Kamis, 13 November 2014


Ilmu Kalam; Sebuah Tinjauan Historis
Pendahuluan
Sejatinya, manusia secara naluriah membutuhkan Tuhan. Dalam artian, butuh kekuatan di luar dirinya yang mampu menolong saat keterbatasan kemanusiaannya, baik akal dan tenaganya tidak mampu lagi menjangkau. Hal ini bisa dilihat dalam sejarah peradaban manusia yang menyembah segala sesuatu yang mereka anggap sumber kekuatan dan mempunyai sifat penolong. Sebagai contoh, Nabi Ibrahim sebelum mengenal Tuhan Allah menyembah segala sesuatu yang ia anggap sumber kekuatan. Kaum Zoroaster yang menyembah api. Pada zaman Yunani kuno, manusia menyembah banyak Dewa. Dengan demikian, manusia membutuhkan sesuatu untuk disembah, disanjung, dan ditakuti yang dipercaya mampu menolong. Membutuhkan Tuhan sudah merupakan kepastian takterhindarkan dalam diri manusia.
Agama Islam mengajarkan monoteisme. Semua Nabi yang diutus Tuhan ke muka bumi membawa risalah yang sama, yaitu Tauhid. Keesaan Tuhan. Tauhid dalam tinjauan Islam merupakan hal yang sangat urgen; Harus dipahami dan diyakini oleh setiap muslim. Sebab dasar agama Islam adalah syahadah: Pengakuan dan meyakini secara total bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai rasulnya.
Meski Islam menanamkan ketauhidan, yakni Allah sebagai Tuhan yang satu, namun hal tersebut melahirkan banyak ragam pandangan dan konsep teologis yang berbeda-beda dalam diri penganutnya. Artinya, meskipun Tuhan sebagai obyek keyakinan umat Islam sama, yakni Allah, namun ketika Allah yang satu itu direspon dan dipahami oleh banyak individu umat Islam sejagad, maka justru melahirkan beragam konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Banyak terjadi perdebatan-perdebatan tentang Tuhan yang pada akhirnya memunculkan ilmu kalam.
Pada masa Muhammad, perdebatan yang mengarah pada persoalan seputar teologi, bisa dikatakan tidak ada. Ada kecendrungan “pasif” dari pada sahabat untuk memperdebatkan persoalan agama. Kalau pun ada, semuanya bisa diselesaikan dengan merujuk pada Muhammad sebagai tiang rusuk dan refrensi utama persoalan-persoalan Islam saat itu. Mungkin juga ada kecendrungan kearah perdebatan seputar ushul al-din, namun gaungnya tidak terdengar, karena tertutup olah wacana dakwah yang lebih urgen dan kontekstual saat itu. Wacana dakwah yang dimaksud di sini adalah pembentukan stabilitas berpikir ketuhanan umat Islam. Di samping itu, belum adanya impor pemikiran ke dalam bangunan paradigma berpikir umat Islam bisa dijadikan salah satu faktor penyebabnya.
Nama dan Istilah
            Sebenarnya, istilah yang diangkat dan dipakai para intelektual muslim untuk menyebut kajian ilmu kalam ini tidak tunggal. Mereka mempunyai beragam istilah untuk menyebut kajian mendasar tentang ajaran agama ini. Salah satunya adalah ilmu ushul al-din, yang didasarkan pada keberadaan kajian ini sebagai bagian paling mendasar dari agama. Istilah ini bisa dilihat dalam kitab ar-Razi (606 H). yang berjudul al-Mahshal fi ushul al-din dan kitab al-Syamil min Ushul al-din milik al-Juwaini (478 H).
            Sebagian ulama memakai istilah ‘ilmu al-tauhid (Ilmu yang mempelajari keesaan Tuhan). Isitilah ini diangkat dari tema pokok yang dipelajari dari kajian akidah tersebut, yaitu keesaan Tuhan. Di antara yang menyebut demikian adalah al-Maturidi (333 H). dalam bukunya ‘ilmu al-tauhid dan Muhammad Abduh (1323 H). dalam bukunya Risalah al-tauhid.
            Di samping itu terdapat istilah seperti al-fiqh al-Akbar yang dipakai Imam Abu Hanifa, ‘ilmu al-zdat al-shifah yang berangkat dari salah satu tema kajiannya tentang zdat dan sifat Tuhan, dan al-aqaid (kumpulan akidah) yang dikenalkan oleh, salah satunya, Ibnu Khaldun.
            Tetapi yang paling popular dari sekian istilah itu adalah ilmu kalam.
            Penamaan kajian teologis ini dengan istilah “Ilmu Kalam” juga mempunyai latar belakang yang beragam. Sebagian ulama mengembalikan sejarah penamaan ilmu kalam kepada fenomena yang muncul dalam perdebatan sengit tentang kalam Tuhan (al-Quran). Ini terjadi pada abad ke-3 H. ketika al-Makmun yang dijadikan paham muktazilah sebagai mazdhab resmi negara memaksa Imam Ibnu Hanbal untuk meyakini al-Qruan sebagai mahkluk. Tragedi ini  dikenal dengan tragedi Khalq al-Quran (penciptaan al-Quran)[1].
Sebagian yang lain mengembalikannya pada keterkaiatan kajian ini dengan kalam, yang berarti pembicaraan atau orasi-argumentatif. Pada masa lalu, realita pemilihan orasi-argumentatif untuk mengukuhkan dan menyebarkan ilmu ini sangat jelas terlihat. Debat menjadi salah satu forum yang takterpisahkan dari ilmu kalam.
            Ada yang menyederhanakannya pada keberadaan ulama-ulama ilmu kalam yang hanya berteori (kalam) tanpa aksi (‘amal/fi’li). Pembahasan ilmu ini abstrak dan teoritis. Sedangkan ulama-ulama fikih lebih banyak membahas persoalan amal praktis.[2]
            Salah satu ulasan menarik seputar latar belakang istilah ilmu kalam adalah, mengembalikan penamaan itu pada keterkaitan yang erat pada ilmu kalam dengan logika Yunani yang disebut oleh orang-orang Arab sebagai ilmu mantiq. Dan mantiq berarti kalam. Salah satu logika yang memengaruhi ilmu kalam klasik adalah, logika Aristoteles.
Definisi dan Karakter
            Al-Farabi mendefinisikan: “ilmu kalam adalah sebentuk karya yang membantu manusia mampu menolong ide-ide dan perbuatan yang diterangkan oleh pembuat agama dan mengahancurkan pendapat yang berseberangan dengannya.”[3]
            Tidak hanya al-Farabi, banyak tokoh yang juga melaluli jalan yang sama saat meramu definisi ilmu kalam. Berikut beberapa definisi dari tokoh Islam klasik tentang ilmu kalam:
1.      Abu Hayyan al-Tauhidi (310-414 H). dalam buku tsamrat al-‘Ulum ia menulis, ilmu kalam adalah sebuah pintu ilmu berkenaan dengan pokok-pokok agama, yang menjadikan akal sebagai landasan untuk menilai baik atau buruk.
2.      Abu Jakfar al-Tushi (385-460 H). mendefiniskan ilmu kalam dalam bukunya, Risalah syarh al-‘Ibarat al-Mushthalahah, sebagai “pokok-pokok ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari dzat Tuhan, sifat-sifatnya, yang berlandaskan undang-undang syariat, dalam prinsip dan tujuannya”
3.      Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H). ulama yang satu ini memberikan takrif Ilmu kalam dalam bukunya yang monomental insya’ ‘Ulum al-din, dengan sebuah kalimat yang pendek, yaitu “pengetahuan tentang yang ada, dengan apa yang ada berdasar undang-undang Islam (‘Ilmu al-maujud bima hua maujud al qanun al-Islam)”[4]
4.      Abdurahman bin Ahmad al-Iji (710-756 H.) mendifinisikan ilmu kalam sebagai "ilmu yang mampu meneguhkan akidah keagamaan dengan dalil-dalil yang jelas, dan menolak kerancuan."[5]
5.      Sa'duddin al-Taftazani (712-793 H.) mengatakan, ilmu kalam adalah "pengetahuan tentang kaidah-kaidah normatif teologi yang didasarkan pada dalil yang meyakinkan."[6]
Keragaman definisi yang dikemukakan beberapa tokoh Islam di atas mencerminkan perkembangan dan evolusi dinamik dalam wacana ilmu kalam. Ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang hidup dan mendapat kajian yang serius dari intelektual Islam, hingga sekarang.
Tetapi, seiring perkembangan sosio-religi umat Islam, karakter dan pola pandang umat Islam terhadap ilmu kalam klasik mulai berubah. Ilmu kalam tidak lagi diposisikan sebagai "tentara" yang bertugas mengamankan daerah keakidahan Islam, tetapi diidealkan untuk juga mampu memberikan jalan keluar bagi problematika kekinian.
Jika ilmu kalam klasik memerankan pembelaan terhadap akidah, maka seharusnya kini ia difungsikan sebagai pembelaan terhadap kemanusiaan, penentangan pada kolonialisme, dan rancang bangun masa depan manusia. Dari sudut pandang ini, Hassan Hanafi mengatakan bahwa ilmu kalam selalu baru dalam bentuknya sebagai penentangan terhadap tradisi status quo.[7]
Muncul dan Perkembangan Ilmu Kalam
            Tumbuh dan perkembangan ilmu kalam ini bermula pada kekhilafaan Ali bin Abi Thalib. Pada masa ini, banyak peperengan terjadi antar sesama umat Islam. Hal ini dipicu ketidaksetujuan sebagian sahabat atas kepemimpinan Ali yang atas dasar politik (menginginkan kekuasaan), terutama Talhah bin Ubaidillah dan Zuabir bin Awwam yang mendapat dukungan penuh dari Aisyah.[8] Tak ayal, pertentangan ini berbuah perang fisik yang terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Pada masa ini dikenal oleh umat Islam dengan fitnah al-kubra.[9] Pada masa ini pula banyak terjadi peperangan yang di antaranya adalah perang Unta[10] pada tahun 656 M.
Sebagaimana Talhah dan Zubair, Mu’awiyah yang pada waktu itu menjadi gubernur di Damaskus, juga menentang atas kekhilafaan Ali.  Mu’awiyah yang bagian terdekat dari keluarga Utsman bin Affan menuntut agar Ali segera menyelesaikan persoalan tersebut serta menarik pelaku pembunuh ke pengadilan. Tanpa itu, Mu’awiyah tidak akan mengakui eksistensi kekahalifaan Ali. Sementara Ali melihat bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan untuk menangkap dan mengadili pelaku pembunuhan khalifah Ustman.
Perselisihan antara kubu Ali dan Mu’awiyah akhirnya semakin meruncing. Mu’awiyah tetap bersikukuh pada pendiriannya, demikian juga dengan Ali. Pada akhirnya, Mu’awiyah memutuskan untuk melawan Ali dengan kekuatan militer. Terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin[11]. Hampir saja, pasukan Ali dapat memenangkan pertempuran. Namun kemudian Mu’awiyah menawarkan perdamaian.
Sikap Ali yang ingin berdamai dengam Mu’awiyah ini banyak ditentang oleh para pengikutnya. Bahkan mereka menuduh Ali telah keluar dari hukum Tuhan. Semboyan mereka, la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah). Dengan demikian Ali telah dituduh kafir oleh sebagian pengikutnya yang berakhir pada pemisahan dari golongan Ali. Orang-orang yang keluar dari barisan Ali ini yang dikenal oleh umat Islam sebagai kaum khawarij, yaitu orang yang keluar atau memisahkan diri.
Kaum Khawarij juga berkesimpulan, orang yang dipandang kafir tidak hanya mereka yang keluar dari hukum Islam (tidak mengikuti hukum al-Quran), akan tetapi, siapa saja yang melakukan dosa besar juga masuk pada golongan kafir atau murtad. Dari sinilah lahirnya beberapa aliran teologi dalam Islam.
Pertama, Khawarij yang berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar sama saja dengan orang kafir. Hukumannya sama, yakni dibunuh.
Kedua, Murji’ah. Golongan ini menyatakan, orang yang melakukan dosa besar tetap saja mukmin dan tidak kafir. Berkaitan dengan dosa yang diperbuatnya merupakan urusan personal dengan Tuhan.
Ketiga, Mu’tazilah yang berbeda pandangan dari dua aliran sebelumnya. Golongan ini menegaskan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak disebut kafir pun juga tidak bisa dikatakan munafik. Melainkan berada di tengah-tengah. (Manzilah baina manzilatain)[12]
Tidak hanya ketiga aliran ini yang muncul pada saat itu. Ada dua aliran yang sangat fenomenal dalam kalangan umat Islam, yang dikenal dengan Qadariyah dan Jabariyah. Qadariyah berpendapat bahwa manusialah yang menentukan takdirnya sendiri, baik atau buruk. Manusia mempunyai kemerdekaan penuh atas perbuatannya sendiri. Seluruh prestasi yang dihasilkan oleh manusia bukanlah dari Tuhan melainkan dari manusianya sendiri. Karena manusia diyakini mempunyai kekuatan untuk menghasilkan prestasi tersebut.
Ada pun Jabariyah, malah meyakini bahwa takdir Tuhan yang menentukan baik dan buruk pada manusia. Manusia tidak mempunyai kehendak, tidak mempunyai kekuasaan dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa oleh Tuhan.
Harun Nasution membagi kedalam tiga priode, Kemajuan, (Klasik 650-1250 M), kemunduran, (1250-1800 M), dan zaman modern (1800-dan seterusnya).

Priode Klasik 650-1250 M
Priode ini secara umum terbagi menjadi dua. Pertama, adalah priode klasik (650-100). Pada zaman ini, Islam mulai berkembang dan meluas melalui Afrika Utara hingga ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai ke India di Timur. Seluruh kawasan itu berada di bawah dan patuh pada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, Damsyik yang terakhir di Bagdad. Di masa inilah keemasan Islam, terbukti dengan maju pesatnya ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang sangat beragam, seperti fiqh, filsafat, sufisme, dan termasuk ilmu kalam. Pada priode ini pula, ulama-ulama fiqh muncul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifa, dan Imam Syafi’i. Sementara dalam bidang ilmu kalam, ulama-ulama yang lahir adalah Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, Washil bin Atha’, Abu Uzail, al-Nizam, dan al-Jubai.[13]
Kedua, adalah fase disintegrasi (1000-1250 M). dalam preode ini persatuan dan kesatuan umat Islam mulai mengalami kemunduran konflik politik sering kali melanda sehingga klimaksnya adalah hancurnya imperium Islam yang menyebabkan Bagdad dikuasai oleh Hulaghu Khan di tahun 1258 M.[14]
Priode Pertengahan 1250-1800 M
            Dalam priode ini juga dibagi ke dalam dua fase. Pertama, kemunduran (1250-1500 M). pada fase ini perpecahan dan disintegrasi antar umat Islam cukup meningkat. Dua kubu besar dalam bidang teologi, Sunni dan Syiah semakin menajam. Dilain hal, secara geografis Arab dan Persia nampak nyata perbedaannya. Hingga berdampak pada pembagian Arab, yang terdiri dari Arabia, Syuria, Irak, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya. Kedua,yaitu bagian Persia yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.
            Kedua, adalah fase tiga kerajaan besar (1500-1800). yang diawali dengan zaman kemajuan (1500-1700 650-1250 M). dan zaman kemunduran (1700-1800 M). tiga kerajaan besar itu adalah kerajaan Turki Usmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan kerajaan Mughol di India. Di masa kemajuan ini masing-masing kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing khusunya di bidang literartur dan seni arsitektur. Namun, bila dibandingkan dengan kemajuan di era klasik, kemajuan di era ini sungguh jauh. Karena pada pertengahan ini perhatian umat Islam terhadap ilmu pengetahuan masih merosot tajam alias sangat rendah.
Priode Modern 1800-Seterusnya
            Pada masa ini, umat Islam sadar dari tidur panjangnya. Mereka terjaga dengan keheranan atas ketertinggalan mereka dari Barat. Hal ini bermula dengan jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Umat Islam insaf dan sadar akan kelemahan-kelemahannya sendiri. Para raja dan tokoh-tokoh muslim sejak itu berpikir untuk mengembalikan kejayaan semula. Tentunya, hal ini bisa dicapai dengan pendidikan.
Kesimpulan
            Jika dilihat dari uraian singkat di atas. Penting digaris bawahi bahwa, yang melatar belakangi maju mundurnya peradaban Islam salah satunya karena faktor teologis. Misal pada masa klasik, pada masa ini teologi yang berkembang adalah sunnatullah atau berdasar pada hukum alam. Artinya prinsip keberimanan berdasarkan hanya pada rasio, teologi ini kajiannya murni filsafat. pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis. Sehingga produk teologi yang dihasilkan adalah teologi yang dibangun berdasarkan argumen logis-rasional. Melahirkan teologi sunnatullah atau natural ini di dukung oleh lahirnya iklim dialog antara dunia Islam dengan alam pemikiran Yunani. Di antara para filosof Yunani, Aristoteles adalah yang paling menarik bagi orang-orang Islam. Dari dia para pemikir muslim mengambil terutama metode berpikir sistematis dan rasional, yaitu al-mantiq (logika formal).
            Pada pertengahan atau dalam masa kemunduran ini, umat Islam banyak menganut paham Jabariyah, yang berpandangan bahwa segala sesuatu di muka bumi ini adalah kehendak Tuhan. Secara otomatis, akal sehat tidak akan bermain secara penuh dan total. Sebab segala sesuatunya Tuhan sudah menentukan. Dengan pandangan semacam ini, manusia hanya menjadi robot, yang digerakkan sesuai programnya.


Daftar Pustaka
Yunus, Muhammad, al-Tafkir baina al-din wa al-siyasah, Markaz al-Qahirah li Dirasat al-Huquq, Kairo, 1999

Jabbar, Abdul, Rifai (al), ‘ilmu al-kalam al-jadid, darul Hadi, cet. I, Bairut, 2002.

Qaramilki, Ahad, al-handasah al-makrifiyah li al-kalam al-jadid, cet. I, darul hadi, bairut, 2002.

Ahmad,Abdurahman bin Iji (al), al-Mawâqif fî 'ilm al-kalâm, Maktabah al-Mutanabbi, Kairo, tanpa tahun.

Syarh al-Maqâshid, Juz.I, hal. 5

Hanafi, Hassan, al-Ijtijâhât al-Jadîdah fî 'Ilm al-Kalâm, dalam Qadhâyâ Islâmiyah Mu'âshirah, ed. Abdul Jabbar al-Rifa'i, Darul Hadi, Beirut, 2002.

Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI,-Press 1986.

_______________Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta, Bulan Bintang.
















[1] Lihat Muhammad Yunus, al-Tafkir baina al-din wa al-siyasah, Markaz al-Qahirah li Dirasat al-Huquq, Kairo, 1999, hal, 41.
[2] Abdul Jabbar al-Rifai, ‘ilmu al-kalam al-jadid, darul Hadi, cet. I, Bairut, 2002, hal. 8
[3] Ahad Qaramilki, al-handasah al-makrifiyah li al-kalam al-jadid, cet. I, darul hadi, bairut, 2002, hal. 49.
[4] Ahad Qramilki, op, cit, hal 21-25.
[5] Abdurahman bin Ahmad al-Iji, al-Mawâqif fî 'ilm al-kalâm, Maktabah al-Mutanabbi, Kairo, tanpa tahun, hal. 7
[6] lihat Syarh al-Maqâshid, Juz.I, hal. 5
[7]  Hassan Hanafi, al-Ijtijâhât al-Jadîdah fî 'Ilm al-Kalâm, dalam Qadhâyâ Islâmiyah Mu'âshirah, ed. Abdul Jabbar al-Rifa'i, Darul Hadi, Beirut, 2002, hal. 22
[8] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI,-Press 1986, hal, 8.
[9] Al-fitnah al-kubrâ adalah perpecahan yang terjadi sejak terbunuhnya Utsman, kemudian terjadinya perang Unta, dan keretakan yang mengakibatkan terbentuknya kelompok Khawarij dan Syi’ah serta perampasan kekuasaan oleh Mu’awiyah, pendiri Dinasti Umayyah. Lihat, John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2002), cet. II, jilid II, hlm. 77
[10] Perang Unta atau juga dikenal dengan nama Perang Jamal terjadi pada tahun 36 H/657 M. Ketika Khalifah Utsman bin Affan wafat, warga Madinah dan tiga pasukan dari Mesir, Basrah dan Kufah bersepakat memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah baru. Namun pengangkatan Ali ini mendapat perlawanan dari Mu’awiyyah dan istri Nabi yaitu Aisyah. Penulakan Aisyah dapat dukungan dari Thalhah dan Zubair. 'Aisyah memimpin perang dan membawa sekitar 3o ribu pasukan dari Mekah duduk di atas unta dalam tandu tertutup. Banyak pasukan juga mengendarai unta, sehingga pasukan dari pihak ‘Aisyah disebut Ashhâb al-Jamâl (Pasukan Unta). Maka perang itu disebut Perang Unta. Ahirnya pasukan Aisyah menyerah setelah unta yang ditungganginya banyak tertancap anak panah. Peperangan ini hanya berlangsung sekitar satu hari. http://ms.wikipedia.org/wiki/Perang_Jamal.
[11] Perang Shiffin terjadi pada 37 H. Peperangan ini terjadi antara Ali dan Mu'awiyah di kota Shiffin yang kemudian dikenal dengan Perang Shiffin. Perang ini berlangsung beberapa minggu dan hampir dimenangkan oleh Ali, tetapi dengan kecerdikan dalam berpolitik, Amr ibn Ash sebagai pemimpin pasukan Mu’awiyah mengangkat lembaran-lembaran Al-quran di ujung pedang yang menandakan berakhirnya pemberontakan bersenjata yang terjadi dan mengikuti keputusan Al-quran. Dengan berbagai pertimbangan yang dilakukan Ali dan desakan dari para pengikutnya, akhirnya perdamaian pun terjadi dengan perundingan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, dari pihak Ali mengirimkan Abu Musa al-Asy’ari dan di pihak Mu'awiyah mengirimkan Amru bin Ash sebagai hakim dalam perundingan tersebut. http://wapedia.mobi/id/Pertempuran_Shiffin.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam, Op, Cit, hal 9.
[13] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta, Bulan Bintang,hal 12-13.
[14] Ibid,.

0 komentar :

Posting Komentar