Al-Junayd menjelaskan bahwa permulaan dari
beribadah kepada Allah ialah ma’rifatullah, dan dasar dari ma’rifatullah
ialah tauhid. Kemudian ia menjelaskan rangkaian dari proses tauhid hingga ke
tahapan wah{dah al-shuhu>d dan tahapan-tahapan lainnya, seperti berikut:
Aturan dari pengesaan Allah ialah penegasian sifat-sifat
terhadapNya, berkaitan dengan apa, kenapa dan dimana sebagai permohonan
petunjuk atasNya, hal ini akan membawa kepada taufi>qNya, dan
dengan taufi>q ini akan muncul tauh{i>d kepadaNya.
Dari tauh{i>d akan berlanjut kepada tas{di>q. dan dari
tas{di>q berlanjut kepada tah{qi>q. Dari tah{qi>q akan tercapai ma’rifah kepadaNya, dari ma’rifah akan tercapai istija>bah, dan dari istija>bah akan menuju kepada taraqqi>,
dan dari fase
ini akan tercapai ittis{al kepadaNya, dan dari ittis{al akan tercapai penjelasan
tentangNya, setelah tercapai penjelasan tentangNya akan terjadi kebingungan dan
dari kebingungan seseorang akan beranjak dari penjelasan tentangNya, setelah
beranjak, pensifatan atasNya akan terputus, yang kemudian akan mengantarkan
pada hakikat wujudNya, dari hakikat wujudNya akan terjadi hakikat shuhu>d.
yang berujung pada
pemurnian wujudNya.[24]
Dalam penjabaran
tersebut al-Junayd mengungkapkan bahwa pengembaraan manusia dalam tasawuf
bertujuan akhir, kembalinya ia kepada keadaan pertama di zaman azali dahulu,
suatu keadaan sebelum eksistensi dirinya saat ini.
Al-Junayd
membagi tauhid kedalam empat tingkatan: Pertama, tauhid awam, yakni
ikrar atas keEsaan Allah dengan penafian terhadap tuhan, berhala dan lainnya,
akan tetapi masih memiliki harapan dan ketakutan terhadap selain Allah. Kedua,
tauhid ahli hakikat yang menguasai ilmu, yakni ikrar atas keEsaan Allah
dengan penafian tuhan, berhala dan lainnya, mematuhi larangan dan perintahnya
secara, yang kesemuanya itu berasal dari rasa cinta, takut, harapan dan keinginan
kepadaNya. Sedangkan dua tingkatan terakhir terdapat dalam tauhid para khawas{
yang memiliki kemampuan esoteris (ma’rifah). Golongan yang pertama (dari khawas),
yakni penafian serta mematuhi perintah
dan larangannya seacara z{a>hir dan ba>t{in, menghilangkan rasa cinta, takut
selain kepadaNya, dan kesemuanya berasal dari kesadaran atas kehadiran dan panggilan
Allah serta jawaban atas panggilanNya. Golongan yang terakhir ialah eksistensi
tanpa keikutsertaan individualitas, ketika seorang hamba berduaan dengan
Tuhannya, tiada yang lain selain keduanya, tenggelam dalam kefanaan, kekuasaan
dan tauhidNya.[25]
Perbedaan
diantara keempat tingkatan tersebut ialah, orang yang berada pada tingkat
pertama tidak memiliki kemampuan mengatur hidup. Tidak dapat mengontrol moral,
pikiran, kebenaran dan kebaikan dalam kehidupan sosial, sementara pada tingkat
kedua, ia memiliki kemampuan ini akan tetapi ia masih terkungkung dalam harapan
dan ketakutannya. Pada tingkat ketiga ia masih melibatkan individualitasnya,
dalam kondisi ini tauhid belum sempurna, ia masih menyadari sesuatu selain
Tuhan, yakni dirinya sendiri. Sedangkan pada tingkat terakhir yang merupakan
tingkatan tertinggi, seseorang sudah dalam genggamanNya, dan tidak ada lagi
ke’aku’annya. Yang ada hanya KemauanNya.
Tingkatan
terakhir ini, menurut al-Junayd didasari atas dua teori: yakni, teori mi>tha>q
dan
teori fana>.[26]
3.
Mi>tha>q
Al-Junayd
meyakini bahwa seorang hamba memiliki eksistensi sebelum eksistensinya saat
ini. Ia melandasinya dengan ayat al-Quran: [27]
(وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن
تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ) (الأعراف :
172 )
Ayat ini memuat
percakapan azali antara Tuhan dan manusia, al-Junayd menafsirkan ayat ini
dengan tafsiran sufistik, bahwa Allah berbicara kepada manusia belum mauju>d
(ada), tetapi sudah mauju>d
dalam diriNya. Ke-mauju>d-an
ini bukanlah ke-mauju>d-an
yang biasa terjadi pada ciptaanNya, namun ke-mauju>d-an ini merupakan ke-mauju>d-an
yang hanya diketahui oleh Allah.[28] Jadi,
menurut al-Junayd terdapat dua macam eksistensi, yang pertama ialah eksistensi
di zaman azali (eksistensi dalam diriNya) dan eksistensi dalam dunia sekarang.
Eksistensi yang
pertama ini, menurut al-Junayd ialah yang paling sempurna, utama, tertinggi,
dan jauh lebih unggul daripada eksistensi normal dimana seorang hamba masih
dalam kesadaran. Karena dalam eksistensi ini, individualitas seseorang berada
dalam kefanaan total dan aspek keduniawiannya hilang.[29]
Kemudian al-Junayd menggarisbawahi bahwa eksistensi ini hanya diketahui oleh
Allah. Gagasan al-Junayd mengenai pra-eksistensi jiwa ini memiliki kemiripan
dengan gagasan Plato bahwa jiwa manusia telah ada sebelumnya dalam alam ide,
sebelum turun ke dalam tubuh (alam nyata).[30]
Melihat gagasan
al-Junayd ini dapat dikatakan bahwa seorang hamba dapat mencapai atau kembali
kepada eksistensinya dahulu sebelum ia diciptakan. Dengan syarat ia dapat
menanggalkan eksistensi keduniawian dan kemanusiaannya sehingga ia bisa berada
dalam eksistensi Tuhan dan melebur total dalam diriNya. Jika ini terjadi, maka
seorang muwahhid dapat mencapai tauhid yang sesungguhnya. Dalam keadaan
ini tiada kehendak dan kuasa selain milikNya.
Pencapaian
tauhid seperti ini tidak dapat dialami semua orang, akan tetapi hanya
orang-orang yang terpilih yang dapat mencapainya, seperti yang dijelaskan
al-Junayd dengan menggunakan hadith Nabi:
وما تقرب إلي عبدي
بشيء أحب إلي مما افترضت عليه ، و لا يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل
حتى أحبه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي سمع به و بصره الذي يبصر به ، و يده التي يبطش
بها و رجله التي يمشي بها و لئن سألني لأعطينه ، و لئن استعاذني لأعيذنه - رواه البخاري
.
Menurut
al-Junayd hadith ini tidak dapat dimakanai secara literal, akan tetapi maknanya
ialah: “Allah lah yang menguatkannya, yang menganugerahkan kemampuan untuk
menerimanya, yang memberi petunjuk dan membuka hijab atas kehendakNya, dengan
itu ia menerima kebenaran. Inilah kehendak Allah atas dia, karuniaNya
terhadapnya dan hanya untuknya.[31]
Semua kondisi
atau keadaan inilah yang dimaksud al-Junayd melalui definisinya tentang
tasawuf; “Tasawuf ialah bahwa Tuhan akan mematikanmu melalui dirimu dan akan
menghidupkanmu dalam diriNya.”[32]
Bagaimana bisa seorang hamba mati dalam dirinya dan kemudian hidup dalam
diriNya? Bagaimana ia bisa menerima dan mencapai keadaan ini? Al-Junayd
menjelaskannya melalui teori fana>-nya.
4.
Fana>
Kedua teori
al-Junayd, baik mi>tha>q
maupun fana> bermuara pada
satu tujuan, yakni tingkat tertinggi dari tauhid. Yang pertama menjelaskan
keadaan “kembali kepada Allah”, yang kedua menjelaskan tata cara, metode
ataupun langkah-langkah untuk mencapai keadaan tersebut. Keduanya saling
melengkapi satu sama lain.
Al-Junayd
mengenalkan tiga tahapan dalam fana>;
Pertama,
hilangnya
segala atribut, karakteristik, dan sifat natural dalam mengemban tugas
keagamaan, berjuang keras untuk melakukan hal yang berlawanan dengan nafsu dan
memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin diinginkan. Kedua, hilangnya
aktifitas yang menyenangkan digantikan dengan ketaatan penuh terhadapNya,
sehingga dirinya sepenuhnya milikNya tanpa ada perantara antara keduanya. Ketiga,
hilangnya
kesadaran akan penyaksian Tuhan dalam tahap terakhir dari ekstase, ketika
kuasaNya telah meliputi dirinya. Dalam keadaan ini dirinya hilang melebur dalam
keabadian dan eksistensi Tuhan.[33]
Tahapan pertama
berkenaan dengan kehidupan manusia. Manusia harus menyingkirkan perasaan cinta,
kehendak dan nafsunya seraya melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Tahap fana> ini merupakan
sebuah tahapan moral. Tahapan kedua menjelaskan bahwa seorang hamba harus
membuang semua kesenangan duniawi bahkan kesenangan dari perbuatan baiknya
sendiri dalam melaksanakan perintah agama. Tahapan ini merupakan sebuah tahapan
mental. Sedangkan pada tahapan terakhir, seorang hamba akan kehilangan kesadaran
akan dirinya ketika menghadap Tuhan. Keadaan ini telah digambarkan pada penjelasan
sebelumnya. Yang tertinggal hanya aspek fisiknya saja, eksistensi dalam dirinya
sudah hilang. Ia berada dalam kehidupan abadi, didalam dan bersama Tuhan.
Termasuk dalam
tahap akhir dari fana>
ini
adalah baqa>, suatu
keadaan dimana seorang hamba tinggal dan bersama Tuhan. Fana>, tidak
seperti Nirvana dalam Budha, yang hanya sampainya orang pada Tuhan, akan tetapi berlanjut
kepada baqa>-nya hamba dalam Tuhan.[34]
Yag perlu
dipahami dalam kebersatuan ini ialah, meskipun ini merupakan tingkatan
tertinggi bagi seorang hamba, tapi tetap saja ia tidak dapat mencapai keseluruhan
dari realitas Tuhan. Seorang hamba hanya berada dalam sebuah keadaan dimana ia
dapat melihat tuhan melalui ke-Maha AgunganNya.[35]
Penutup
Al-Junayd merupakan
seorang sufi klasik, seorang guru dan mufassir dalam tauhid. Ia memang bukan
yang pertama berbicara tentang tauhid, sufi sebelumnya, seperti Sari al-Saqati
dan Ma’ruf al Karkhi sudah berbicara tentang ini. Akan tetapi al-Junayd sudah
meletakkan tauhid pada posisi sentral dalam ranah sufistik.
Al-Junayd memahami
sepenuhnya bahwa pengalaman sufistik tidak bisa diurtaikan dengan akal, dan
berbahaya untuk dibicarakan secara terbuka mengenai rahasia terdalam dari iman
di hadapan orang-orang awam. Berdasarkan alasan inilah dia menolak al-Hallaj,
yang telah menjadi contoh mereka yang telah menjalani hukuman karena telah
berbicara secara terbuka tentang rahasia penyatuannya dengan Tuhan. Oleh
karenanya al-Junayd memmperhalus seni berbicaranya melalui isyarat, suatu
kecenderungan ynag mula-mula diprakarsai oleh Kharraz. Surat-surat dan
risalahnya ditulis dengan samar, bahasanya begitu padat sehingga sulit dipahami
oleh mereka yang tidak terbiasa dengan cara khusus pengungkapan tentang masalah
kesufian. Bahasa yang indah itu lebih menutupi rahasia yang mereka maksudkan
daripada membukakan makna yang sebenarnya.[36]
Dari
pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tasawuf Al-Junaid berlandaskan
Al-Quran dan hadits. Ia menjauhi praktek yang bertentangan dengan syariat
Islam. Adapun dasar-dasar pemikiran Al-Junaid tentang tasawuf yang dapat
penulis analisis adalah sebagai berikut:
1.
Seorang sufi
harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan menjalankan budi
pekerti yang baik, sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf yang selalu mengajarkan
sifat-sifat baik dan meninggalkan bidu pekerti yang jelek.
2. Ajaran
tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan
sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak
kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani dan mengambil sifat-sifat
ruhani.
3. Memalingkan
perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang beriman,
meninggalkan pergaulan dengan sesama (manusia) masih mudah dan berpaling kepada
Allah sulit. Ternyata berpaling dari nafsu lebih sulit lagi. Untuk itu, melawan
nafsu adalah sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4. Manusia
harus berpegang teguh kepada tauhid, termasuk dalam bertasawuf. Arti tauhid,
menurut Al-Junaid, adalah mengesakan Allah SWT. dengan sesempurna-Nya. Bahwa
sesungguhnya Allah itu esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak
berjumlah dan tidak pula tersusun, dan tak satupun yang menyerupai-Nya, Dia
Maha Mendengar, Dia Maha Melihat dan Maha Tunggal.
DAFTAR
RUJUKAN
Abdel-Kader, Dr. Ali Hassan The Life,
Personality and Writings of al-Junayd, London: Luzac&Company Ltd. 1962.
Al-‘Afi>fi>, Dr. Abu
al-‘Ala, al-Tas{awwuf, al-Thawrah al-Ru>hiyyah
fi al-Isla>m, Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1962.
Al-Baghdadi, al-Junayd Rasa>il
al-Junayd,
pny. ‘Ali
Abdu al-Qa>dir, Kairo: Bara>’i Wajdai, 1988.
Al-Kala>bidzi>, Abu
Bakar
Muhammad ibn Ishaq
al-Bukha>ri> al-Ta’arruf li Madzhabi Ahli al-Tas{awwuf, Kairo:
Da>r al-Ma’a>rif, 1933.
Al-Sulamiy, Abu
‘Abdu al-Rah{ma>n al-T{abaqa>t al-S{u>fiyyah, Kairo: Kita>b
al-Sha’bi, 1998.
Al-Taftaza>ni>, Dr. Abu, al-Wafa> Madkhal ila
al-Tas{awwuf al-Isla>miy, Kairo:
Da>r al-Thaqa>fah,
1976.
Al-Qushayri, Abd al-Kari>m al-Risa>lah al-Qushairiyyah
, Kairo: Da>r
al-Ma’rifah 1964.
Ghanam, Dr. T{al’at, Ad{wa>’ ‘ala al-Tas{awwuf, Kairo: ‘A<lam al-Kutub, t.t.
Ibn
Mulqin,
T{abaqa>t
al-Auliya>’, Beirut: Da>r al-Ma’rifah.
t.t.
Nicholson, Reynold. A. The Mystic of Islam, London:
Routledge, Paul Kegan, 1914.
Sells, Michael A., Early Islamic
Mysticism, New Jersey: Paulist Press. 1996.
Sharaf, Dr. Muhammad Jala>l, Dira>sa>t fi al-Tas{awwuf al-Isla>miy, Beirut: Da>r al-Fikr al-Ja>mi’iy, 1983.
Schimmel, Annemarie, Mystical Dimension of Islam, North Carolina: The University of
North Carolina Press, 1975.
[1]. Dr. Abu
al-Wafa> al-Taftaza>ni>, Madkhal ila al-Tas{awwuf al-Isla>miy, Kairo: Da>r
al-Thaqa>fah,
1976. Hal 111
[2]. Dr. Abu al-‘Ala al-‘Afi>fi>, al-Tas{awwuf,
al-Thawrah al-Ru>hiyyah fi al-Isla>m, Kairo: Da>r al-Thaqa>fah,
1962. Hal 92.
[4]. Ibid. loc.cit
[6]. Abu ‘Abdullah al-Ha>rith
ibn Asad al-Muha>sabi, berasal
dari Bas{rah, guru
orang Baghdad, pengarang kitab al-Ri’a>yah li Huqu>qilla>h
, wafat tahun 243 H.
[7]. Abi Sa’i>d Ahmad ibn ‘Isa al-Kharra>z, sahabat Dzun Nu>n
al-Mis{ri, dikatakan
bahwa ia merupakan salah satu orang yang pertama kali berbicara tentang fana>
dan baqa>,
wafat tahun 279 H.
[8]. Ibn Mulqin, op.cit. hal
59.
[9]. Dr. Ali Hassan Abdel-Kader, The Life,
Personality and Writings of al-Junayd, London: Luzac & Company Ltd.
1962. Hal 20.
[10]. Abu
Bakar Muhammad ibn Ishaq al-Bukha>ri>
al-Kala>bidzi>, al-Ta’arruf li Madzhabi Ahli al-Tas{awwuf, Kairo:
Da>r al-Ma’a>rif,
1933. Hal 12.
[13]. Abu
‘Abdu al-Rah{ma>n al-Sulamiy, al-T{abaqa>t al-S{u>fiyyah,
Kairo: Kita>b al-Sha’bi, 1998. Hal 50.
[14]. Abd al-Kari>m
al-Qushayri, al-Risa>lah al-Qushairiyyah , Kairo: Da>r al-Ma’rifah 1964. Hal 19.
[15]. Dr. Muhammad
Jala>l Sharaf, Dira>sa>t fi
al-Tas{awwuf al-Isla>miy, Beirut: Da>r al-Fikr al-Ja>mi’iy. Hal 301
[17]. Dr. Ali Hassan Abdel-Kader, op.cit.
Hal 68.
[28]. Loc.cit.
[29]. Op.cit. hal 43.
[30]. Dr. Ali Hassan Abdel-Kader, op.cit.
hal 78.
[33]. Dr.
Ali Hassan Abdel-Kader, op.cit. hal 81.
[34]. Reynold. A. Nicholson, The Mystic of
Islam, London: Routledge, Paul Kegan, 1914. Hal 149.
[36]. Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of
Islam, North Carolina: The University of North Carolina Press, 1975. Hal 58.
0 komentar :
Posting Komentar