Ilmu Kalam; Sebuah Tinjauan Historis
Pendahuluan
Sejatinya, manusia secara naluriah membutuhkan Tuhan. Dalam artian,
butuh kekuatan di luar dirinya yang mampu menolong saat keterbatasan
kemanusiaannya, baik akal dan tenaganya tidak mampu lagi menjangkau. Hal ini
bisa dilihat dalam sejarah peradaban manusia yang menyembah segala sesuatu yang
mereka anggap sumber kekuatan dan mempunyai sifat penolong. Sebagai contoh,
Nabi Ibrahim sebelum mengenal Tuhan Allah menyembah segala sesuatu yang ia
anggap sumber kekuatan. Kaum Zoroaster yang menyembah api. Pada zaman Yunani kuno,
manusia menyembah banyak Dewa. Dengan demikian, manusia membutuhkan sesuatu
untuk disembah, disanjung, dan ditakuti yang dipercaya mampu menolong.
Membutuhkan Tuhan sudah merupakan kepastian takterhindarkan dalam diri manusia.
Agama Islam mengajarkan monoteisme. Semua Nabi yang diutus Tuhan ke
muka bumi membawa risalah yang sama, yaitu Tauhid. Keesaan Tuhan. Tauhid dalam
tinjauan Islam merupakan hal yang sangat urgen; Harus dipahami dan diyakini
oleh setiap muslim. Sebab dasar agama Islam adalah syahadah: Pengakuan
dan meyakini secara total bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
sebagai rasulnya.
Meski Islam menanamkan ketauhidan, yakni Allah sebagai Tuhan yang
satu, namun hal tersebut melahirkan banyak ragam pandangan dan konsep teologis
yang berbeda-beda dalam diri penganutnya. Artinya, meskipun Tuhan sebagai obyek
keyakinan umat Islam sama, yakni Allah, namun ketika Allah yang satu itu
direspon dan dipahami oleh banyak individu umat Islam sejagad, maka justru melahirkan
beragam konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Banyak terjadi
perdebatan-perdebatan tentang Tuhan yang pada akhirnya memunculkan ilmu kalam.
Pada masa Muhammad, perdebatan yang mengarah pada persoalan seputar
teologi, bisa dikatakan tidak ada. Ada kecendrungan “pasif” dari pada sahabat
untuk memperdebatkan persoalan agama. Kalau pun ada, semuanya bisa diselesaikan
dengan merujuk pada Muhammad sebagai tiang rusuk dan refrensi utama
persoalan-persoalan Islam saat itu. Mungkin juga ada kecendrungan kearah
perdebatan seputar ushul al-din, namun gaungnya tidak terdengar, karena
tertutup olah wacana dakwah yang lebih urgen dan kontekstual saat itu. Wacana
dakwah yang dimaksud di sini adalah pembentukan stabilitas berpikir ketuhanan
umat Islam. Di samping itu, belum adanya impor pemikiran ke dalam bangunan
paradigma berpikir umat Islam bisa dijadikan salah satu faktor penyebabnya.
Nama dan Istilah
Sebenarnya,
istilah yang diangkat dan dipakai para intelektual muslim untuk menyebut kajian
ilmu kalam ini tidak tunggal. Mereka mempunyai beragam istilah untuk menyebut
kajian mendasar tentang ajaran agama ini. Salah satunya adalah ilmu ushul
al-din, yang didasarkan pada keberadaan kajian ini sebagai bagian paling
mendasar dari agama. Istilah ini bisa dilihat dalam kitab ar-Razi (606 H). yang
berjudul al-Mahshal fi ushul al-din dan kitab al-Syamil min Ushul
al-din milik al-Juwaini (478 H).
Sebagian ulama memakai
istilah ‘ilmu al-tauhid (Ilmu yang mempelajari keesaan Tuhan). Isitilah
ini diangkat dari tema pokok yang dipelajari dari kajian akidah tersebut, yaitu
keesaan Tuhan. Di antara yang menyebut demikian adalah al-Maturidi (333 H).
dalam bukunya ‘ilmu al-tauhid dan Muhammad Abduh (1323 H). dalam bukunya
Risalah al-tauhid.
Di samping itu
terdapat istilah seperti al-fiqh al-Akbar yang dipakai Imam Abu Hanifa, ‘ilmu
al-zdat al-shifah yang berangkat dari salah satu tema kajiannya tentang
zdat dan sifat Tuhan, dan al-aqaid (kumpulan akidah) yang dikenalkan
oleh, salah satunya, Ibnu Khaldun.
Tetapi yang paling
popular dari sekian istilah itu adalah ilmu kalam.
Penamaan kajian
teologis ini dengan istilah “Ilmu Kalam” juga mempunyai latar belakang yang
beragam. Sebagian ulama mengembalikan sejarah penamaan ilmu kalam kepada
fenomena yang muncul dalam perdebatan sengit tentang kalam Tuhan (al-Quran).
Ini terjadi pada abad ke-3 H. ketika al-Makmun yang dijadikan paham muktazilah
sebagai mazdhab resmi negara memaksa Imam Ibnu Hanbal untuk meyakini al-Qruan
sebagai mahkluk. Tragedi ini dikenal
dengan tragedi Khalq al-Quran (penciptaan al-Quran)[1].
Sebagian yang lain mengembalikannya pada keterkaiatan kajian ini
dengan kalam, yang berarti pembicaraan atau orasi-argumentatif. Pada masa lalu,
realita pemilihan orasi-argumentatif untuk mengukuhkan dan menyebarkan ilmu ini
sangat jelas terlihat. Debat menjadi salah satu forum yang takterpisahkan dari
ilmu kalam.
Ada yang
menyederhanakannya pada keberadaan ulama-ulama ilmu kalam yang hanya berteori (kalam)
tanpa aksi (‘amal/fi’li). Pembahasan ilmu ini abstrak dan teoritis.
Sedangkan ulama-ulama fikih lebih banyak membahas persoalan amal praktis.[2]
Salah satu ulasan
menarik seputar latar belakang istilah ilmu kalam adalah, mengembalikan
penamaan itu pada keterkaitan yang erat pada ilmu kalam dengan logika Yunani
yang disebut oleh orang-orang Arab sebagai ilmu mantiq. Dan mantiq berarti
kalam. Salah satu logika yang memengaruhi ilmu kalam klasik adalah, logika
Aristoteles.
Definisi dan Karakter
Al-Farabi
mendefinisikan: “ilmu kalam adalah sebentuk karya yang membantu manusia mampu
menolong ide-ide dan perbuatan yang diterangkan oleh pembuat agama dan
mengahancurkan pendapat yang berseberangan dengannya.”[3]
Tidak hanya
al-Farabi, banyak tokoh yang juga melaluli jalan yang sama saat meramu definisi
ilmu kalam. Berikut beberapa definisi dari tokoh Islam klasik tentang ilmu
kalam:
1.
Abu
Hayyan al-Tauhidi (310-414 H). dalam buku tsamrat al-‘Ulum ia menulis,
ilmu kalam adalah sebuah pintu ilmu berkenaan dengan pokok-pokok agama, yang
menjadikan akal sebagai landasan untuk menilai baik atau buruk.
2.
Abu
Jakfar al-Tushi (385-460 H). mendefiniskan ilmu kalam dalam bukunya, Risalah
syarh al-‘Ibarat al-Mushthalahah, sebagai “pokok-pokok ilmu kalam adalah
ilmu yang mempelajari dzat Tuhan, sifat-sifatnya, yang berlandaskan
undang-undang syariat, dalam prinsip dan tujuannya”
3.
Abu
Hamid al-Ghazali (450-505 H). ulama yang satu ini memberikan takrif Ilmu
kalam dalam bukunya yang monomental insya’ ‘Ulum al-din, dengan sebuah
kalimat yang pendek, yaitu “pengetahuan tentang yang ada, dengan apa yang ada
berdasar undang-undang Islam (‘Ilmu al-maujud bima hua maujud al qanun
al-Islam)”[4]
4.
Abdurahman
bin Ahmad al-Iji (710-756 H.) mendifinisikan ilmu kalam sebagai "ilmu yang
mampu meneguhkan akidah keagamaan dengan dalil-dalil yang jelas, dan menolak
kerancuan."[5]
5.
Sa'duddin
al-Taftazani (712-793 H.) mengatakan, ilmu kalam adalah "pengetahuan
tentang kaidah-kaidah normatif teologi yang didasarkan pada dalil yang
meyakinkan."[6]
Keragaman
definisi yang dikemukakan beberapa tokoh Islam di atas mencerminkan
perkembangan dan evolusi dinamik dalam wacana ilmu kalam. Ilmu kalam adalah
disiplin ilmu yang hidup dan mendapat kajian yang serius dari intelektual Islam,
hingga sekarang.
Tetapi,
seiring perkembangan sosio-religi umat Islam, karakter dan pola pandang umat
Islam terhadap ilmu kalam klasik mulai berubah. Ilmu kalam tidak lagi
diposisikan sebagai "tentara" yang bertugas mengamankan daerah
keakidahan Islam, tetapi diidealkan untuk juga mampu memberikan jalan keluar
bagi problematika kekinian.
Jika
ilmu kalam klasik memerankan pembelaan terhadap akidah, maka seharusnya kini ia
difungsikan sebagai pembelaan terhadap kemanusiaan, penentangan pada
kolonialisme, dan rancang bangun masa depan manusia. Dari sudut pandang ini,
Hassan Hanafi mengatakan bahwa ilmu kalam selalu baru dalam bentuknya sebagai
penentangan terhadap tradisi status quo.[7]
Muncul dan
Perkembangan Ilmu Kalam
Tumbuh
dan perkembangan ilmu kalam ini bermula pada kekhilafaan Ali bin Abi Thalib.
Pada masa ini, banyak peperengan terjadi antar sesama umat Islam. Hal ini
dipicu ketidaksetujuan sebagian sahabat atas kepemimpinan Ali yang atas dasar
politik (menginginkan kekuasaan), terutama Talhah bin Ubaidillah dan Zuabir bin
Awwam yang mendapat dukungan penuh dari Aisyah.[8]
Tak ayal, pertentangan ini berbuah perang fisik yang terjadi antara pasukan Ali
bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Pada masa ini dikenal oleh umat Islam
dengan fitnah al-kubra.[9]
Pada masa ini pula banyak terjadi peperangan yang di antaranya adalah perang
Unta[10]
pada tahun 656 M.
Sebagaimana
Talhah dan Zubair, Mu’awiyah yang pada waktu itu menjadi gubernur di Damaskus,
juga menentang atas kekhilafaan Ali.
Mu’awiyah yang bagian terdekat dari keluarga Utsman bin Affan menuntut
agar Ali segera menyelesaikan persoalan tersebut serta menarik pelaku pembunuh
ke pengadilan. Tanpa itu, Mu’awiyah tidak akan mengakui eksistensi kekahalifaan
Ali. Sementara Ali melihat bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu tidak
memungkinkan untuk menangkap dan mengadili pelaku pembunuhan khalifah Ustman.
Perselisihan
antara kubu Ali dan Mu’awiyah akhirnya semakin meruncing. Mu’awiyah tetap
bersikukuh pada pendiriannya, demikian juga dengan Ali. Pada akhirnya,
Mu’awiyah memutuskan untuk melawan Ali dengan kekuatan militer. Terjadilah pertempuran
hebat antara pasukan Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin[11].
Hampir saja, pasukan Ali dapat memenangkan pertempuran. Namun kemudian
Mu’awiyah menawarkan perdamaian.
Sikap
Ali yang ingin berdamai dengam Mu’awiyah ini banyak ditentang oleh para
pengikutnya. Bahkan mereka menuduh Ali telah keluar dari hukum Tuhan. Semboyan
mereka, la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah).
Dengan demikian Ali telah dituduh kafir oleh sebagian pengikutnya yang berakhir
pada pemisahan dari golongan Ali. Orang-orang yang keluar dari barisan Ali ini
yang dikenal oleh umat Islam sebagai kaum khawarij, yaitu orang yang keluar
atau memisahkan diri.
Kaum
Khawarij juga berkesimpulan, orang yang dipandang kafir tidak hanya mereka yang
keluar dari hukum Islam (tidak mengikuti hukum al-Quran), akan tetapi, siapa
saja yang melakukan dosa besar juga masuk pada golongan kafir atau murtad. Dari
sinilah lahirnya beberapa aliran teologi dalam Islam.
Pertama,
Khawarij yang berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar
sama saja dengan orang kafir. Hukumannya sama, yakni dibunuh.
Kedua, Murji’ah. Golongan ini menyatakan, orang yang melakukan dosa
besar tetap saja mukmin dan tidak kafir. Berkaitan dengan dosa yang
diperbuatnya merupakan urusan personal dengan Tuhan.
Ketiga, Mu’tazilah yang berbeda pandangan dari dua aliran sebelumnya.
Golongan ini menegaskan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak disebut
kafir pun juga tidak bisa dikatakan munafik. Melainkan berada di tengah-tengah.
(Manzilah baina manzilatain)[12]
Tidak
hanya ketiga aliran ini yang muncul pada saat itu. Ada dua aliran yang sangat
fenomenal dalam kalangan umat Islam, yang dikenal dengan Qadariyah dan Jabariyah.
Qadariyah berpendapat bahwa manusialah yang menentukan takdirnya sendiri, baik
atau buruk. Manusia mempunyai kemerdekaan penuh atas perbuatannya sendiri.
Seluruh prestasi yang dihasilkan oleh manusia bukanlah dari Tuhan melainkan
dari manusianya sendiri. Karena manusia diyakini mempunyai kekuatan untuk
menghasilkan prestasi tersebut.
Ada
pun Jabariyah, malah meyakini bahwa takdir Tuhan yang menentukan baik dan buruk
pada manusia. Manusia tidak mempunyai kehendak, tidak mempunyai kekuasaan dan
tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa
oleh Tuhan.
Harun
Nasution membagi kedalam tiga priode, Kemajuan, (Klasik 650-1250 M),
kemunduran, (1250-1800 M), dan zaman modern (1800-dan seterusnya).
Priode Klasik
650-1250 M
Priode ini secara umum terbagi menjadi dua. Pertama, adalah
priode klasik (650-100). Pada zaman ini, Islam mulai berkembang dan meluas
melalui Afrika Utara hingga ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai ke India
di Timur. Seluruh kawasan itu berada di bawah dan patuh pada kekuasaan khalifah
yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, Damsyik yang terakhir di Bagdad. Di
masa inilah keemasan Islam, terbukti dengan maju pesatnya ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang sangat beragam, seperti
fiqh, filsafat, sufisme, dan termasuk ilmu kalam. Pada priode ini pula,
ulama-ulama fiqh muncul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifa, dan Imam Syafi’i.
Sementara dalam bidang ilmu kalam, ulama-ulama yang lahir adalah Imam
al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, Washil bin Atha’, Abu Uzail, al-Nizam, dan
al-Jubai.[13]
Kedua, adalah fase
disintegrasi (1000-1250 M). dalam preode ini persatuan dan kesatuan umat Islam
mulai mengalami kemunduran konflik politik sering kali melanda sehingga
klimaksnya adalah hancurnya imperium Islam yang menyebabkan Bagdad dikuasai
oleh Hulaghu Khan di tahun 1258 M.[14]
Priode Pertengahan 1250-1800 M
Dalam priode ini juga dibagi ke dalam dua fase. Pertama,
kemunduran (1250-1500 M). pada fase ini perpecahan dan disintegrasi antar umat
Islam cukup meningkat. Dua kubu besar dalam bidang teologi, Sunni dan Syiah
semakin menajam. Dilain hal, secara geografis Arab dan Persia nampak nyata
perbedaannya. Hingga berdampak pada pembagian Arab, yang terdiri dari Arabia,
Syuria, Irak, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya.
Kedua,yaitu bagian Persia yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil,
Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.
Kedua,
adalah fase tiga kerajaan besar (1500-1800). yang diawali dengan zaman kemajuan
(1500-1700 650-1250 M). dan zaman kemunduran (1700-1800 M). tiga kerajaan besar
itu adalah kerajaan Turki Usmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki, kerajaan
Safawi di Persia, dan kerajaan Mughol di India. Di masa kemajuan ini
masing-masing kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing khusunya di bidang
literartur dan seni arsitektur. Namun, bila dibandingkan dengan kemajuan di era
klasik, kemajuan di era ini sungguh jauh. Karena pada pertengahan ini perhatian
umat Islam terhadap ilmu pengetahuan masih merosot tajam alias sangat rendah.
Priode Modern 1800-Seterusnya
Pada masa ini, umat Islam sadar dari tidur panjangnya. Mereka
terjaga dengan keheranan atas ketertinggalan mereka dari Barat. Hal ini bermula
dengan jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Umat Islam insaf dan sadar akan
kelemahan-kelemahannya sendiri. Para raja dan tokoh-tokoh muslim sejak itu
berpikir untuk mengembalikan kejayaan semula. Tentunya, hal ini bisa dicapai
dengan pendidikan.
Kesimpulan
Jika dilihat dari
uraian singkat di atas. Penting digaris bawahi bahwa, yang melatar belakangi
maju mundurnya peradaban Islam salah satunya karena faktor teologis. Misal pada
masa klasik, pada masa ini teologi yang berkembang adalah sunnatullah
atau berdasar pada hukum alam. Artinya prinsip keberimanan berdasarkan
hanya pada rasio, teologi ini kajiannya murni filsafat. pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan filosofis. Sehingga produk teologi yang dihasilkan adalah
teologi yang dibangun berdasarkan argumen logis-rasional. Melahirkan teologi sunnatullah
atau natural ini di dukung oleh lahirnya iklim dialog antara dunia Islam dengan
alam pemikiran Yunani. Di antara para filosof Yunani, Aristoteles adalah yang
paling menarik bagi orang-orang Islam. Dari dia para pemikir muslim mengambil
terutama metode berpikir sistematis dan rasional, yaitu al-mantiq (logika
formal).
Pada pertengahan
atau dalam masa kemunduran ini, umat Islam banyak menganut paham Jabariyah,
yang berpandangan bahwa segala sesuatu di muka bumi ini adalah kehendak Tuhan.
Secara otomatis, akal sehat tidak akan bermain secara penuh dan total. Sebab
segala sesuatunya Tuhan sudah menentukan. Dengan pandangan semacam ini, manusia
hanya menjadi robot, yang digerakkan sesuai programnya.
Daftar Pustaka
Yunus, Muhammad, al-Tafkir baina
al-din wa al-siyasah, Markaz al-Qahirah li Dirasat al-Huquq, Kairo, 1999
Jabbar, Abdul, Rifai (al), ‘ilmu
al-kalam al-jadid, darul Hadi, cet. I, Bairut, 2002.
Qaramilki, Ahad, al-handasah
al-makrifiyah li al-kalam al-jadid, cet. I, darul hadi, bairut, 2002.
Ahmad,Abdurahman bin Iji
(al), al-Mawâqif fî 'ilm al-kalâm, Maktabah al-Mutanabbi, Kairo, tanpa
tahun.
Syarh al-Maqâshid,
Juz.I, hal. 5
Hanafi, Hassan, al-Ijtijâhât
al-Jadîdah fî 'Ilm al-Kalâm, dalam Qadhâyâ Islâmiyah Mu'âshirah, ed.
Abdul Jabbar al-Rifa'i, Darul Hadi, Beirut, 2002.
Nasution, Harun, Teologi Islam,
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI,-Press 1986.
_______________Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan
Gerakan), Jakarta, Bulan Bintang.
[1] Lihat Muhammad
Yunus, al-Tafkir baina al-din wa al-siyasah, Markaz al-Qahirah li
Dirasat al-Huquq, Kairo, 1999, hal, 41.
[2] Abdul Jabbar
al-Rifai, ‘ilmu al-kalam al-jadid, darul Hadi, cet. I, Bairut, 2002,
hal. 8
[3] Ahad
Qaramilki, al-handasah al-makrifiyah li al-kalam al-jadid, cet. I, darul
hadi, bairut, 2002, hal. 49.
[4] Ahad Qramilki,
op, cit, hal 21-25.
[5] Abdurahman bin Ahmad
al-Iji, al-Mawâqif fî 'ilm al-kalâm, Maktabah al-Mutanabbi, Kairo, tanpa
tahun, hal. 7
[7] Hassan Hanafi, al-Ijtijâhât
al-Jadîdah fî 'Ilm al-Kalâm, dalam Qadhâyâ Islâmiyah Mu'âshirah, ed.
Abdul Jabbar al-Rifa'i, Darul Hadi, Beirut, 2002, hal. 22
[8] Harun
Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta,
UI,-Press 1986, hal, 8.
[9] Al-fitnah al-kubrâ adalah perpecahan yang terjadi sejak
terbunuhnya Utsman, kemudian terjadinya perang Unta, dan keretakan yang
mengakibatkan terbentuknya kelompok Khawarij dan Syi’ah serta perampasan
kekuasaan oleh Mu’awiyah, pendiri Dinasti Umayyah. Lihat, John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2002), cet. II, jilid II, hlm.
77
[10] Perang Unta atau juga dikenal dengan nama
Perang Jamal terjadi pada tahun 36 H/657 M. Ketika Khalifah Utsman bin Affan
wafat, warga Madinah dan tiga pasukan dari Mesir, Basrah dan Kufah bersepakat
memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah baru. Namun pengangkatan Ali ini mendapat
perlawanan dari Mu’awiyyah dan istri Nabi yaitu Aisyah. Penulakan Aisyah dapat
dukungan dari Thalhah dan Zubair. 'Aisyah memimpin perang dan membawa sekitar
3o ribu pasukan dari Mekah duduk di atas unta dalam tandu tertutup. Banyak
pasukan juga mengendarai unta, sehingga pasukan dari pihak ‘Aisyah disebut Ashhâb
al-Jamâl (Pasukan Unta). Maka perang itu disebut Perang Unta. Ahirnya
pasukan Aisyah menyerah setelah unta yang ditungganginya banyak tertancap anak
panah. Peperangan ini hanya berlangsung sekitar satu hari. http://ms.wikipedia.org/wiki/Perang_Jamal.
[11] Perang Shiffin terjadi pada 37 H. Peperangan ini terjadi antara Ali dan
Mu'awiyah di kota Shiffin yang kemudian dikenal dengan Perang Shiffin. Perang
ini berlangsung beberapa minggu dan hampir dimenangkan oleh Ali, tetapi dengan
kecerdikan dalam berpolitik, Amr ibn Ash sebagai pemimpin pasukan Mu’awiyah
mengangkat lembaran-lembaran Al-quran di ujung pedang yang menandakan
berakhirnya pemberontakan bersenjata yang terjadi dan mengikuti keputusan
Al-quran. Dengan berbagai pertimbangan yang dilakukan Ali dan desakan dari para
pengikutnya, akhirnya perdamaian pun terjadi dengan perundingan yang dilakukan
oleh kedua belah pihak, dari pihak Ali mengirimkan Abu Musa al-Asy’ari dan di
pihak Mu'awiyah mengirimkan Amru bin Ash sebagai hakim dalam perundingan
tersebut. http://wapedia.mobi/id/Pertempuran_Shiffin.
[12]
Harun Nasution, Teologi Islam, Op, Cit, hal 9.
[13]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan),
Jakarta, Bulan Bintang,hal 12-13.
[14]
Ibid,.
0 komentar :
Posting Komentar