Kamis, 13 November 2014


Pendahuluan
            Istilah tasawuf baru muncul pada bad ketiga hijriah. Pada abad pertama dan kedua hijriyah, istilah tersebut belum ada, ia masih menggunakan istilah zuhd. Pada abad ketiga kemudian mulai muncul istilah-istilah yang belum dikenal sebelumnya seperti maqa>ma>t, ma’rifah, ittih{a>d, h{ulu>l dan lain sebagainya.[1] Pada abad ketiga dan keempat hiriyah, tasawuf mencapai masa keemasannya.[2] arang terdapat kitab-kitab yang membahas tasawuf, konsep-konsepnya tidak banyak diketahui, berbeda dengan disiplin ilmu yang lain yang pembahasannya ketika itu terbuka dan jejaknya dapat diketahui melalui literatur yang ada. Hal ini dikarenakan persepsi banyak orang di zaman itu yang menganggap bahwa tasawuf merupakan suatu penyimpangan agama. Hal inilah yang menjadikan al-Junayd dan sufi lainnya tidak membeberkan secara jelas pemikiran dan pandangan-pandangan mereka, interaksi dengan murid-muridnya juga dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
            Al-Junayd al-Baghdadi sebagai seorang sufi besar di abad ketiga memegang peran sentral dalam perkembangan tasawuf selanjutnya. Sufi-sufi setelahnya banyak bertolak dari pengalaman ataupun teori tasawufnya. Ia juga terkenal sebagai sufi moderat yang meskipun disibukkan dengan dunia sufistiknya, ia tidak meninggalkan sama sekali kehidupan dunianya. Hal ini ditunjukkan dengan keadaannya sebagai pedagang di kota Baghdad.
Dalam tasawuf al-Junayd banyak berbicara tentang tauhid, dengan dua instrumen penghantarnya, yakni mi>tha>q dan fana>. Semua ini akan dibahas dalam makalah ini pada pembahasan pemikiran tasawuf al-Junayd, setelah sebelumnya mengulas sedikit tentang perjalanan hidupnya.

Biografi  al-Junayd al-Baghdadi.
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qa>sim Al-junayd bin Muhammad bin Al-junayd al-Khozzaz al-Qawaririy, ia dilahirkan dan besar di Baghdad. Diperkirakan ia lahir pada 210 H.[3] Ayahnya adalah pedagang kaca/barang pecah belah. Pasca  ayahnya wafat, ia dididik oleh pamannya, al-Sari al-Saqat{i. Rumah pamannya  ini merupakan lingkungan sufi, disitu juga banyak terdapat majlis ilmu dan dzikir. Disitulah al-junayd memperdalam ilmu. Beliau merupakan salah seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih. Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imam Abu Thaur.[4] Al-junayd sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut dalam umurnya yang baru 20 tahun.[5] Beliau lama bergaul dan belajar kepada al-Ha>rith al-Muh{asibi,[6] , Abi Sa’i>d al-Kharra>z,[7] dan sufi terkemuka lainnya. Di kalangan sufi Al-junayd dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid al-T{a>ifah as{-S{u>fiyyah.
Sejak kecil, al-Junayd terkenal sebagai seorang anak yang cerdas, sehingga sangat mudah dan cepat belajar ilmu-ilmu agama dari pamannya. Karena kecerdasannya itu, ketika berumur tujuh tahun, al-Junayd telah diuji oleh gurunya dengan sebuah pertanyaan tentang makna syukur. Ia menjawab: “Syukur ialah ketika engkau tidak menggunakan karuniaNya untuk bermaksiat kepadaNya.”[8] Kehidupan al-Junayd al-Baghda>di>, di samping sebagai seorang sufi yang senantiasa mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, ia juga sebagai pedagang barang-barang pecah belah di pasar tradisional. Selesai berdagang, beliau pulang ke rumah dan mampu mengerjakan salat dalam waktu sehari semalam sebanyak empat ratus rakaat.
Al-Junayd al-Baghda>di> adalah seorang sufi yang mempunyai prinsip tak kenal putus asa. Terbukti, misalnya dalam ibadah, baik di kala sehat maupun sakit, ia senantiasa konsisten melaksanakannya; bahkan, dalam keadaan sakit, ia merasa semakin dekat dengan Allah. Di samping itu, al-Junayd memiliki sifat tegas dalam pendirian. Ini terlihat ketika ia menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati muridnya sendiri, H}usayn ibn Manshu>r al-H}alla>j (w. 309/ 922 M), sufi pencetus al-hulu>l. Dalam surat kuasa itu, ia menulis dengan tegas, “Berdasarkan syari’at, ia (al-H}alla>j) bersalah, tetapi menururt hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui” .
Dalam masa-masa hidupnya, al-Junayd menghadapi kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama dari kaum ortodok. Karena perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi ketika itu, maka al-Junayd melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari murid-muridnya secara diam-diam.
Di saat-saat akan meninggal al-Junayd membaca Al Quran sampai tamat. Lalu, ketika ia memulai lagi dari surat Al-Baqarah sampai ayat ke-70, barulah ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Al-Junayd meninggal pada tahun 298 H dan dimakamkan tepat di sebelah makam pamannya. Sari Al-Saqati.

Karya-Karya Al-Junayd
Al-Junayd sendiri sebenarnya termasuk seorang sufi yang tawadhu. Dari sikapnya ini, ia pernah mengatakan bahwa ajaran-ajaran sufinya tak perlu disebarluaskan. la khawatir  pikiran-pikirannya itu membuat orang lupa pada ajaran Rasulullah.[9] Kendati begitu, menurut al-Sarra>j, Al-Junayd pernah menulis kitab yang berjudul Al-Muna>ja>t dan Sharh> Shat{iyyat Abi Yazi>d Al-Bisht{ami. Juga ada bukunya yang berjudul Tas{i>h Al-lra>dah dan Al Rasa>il. Al-Rasa>il selain berisi surat-surat Al-Junayd yang dikirimkannya kepada para sahabatnya, juga memuat ajaran-ajaran Al-Junayd sendiri berupa tulisan para muridnya ketika menerima pelajaran dari dia. Selain itu ada satu lagi karya tulisnya. berjudul Dawa Al-Tafit. Buku itu konon kini tersimpan di Birmingham, Inggris.Tetapi yang jelas, ajaran-ajaran tasawuf Al-Junayd tersebar di beberapa karya para sufi lainnya, lewat berbagai kutipan-kutipan. Imam Al-Ghazali sendiri tampaknya mengetahui ajaran Al-Junayd melalui berbagai kutipan yang terdapat dalam buku-buku tasawuf. Didalam biografinya, Al-Ghazali mengakui bahwa ajaran-ajaran sufi yang terdapat dalam  bukunya merupakan kumpulan dari ucapan Al-Junayd, As-Shibly, dan Abu Yazid yang tersebar di beberapa buku.[10]



Pemikiran Tasawuf al-Junayd al-Baghdadi
Dalam pemikiran tasawuf Al-Junayd, Allah itu Maha Suci. KesucianNya adalah azali dan abadi. Allah itu suci sejak keberadaanNya yang tanpa awal dan akan terus demikian tanpa akhir. Sementara manusia yang terdiri dari ruh dan jasad, berbeda dari Tuhan. Pada mulanya ruh manusia diciptakan dalam keadaan suci bersih. Dia tidak mempunyai keinginan apa-apa selain kepada Tuhan. Namun setelah ruh itu dimasukkan ke dalam tubuh manusia, ia rnenjadi terikat dengan unsur ciptaan (makhluk) dan nafsu yang ada dalam tubuh manusia, bahkan terkadang berada di bawah pengaruh nafsu yang berusaha untuk menariknya pada berbagai kesenangan duniawi. Pada gilirannya, ruh terpesona dengan dorongan nafsu atas kemewahan dunia. Karena keinginan dan terpengaruhnya ruh pada benda-benda dunia inilah yang kemudian menyebabkan ruh tak lagi suci seperti semula. la tercemar karena dilumuri hasrat dan kenikmatan dunia yang menipu. Kendati demikian, dari pemahaman itu, manusia menurut Al-Junayd bisa dekat bahkan bersatu (ittihad) dengan Tuhan melalui tasawuf.
Menurut Al-Kala>bidzi>, ajaran tasawuf al-Junayd meliputi: pemurnian hati dari unsur-unsur liar, pemisahan akhlaq dari tabiatnya, menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan, melenyapkan nafsu, menghadirkan sifat-sifat ruhaniyah, memahami ilmu hakikat, bersatu dengan yang abadi dan selanjutnya harus mengajak umat dan membimbingnya ke jalan yang benar serta mengikuti petunjuk Rasul dalam shariah.[11]
Banyak tarekat tasawuf yang silsilahnya melalui al-junayd al-Baghdadi. Paham dan amalan tasawufnya banyak digali melalui pengalaman-pengalaman sufistiknya.[12] Konsep dan pemikiran tasawuf al-junayd al-Baghdadi belum tersusun secara sistematis, akan tetapi lebih banyak dijelaskan melalui ungkapan-ungkapan verbalnya, terutama dalam surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya. Melalui ungkapan-ungkapan itulah konsep tasawufnya dapat dipahami. Berikut ini akan dijelaskan beberapa aspek dalam pemikiran tasawuf al-junayd.

1.      Antara Tasawuf dan Shariat.
Mengenai kaitan antara syariat dan tasawuf, al-Junayd berkata kepada orang yang mengatakan: “Ahli ma’rifat akan sampai kepada kondisi dimana ia terbebas dari kewajiban-kewajibannya”. Al-Junayd menjawab: “Ini merupakan perkataan seseorang yang meninggalkan amalan (syariat), dan hal ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya, orang yang berzina dan mencuri lebih baik daripada orang yang mengatakan demikian.”[13] Hal ini dapat dijelaskan karena orang yang berzina atau mencuri menyadari dan mengetahui perbuatannya dan bisa jadi mengharapkan pertaubatan, akan tetapi bagi orang yang mengaku dekat dengan Allah, ia tidak akan menyadari perbuatannya karena ia merasa di maqa>m yang tertinggi. Melalui jawabannya itu al-Junayd ingin menegaskan pentingnya shariat dalam bertasawuf. Hal lain yang bisa dijadikan tolak ukur pandangan al-Junayd tentang relasi keduanya (shariat dan tasawuf) ialah ucapannya: “Barang siapa yang tidak mempelajari dan memahami al-Quran dan Hadith, dia tidak dapat memasuki dunia ini (tasawuf).”[14]
Beberapa pendapat diatas mencerminkan sikap al-Junayd. Ia meletakkan shariat sebagai dasar dari tasawuf. Oleh karena itu menurutnya, tidak ada yang esoteris tanpa adanya yang eksoterik dan tidak ada hakikat tanpa shariat. [15]
Dari sikapnya itu al-Junayd dianggap sebagai orang yang “mengislamkan” tasawuf atau yang meletakkan dasar-dasar tasawuf Islami.[16]

2.      Tauh{i>d
Pada masa al-Junayd diskursus tentang tauhid dibicarakan oleh semua aliran dalam Islam, terutama Muktazilah, yang mempunyai kekuasaan yang besar ketika itu.[17] Kaum sufi saat itu kurang setuju terhadap pendekatan yang digunakan Muktazilah dan definisi yang dihasilkannya. Para sufi menegaskan bahwa tauhid tidak dapat didefinisikan secara sederhana atau bahkan tidak dapat didefinisikan. Seperti kata al-Junayd: “Definisi terbaik mengenai tauhid ialah apa yang dikatakan Abu Bakar: “Segala puji bagi Allah, yang tidak menjadikan jalan bagi makhlukNya untuk mengenalnya, melainkan ketidakmampuan untuk mengenalnya”.”[18] Dari ucapan ini dapat dipahami bahwa menurut al-Junayd, tauhid diluar jangkauan akal. Senada dengan ucapan sebelumnya, al-Junayd berkata: “Tauhid merupakan sebuah realitas yang tidak terdapat jejak dan tandanya, yang tersisa hanyalah Allah.”[19]
Selain itu, salah satu ucapan al-Junayd yang terkenal mengenai tauhid ialah: “Tauhid ialah pemisahan antara yang qidam (tidak diciptakan) dan h{uduth (diciptakan).[20] Perkataaan ini mengandung makna; pemisahan esensi abadi dari esensi yang diciptakan, pemisahan segala atribut kemanusiaan, dan pemisahan tindakan.[21] Semua itu dilakukan untuk menghilangkan segala hal selain Tuhan. Tauhid dalam pengertian ini menurut al-Junayd termasuk dalam tauhid khawas. Ucapan al-Junayd  ini banyak  mempengaruhi sufi-sufi setelahnya, seperti Sarra>j, yang setelah mendefinisikan tauhid menurut orang kebanyakan dari sudut pandang sufi, ia mengomentari pernyataan al-Shibli seraya mencamtumkan ucapan al-Junayd diatas. Al-Hujwiri juga mengomentari dengan ucapan al-Junayd ini dalam pembahasan tentang tauhid.[22] Demikian juga al-Qushayri, ia memulai bab pertama dalam kitabnya dengan ucapan al-Junayd ini.[23]
Dalam tahapan-tahapan di dunia tasawuf, Al-Junayd menjelaskan bahwa permulaan dari beribadah kepada Allah ialah ma’rifatullah, dan dasar dari ma’rifatullah ialah tauhid. Kemudian ia menjelaskan rangkaian dari proses tauhid hingga ke tahapan wah{dah al-shuhu>d dan tahapan-tahapan lainnya, seperti berikut:
Aturan dari pengesaan Allah ialah penegasian sifat-sifat terhadapNya, berkaitan dengan apa, kenapa dan dimana sebagai permohonan petunjuk atasNya, hal ini akan membawa kepada taufi>qNya, dan dengan taufi>q ini akan muncul tauh{i>d kepadaNya. Dari tauh{i>d akan berlanjut kepada tas{di>q. dan dari tas{di>q berlanjut kepada tah{qi>q. Dari tah{qi>q akan tercapai ma’rifah kepadaNya, dari ma’rifah  akan tercapai istija>bah, dan dari istija>bah akan menuju kepada taraqqi>, dan dari fase ini akan tercapai ittis{al kepadaNya, dan dari ittis{al akan tercapai penjelasan tentangNya, setelah tercapai penjelasan tentangNya akan terjadi kebingungan dan dari kebingungan seseorang akan beranjak dari penjelasan tentangNya, setelah beranjak, pensifatan atasNya akan terputus, yang kemudian akan mengantarkan pada hakikat wujudNya, dari hakikat wujudNya akan terjadi hakikat shuhu>d. yang berujung pada pemurnian wujudNya.[24] 

Dalam penjabaran tersebut al-Junayd mengungkapkan bahwa pengembaraan manusia dalam tasawuf bertujuan akhir, kembalinya ia kepada keadaan pertama di zaman azali dahulu, suatu keadaan sebelum eksistensi dirinya saat ini.
Al-Junayd membagi tauhid kedalam empat tingkatan: Pertama, tauhid awam, yakni ikrar atas keEsaan Allah dengan penafian terhadap tuhan, berhala dan lainnya, akan tetapi masih memiliki harapan dan ketakutan terhadap selain Allah. Kedua, tauhid ahli hakikat yang menguasai ilmu, yakni ikrar atas keEsaan Allah dengan penafian tuhan, berhala dan lainnya, mematuhi larangan dan perintahnya secara, yang kesemuanya itu berasal dari rasa cinta, takut, harapan dan keinginan kepadaNya. Sedangkan dua tingkatan terakhir terdapat dalam tauhid para khawas{ yang memiliki kemampuan esoteris (ma’rifah). Golongan yang pertama (dari khawas), yakni  penafian serta mematuhi perintah dan larangannya seacara z{a>hir  dan ba>t{in, menghilangkan rasa cinta, takut selain kepadaNya, dan kesemuanya berasal dari kesadaran atas kehadiran dan panggilan Allah serta jawaban atas panggilanNya. Golongan yang terakhir ialah eksistensi tanpa keikutsertaan individualitas, ketika seorang hamba berduaan dengan Tuhannya, tiada yang lain selain keduanya, tenggelam dalam kefanaan, kekuasaan dan tauhidNya.[25]
Perbedaan diantara keempat tingkatan tersebut ialah, orang yang berada pada tingkat pertama tidak memiliki kemampuan mengatur hidup. Tidak dapat mengontrol moral, pikiran, kebenaran dan kebaikan dalam kehidupan sosial, sementara pada tingkat kedua, ia memiliki kemampuan ini akan tetapi ia masih terkungkung dalam harapan dan ketakutannya. Pada tingkat ketiga ia masih melibatkan individualitasnya, dalam kondisi ini tauhid belum sempurna, ia masih menyadari sesuatu selain Tuhan, yakni dirinya sendiri. Sedangkan pada tingkat terakhir yang merupakan tingkatan tertinggi, seseorang sudah dalam genggamanNya, dan tidak ada lagi ke’aku’annya. Yang ada hanya KemauanNya.
Tingkatan terakhir ini, menurut al-Junayd didasari atas dua teori: yakni, teori mi>tha>q dan teori fana>.[26]

3.    Mi>tha>q
Al-Junayd meyakini bahwa seorang hamba memiliki eksistensi sebelum eksistensinya saat ini. Ia melandasinya dengan ayat al-Quran: [27]

(وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ) (الأعراف : 172 )

Ayat ini memuat percakapan azali antara Tuhan dan manusia, al-Junayd menafsirkan ayat ini dengan tafsiran sufistik, bahwa Allah berbicara kepada manusia belum mauju>d (ada), tetapi sudah mauju>d dalam diriNya. Ke-mauju>d-an ini bukanlah ke-mauju>d-an yang biasa terjadi pada ciptaanNya, namun ke-mauju>d-an ini merupakan ke-mauju>d-an yang hanya diketahui oleh Allah.[28] Jadi, menurut al-Junayd terdapat dua macam eksistensi, yang pertama ialah eksistensi di zaman azali (eksistensi dalam diriNya) dan eksistensi dalam dunia sekarang.
Eksistensi yang pertama ini, menurut al-Junayd ialah yang paling sempurna, utama, tertinggi, dan jauh lebih unggul daripada eksistensi normal dimana seorang hamba masih dalam kesadaran. Karena dalam eksistensi ini, individualitas seseorang berada dalam kefanaan total dan aspek keduniawiannya hilang.[29] Kemudian al-Junayd menggarisbawahi bahwa eksistensi ini hanya diketahui oleh Allah. Gagasan al-Junayd mengenai pra-eksistensi jiwa ini memiliki kemiripan dengan gagasan Plato bahwa jiwa manusia telah ada sebelumnya dalam alam ide, sebelum turun ke dalam tubuh (alam nyata).[30]
Melihat gagasan al-Junayd ini dapat dikatakan bahwa seorang hamba dapat mencapai atau kembali kepada eksistensinya dahulu sebelum ia diciptakan. Dengan syarat ia dapat menanggalkan eksistensi keduniawian dan kemanusiaannya sehingga ia bisa berada dalam eksistensi Tuhan dan melebur total dalam diriNya. Jika ini terjadi, maka seorang muwahhid dapat mencapai tauhid yang sesungguhnya. Dalam keadaan ini tiada kehendak dan kuasa selain milikNya.
Pencapaian tauhid seperti ini tidak dapat dialami semua orang, akan tetapi hanya orang-orang yang terpilih yang dapat mencapainya, seperti yang dijelaskan al-Junayd dengan menggunakan hadith Nabi:

وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه ، و لا يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي سمع به و بصره الذي يبصر به ، و يده التي يبطش بها و رجله التي يمشي بها و لئن سألني لأعطينه ، و لئن استعاذني لأعيذنه - رواه البخاري .

Menurut al-Junayd hadith ini tidak dapat dimakanai secara literal, akan tetapi maknanya ialah: “Allah lah yang menguatkannya, yang menganugerahkan kemampuan untuk menerimanya, yang memberi petunjuk dan membuka hijab atas kehendakNya, dengan itu ia menerima kebenaran. Inilah kehendak Allah atas dia, karuniaNya terhadapnya dan hanya untuknya.[31]
Semua kondisi atau keadaan inilah yang dimaksud al-Junayd melalui definisinya tentang tasawuf; “Tasawuf ialah bahwa Tuhan akan mematikanmu melalui dirimu dan akan menghidupkanmu dalam diriNya.”[32] Bagaimana bisa seorang hamba mati dalam dirinya dan kemudian hidup dalam diriNya? Bagaimana ia bisa menerima dan mencapai keadaan ini? Al-Junayd menjelaskannya melalui teori fana>-nya.
4.    Fana>
Kedua teori al-Junayd, baik mi>tha>q maupun fana> bermuara pada satu tujuan, yakni tingkat tertinggi dari tauhid. Yang pertama menjelaskan keadaan “kembali kepada Allah”, yang kedua menjelaskan tata cara, metode ataupun langkah-langkah untuk mencapai keadaan tersebut. Keduanya saling melengkapi satu sama lain.
Al-Junayd mengenalkan tiga tahapan dalam fana>; Pertama, hilangnya segala atribut, karakteristik, dan sifat natural dalam mengemban tugas keagamaan, berjuang keras untuk melakukan hal yang berlawanan dengan nafsu dan memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin diinginkan. Kedua, hilangnya aktifitas yang menyenangkan digantikan dengan ketaatan penuh terhadapNya, sehingga dirinya sepenuhnya milikNya tanpa ada perantara antara keduanya. Ketiga,  hilangnya kesadaran akan penyaksian Tuhan dalam tahap terakhir dari ekstase, ketika kuasaNya telah meliputi dirinya. Dalam keadaan ini dirinya hilang melebur dalam keabadian dan eksistensi Tuhan.[33]  
Tahapan pertama berkenaan dengan kehidupan manusia. Manusia harus menyingkirkan perasaan cinta, kehendak dan nafsunya seraya melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Tahap fana> ini merupakan sebuah tahapan moral. Tahapan kedua menjelaskan bahwa seorang hamba harus membuang semua kesenangan duniawi bahkan kesenangan dari perbuatan baiknya sendiri dalam melaksanakan perintah agama. Tahapan ini merupakan sebuah tahapan mental. Sedangkan pada tahapan terakhir, seorang hamba akan kehilangan kesadaran akan dirinya ketika menghadap Tuhan. Keadaan ini telah digambarkan pada penjelasan sebelumnya. Yang tertinggal hanya aspek fisiknya saja, eksistensi dalam dirinya sudah hilang. Ia berada dalam kehidupan abadi, didalam dan bersama Tuhan.
Termasuk dalam tahap akhir dari fana> ini adalah baqa>, suatu keadaan dimana seorang hamba tinggal dan bersama Tuhan. Fana>, tidak seperti Nirvana dalam  Budha, yang hanya sampainya  orang pada Tuhan, akan tetapi berlanjut kepada baqa>-nya  hamba dalam Tuhan.[34]
Yag perlu dipahami dalam kebersatuan ini ialah, meskipun ini merupakan tingkatan tertinggi bagi seorang hamba, tapi tetap saja ia tidak dapat mencapai keseluruhan dari realitas Tuhan. Seorang hamba hanya berada dalam sebuah keadaan dimana ia dapat melihat tuhan melalui ke-Maha AgunganNya.[35]

Penutup
Al-Junayd merupakan seorang sufi klasik, seorang guru dan mufassir dalam tauhid. Ia memang bukan yang pertama berbicara tentang tauhid, sufi sebelumnya, seperti Sari al-Saqati dan Ma’ruf al Karkhi sudah berbicara tentang ini. Akan tetapi al-Junayd sudah meletakkan tauhid pada posisi sentral dalam ranah sufistik.
Al-Junayd memahami sepenuhnya bahwa pengalaman sufistik tidak bisa diurtaikan dengan akal, dan berbahaya untuk dibicarakan secara terbuka mengenai rahasia terdalam dari iman di hadapan orang-orang awam. Berdasarkan alasan inilah dia menolak al-Hallaj, yang telah menjadi contoh mereka yang telah menjalani hukuman karena telah berbicara secara terbuka tentang rahasia penyatuannya dengan Tuhan. Oleh karenanya al-Junayd memmperhalus seni berbicaranya melalui isyarat, suatu kecenderungan ynag mula-mula diprakarsai oleh Kharraz. Surat-surat dan risalahnya ditulis dengan samar, bahasanya begitu padat sehingga sulit dipahami oleh mereka yang tidak terbiasa dengan cara khusus pengungkapan tentang masalah kesufian. Bahasa yang indah itu lebih menutupi rahasia yang mereka maksudkan daripada membukakan makna yang sebenarnya.[36]
            Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tasawuf Al-Junaid berlandaskan Al-Quran dan hadits. Ia menjauhi praktek yang bertentangan dengan syariat Islam. Adapun dasar-dasar pemikiran Al-Junaid tentang tasawuf yang dapat penulis analisis adalah sebagai berikut:
1.      Seorang sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan menjalankan budi pekerti yang baik, sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf yang selalu mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan bidu pekerti yang jelek.
2.      Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani dan mengambil sifat-sifat ruhani.
3.      Memalingkan perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang beriman, meninggalkan pergaulan dengan sesama (manusia) masih mudah dan berpaling kepada Allah sulit. Ternyata berpaling dari nafsu lebih sulit lagi. Untuk itu, melawan nafsu adalah sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4.      Manusia harus berpegang teguh kepada tauhid, termasuk dalam bertasawuf. Arti tauhid, menurut Al-Junaid, adalah mengesakan Allah SWT. dengan sesempurna-Nya. Bahwa sesungguhnya Allah itu esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak berjumlah dan tidak pula tersusun, dan tak satupun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar, Dia Maha Melihat dan Maha Tunggal.


DAFTAR RUJUKAN

Abdel-Kader, Dr. Ali Hassan The Life, Personality and Writings of al-Junayd, London: Luzac&Company Ltd. 1962.
Al-‘Afi>fi>, Dr. Abu al-‘Ala, al-Tas{awwuf, al-Thawrah al-Ru>hiyyah fi al-Isla>m, Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1962.
Al-Baghdadi, al-Junayd Rasa>il al-Junayd, pny. ‘Ali Abdu al-Qa>dir, Kairo: Bara>’i Wajdai, 1988.
Al-Kala>bidzi>, Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq al-Bukha>ri> al-Ta’arruf li Madzhabi Ahli al-Tas{awwuf, Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1933.
Al-Sulamiy, Abu ‘Abdu al-Rah{ma>n al-T{abaqa>t al-S{u>fiyyah, Kairo: Kita>b al-Sha’bi, 1998.
Al-Taftaza>ni>, Dr. Abu, al-Wafa> Madkhal ila al-Tas{awwuf al-Isla>miy, Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1976.
Al-Qushayri, Abd al-Kari>m al-Risa>lah al-Qushairiyyah , Kairo: Da>r al-Ma’rifah 1964.
Ghanam, Dr. T{al’at, Ad{wa>’ ‘ala al-Tas{awwuf, Kairo: ‘A<lam al-Kutub, t.t.
Ibn Mulqin, T{abaqa>t al-Auliya>’, Beirut: Da>r al-Ma’rifah. t.t.
Nicholson, Reynold. A. The Mystic of Islam, London: Routledge, Paul Kegan, 1914.
Sells, Michael A., Early Islamic Mysticism, New Jersey: Paulist Press. 1996.
Sharaf, Dr. Muhammad Jala>l, Dira>sa>t  fi al-Tas{awwuf al-Isla>miy, Beirut: Da>r al-Fikr al-Ja>mi’iy, 1983.
Schimmel, Annemarie, Mystical Dimension of Islam, North Carolina: The University of  North Carolina Press, 1975.


[1]. Dr. Abu al-Wafa> al-Taftaza>ni>, Madkhal ila al-Tas{awwuf al-Isla>miy, Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1976. Hal 111
[2]. Dr. Abu  al-‘Ala al-‘Afi>fi>, al-Tas{awwuf, al-Thawrah al-Ru>hiyyah fi al-Isla>m, Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1962. Hal 92.
[3]. Ali Hasan Abdu al-Qadir dalam Rasa>il al-junayd, Kairo: Da>r Kutub al-Mis{riyyah. hal iv.
[4]. Ibid. loc.cit
[5]. Ibn Mulqin, T{abaqa>t al-Auliya>’, Beirut: Da>r al-Ma’rifah. Hal 58.  
[6]. Abu ‘Abdullah al-Ha>rith ibn Asad al-Muha>sabi, berasal dari Bas{rah, guru orang Baghdad, pengarang kitab al-Ri’a>yah li Huqu>qilla>h , wafat tahun 243 H.
[7].  Abi Sa’i>d Ahmad ibn ‘Isa al-Kharra>z, sahabat Dzun Nu>n al-Mis{ri, dikatakan bahwa ia merupakan salah satu orang yang pertama kali berbicara tentang fana> dan baqa>, wafat tahun 279 H.
[8]. Ibn Mulqin, op.cit. hal 59.
[9]. Dr. Ali Hassan Abdel-Kader, The Life, Personality and Writings of al-Junayd, London: Luzac & Company Ltd. 1962. Hal  20.
[10]. Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq al-Bukha>ri> al-Kala>bidzi>, al-Ta’arruf li Madzhabi Ahli al-Tas{awwuf, Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1933. Hal 12.
[11]. Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq al-Bukha>ri> al-Kala>bidzi>, op.cit. Hal 9.
[12]. Dr. T{al’at Ghanam, Ad{wa>’ ‘ala al-Tas{awwuf, Kairo: ‘A<lam al-Kutub, tt. Hal 164.
[13]. Abu ‘Abdu al-Rah{ma>n al-Sulamiy, al-T{abaqa>t al-S{u>fiyyah, Kairo: Kita>b al-Sha’bi, 1998. Hal 50.
[14]. Abd al-Kari>m al-Qushayri, al-Risa>lah al-Qushairiyyah , Kairo: Da>r al-Ma’rifah 1964. Hal 19.
[15]. Dr. Muhammad Jala>l Sharaf, Dira>sa>t  fi al-Tas{awwuf al-Isla>miy, Beirut: Da>r al-Fikr al-Ja>mi’iy. Hal 301
[16]. ‘Ali Abdu al-Qa>dir, mukaddimah  dalam Rasa>il al-Junayd, Kairo: Bara>’i Wajdai, 1988. Hal. ج.
[17]. Dr. Ali Hassan Abdel-Kader, op.cit. Hal  68.
[18]. Abd al-Kari>m al-Qushayri, op.cit. Hal 136.
[19]. Abd al-Kari>m al-Qushayri, op.cit. Hal 135.
[20]. Op.cit. Hal 136.
[21].  Dr. Ali Hassan Abdel-Kader, op.cit. Hal  68.
[22]. Kashf al-Mah>ju>b, hal 281.
[23]. Abd al-Kari>m al-Qushayri, op.cit. Hal 136.
[24]. Al-Junayd Al-Baghdadi, op.cit. Hal 58  
[25]. Al-Junayd Al-Baghdadi, op.cit. Hal 61.
[26]. Dr. Ali Hassan Abdel-Kader, op.cit. Hal  75.
[27]. Al-Junayd Al-Baghdadi, op.cit. Hal 42.  
[28]. Loc.cit.
[29]. Op.cit. hal 43.
[30]. Dr. Ali Hassan Abdel-Kader, op.cit. hal 78.
[31]. Al-Junayd Al-Baghdadi, op.cit. Hal 34.  
[32]. Abd al-Kari>m al-Qushayri, op.cit.  Hal 126.
[33].  Dr. Ali Hassan Abdel-Kader, op.cit. hal 81.
[34]. Reynold. A. Nicholson, The Mystic of Islam, London: Routledge, Paul Kegan, 1914. Hal 149.
[35]. Al-Junayd Al-Baghdadi, op.cit. Hal 35.  
[36]. Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, North Carolina: The University of  North Carolina Press, 1975. Hal 58.

0 komentar :

Posting Komentar